BULAN Juni kemarin banyak wali murid mengeluhkan acara wisuda siswa TK-SMA yang terkesan jor-joran. Banyak orang tua siswa merasa terbebani biaya untuk acara tersebut. Bulan Juli ini, bertepatan dengan Bulan Dzulhijjah, juga banyak warga, terutama emak-emak, sambat karena banyak undangan buwuh, atau buwuhan. Selain jumlah undangan banyak, tempatnya juga ada yang jauh.
‘’Wayahe akeh wong duweh gawe. Buwuhan numpuk. Sirah ngelu (banyak orang punya hajat. Banyak buwuhan. Bikin kepala pusing),’’ kata seorang emak yang hari Minggu ini dia ‘’harus’’ buwuh di empat tempat.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBBI), wisuda adalah acara peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat. Misal, wisuda sarjana, atau sarjana muda (zaman dulu) yang baru lulus. (KBBI, hal 1274). Sedangkan buwuhan adalah uang atau barang yang diberikan oleh tamu kepada tuan rumah sebagai sumbangan suatu upacara atau pesta. (Hal. 182). Dalam praktiknya, buwuhan melekat pada acara resepsi khitanan atau pernikahan.
Belakangan ini acara wisuda siswa cenderung kian meluas. Beberapa tahun lalu hanya sebagian SMA sederajat. Sekarang semakin banyak. Bahkan, sudah menular ke lembaga pendidikan di bawahnya: SMP, SD, dan TK.
Model acaranya juga terkesan makin mewah. Terkesan jor-joran. Acara wisudanya ada yang di hotel. Siswa yang diwisuda harus mengenakan toga (bisa milik sendiri ataupun sewa), dan orang tua siswa juga harus memakai dress code tertentu. Para siswinya merasa wajib berdandan ke salon kecantikan. Pipine menor-menor.
Mayoritas orang tua siswa tidak setuju ada acara wisuda siswa. Hasil jajak pendapat (polling) detikcom, ada 993 orang atau 91,6 persen responden menyatakan tidak setuju ada acara wisuda siswa. Yang menyatakan setuju hanya 31 orang, atau 8,3 persen. (dari bunda.com//19 juni 2023).
Seorang praktisi pendidikan Bojonegoro juga tidak setuju ada acara wisuda siswa. Dia menganggap itu hanya pemborosan, dan tidak ada nilai positifnya. Kasihan orang tua siswa yang kurang mampu. ‘’Harusnya cukup acara sederhana untuk pelepasan siswa, dan penyerahan kembali siswa dari sekolah kepada orang tua siswa,’’ katanya.
Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti menyatakan, pemerintah wajib membuat aturan tegas terkait polemik tentang seremonial wisuda siswa di setiap sekolah yang seolah sudah menjadi agenda wajib mulai TK hingga SMA. (merdeka.com//21 juni 2023).
Merespons adanya pro kontra wisuda siswa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan Surat Edaran (SE). Intinya, satuan pendidikan anak usia dini, satuan pendidikan dasar, dan satuan pendidikan menengah tidak boleh menjadikan kegiatan wisuda sebagai kegiatan wajib. Dan, tidak boleh membebani orang tua/wali peserta didik. SE tertanggal 23 Juni 2023. Sayangnya, SE ini tidak tegas melarang wisuda. Tetapi hanya tidak membolehkan wisuda siswa sebagai acara wajib.
Menurut saya, baik acara wisuda siswa maupun tradisi buwuhan perlu ditata ulang. Dievaluasi. Sekiranya lebih banyak madlaratnya daripada maslahahnya, kita harus legowo untuk meniadakannya.
Saya melihat, tradisi buwuhan belakangan ini semakin melenceng jauh dari semangat awal acara khitanan ataupun pernikahan. Resepsi khitanan (walimatul khitan), ataupun resepsi pernikahan (walimatul ursy) harusnya dimaknai sebagai momen tasyakuran bagi yang punya hajat. Tasyakuran tidak harus di gedung atau di hotel mewah. Undangan tidak harus banyak. Keluarga yang kemampuan finansialnya terbatas, ya uang itu saja dicukupkan untuk syukuran. Tidak perlu cari utangan demi gengsi.
Yang terjadi selama ini, resepsi khitanan atau pernikahan diadakan semeriah mungkin. Tamu yang diundang sangat banyak. Tidak hanya keluarga dan tetangga dekat. Tetapi juga orang yang rumahnya jauh, meski juga tidak seberapa akrab. Ada kesan, tuan rumah berharap mendapatkan untung dari buwuhan para tamunya.
Saya khawatir, jika acara wisuda siswa dan atau buwuhan tidak dikendalikan, maka akan semakin menjadi-jadi. Jor-joran antarsekolah. Wisuda siswa akan dijadikan ajang flexing (pamer kemewahan/kekayaan) bagi sebagian orang. Pimpinan sekolah bangga karena mengenakan jubah kebesaran. Orang tua siswa yang kaya berkesempatan bisa pamer kemewahannya. Tapi bagi keluarga yang tidak mampu, tentu, mereka terbebani.
Begitu pula jika tradisi buwuhan di-loss terus tanpa kritik. Resepsi khitanan atau pernikahan akan dijadikan ajang flexing antarorang yang punya hajat. Resepsi diadakan di hotel demi gengsi, menyebarkan undangan sebanyak mungkin. Yang punya hajat bangga jika undangan yang hadir banyak.
Kenyataan di lapangan, selama ini banyak rasan-rasan terkait praktik buwuhan. Banyak ungkapan bernada keberatan saat mendapatkan undangan acara buwuhan. Misal, keberatan karena yang mengundang tidak seberapa kenal, dan tempatnya jauh. Belum lagi rasan-rasan soal suguhan untuk tamu kadang terkesan asal-asalan, terutama di pedesaan.
Pada sisi lain, undangan buwuhan juga bisa menimbulkan keretakan psikologis antara yang diundang dengan pengundangnya. Misal, jika ada undangan yang tidak datang. Rasan-rasan karena buwuhannya terlalu kecil, dan sebagainya. Hal itu bisa merusak hubungan persaudaraan atau pertemanan.
Nah, menurut saya, perlu ada gerakan dengan memberikan contoh nyata. Warga yang berpendidikan perlu memulainya: mengadakan acara pelepasan siswa tanpa wisuda. Tanpa biaya ekstra. Yang punya hajat mengadakan resepsi khitanan atau pernikahan yang lebih baik. Lebih simpel. Resepsi tanpa pemborosan, dan tanpa dirasani undangan. Bagaimana pendapat Anda???
Mundzar Fahman;
Penulis adalah Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (Unugiri) Bojonegoro.