Urgensi Upaya Radikal Dalam Pemberantasan Korupsi

  • Bagikan

DENGAN realitas korupsi politik yang makin luas dan buas, dibutuhkan terobosan radikal, yang melampaui rumus “Korupsi = Monopoli + Diskresi – Akuntablitas”, hasil formulasi Robert Klitgaard (1988).

Selain pembenahan teknis teknokratis di hilir, seperti manajemen keuangan publik yang transparan dan akuntabel; reformasi dan peningkatan kapasitas birokrasi; pembatasan monopoli dan diskresi para pejabat, dan lain-lain, harus ada kemauan politik untuk mengatasi akar persoalan di sektor hulu perpolitikan.

Tanpa pembenahan sumber masalah di hulu, semua solusi teknis tidak efektif. Ibarat menggarami lautan. Karena faktanya, sejak reformasi bergulir, termasuk pembentukan KPK pada 2002, korupsi tidak berkurang, tapi malah meluas di semua lini pemerintahan dan sektor pembangunan.

Baca juga :   MK; antara Menjaga Eksistensi Negara dan Produk Undang-Undang yang Mencelakakan

Karena itu, dibutuhkan sanksi berat, seperti pembekuan atau pembubaran parpol, dengan kriteria terukur dan objektif. Dalam hal; kader parpol terjerat korupsi, uang korupsi mengalir ke parpol, parpol atau kader parpol terlibat politik uang, parpol atau kader parpol menerima uang dari para sponsor dalam jumlah tidak wajar atau melebihi ketentuan.

Pada saat yang sama, pembiayaan parpol dari kas negara perlu dinaikkan dari yang berlaku saat ini (hanya Rp 1.000 per suara untuk DPR dan Rp. 1.500 per suara untuk DPRD), sehingga operasional parpol tetap terjaga. Penyesuaian bantuan APBN/APBD untuk parpol dalam batas rasional tidak saja membantu menekan ketergantungan parpol pada dukungan pendanaan oligarki. Tapi sekaligus mencegah parpol mengeksploitasi sumber daya negara dengan dalih desakan biaya hidup partai.

Baca juga :   Bumerang Presidential Threshold: Jokowi Semakin Melemah

Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sumber daya negara saat pilpres, harus dipastikan capres/cawapres petahana wajib menjalani cuti selama masa kampanye. Ketentuan ini juga menciptakan “level playing field” bagi semua kontestan pilpres. Saat ini, hanya calon petahana di pilkada yang diwajibkan menjalani cuti di luar tanggungan negara.

Selanjutnya, sanksi diskualifikasi harus dijatuhkan kepada kontestan elektoral, baik calon eksekutif maupun legislatif di pusat dan daerah, jika terbukti menebar politik uang atau menjadi tersangka tindak pidana korupsi.

Masih panjang daftar masalah dan langkah-langkah radikal yang dibutuhkan, seperti penguatan literasi politik warga dan agamawan, kebebasan dan imparsialitas pers, independensi KPK, sanksi sosial terhadap para koruptor, dan sebagainya.

Baca juga :   Pelanggar Konstitusi Tergolong Pengkhianat Negara: Anwar Usman Termasuk?

Saya akhiri tulisan ini dengan mengingatkan, bahwa semua upaya tersebut sangat tergantung pada kemauan dan keberanian politik presiden sebagai sebagai episenter kekuasaan, sekaligus “commander in chief” dalam perang melawan korupsi dan oligarki,– dua sisi dari sekeping mata uang.

Tidak masuk akal mengharapkan kejahatan korupsi akan surut manakala sang “commander in chief” lahir dari rahim oligarki, dan kekuasaan politiknya bertumpu pada kekuatan modal para oligarki. Memerangi korupsi dan oligarki berarti memerangi dirinya sendiri. Harakiri politik!

Abdurrahman Syebubakar,
Penulis adalah Ketua Dewan Pengurus Institute for Democracy Education (IDe), Jakarta.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *