Terkait RUU TNI, Alissa Ingatkan Jangan Ulangi Kesalahan Orde Baru

  • Bagikan
INGATKAN SEJARAH: Koordinator Pelaksana Gerakan Nurani Bangsa (GNB) Alissa Qotrunnada Wahid menyikapi Revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dilakukan secara tergesa-gesa.

INDOSatu.co – JAKARTA – Koordinator Pelaksana Gerakan Nurani Bangsa (GNB) Alissa Qotrunnada Wahid menyebut bahwa, Revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) dapat melemahkan profesionalitas tentara.

“Meskipun namanya bukan Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tapi esensinya (jika RUU TNI) membawa senjata ke ruang sipil, itu sama saja. Dan inilah yang ingin kita ingatkan,” kata Alissa dalam konferensi pers GNB di Jakarta, pada Selasa (18/3).

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu, juga mengingatkan agar pengesahan RUU TNI tersebut tidak akan mengulangi kesalahan di masa lalu pada era orde baru, sehingga butuh waktu hingga puluhan tahun untuk mengembalikan supremasi sipil dan hukum ke dalam tatanan pola bernegara demokrasi yang dianut Indonesia.

Baca juga :   Di Depan Hakim MK, Ahli Sebut Jokowi Langgar Konstitusi karena Beri Bansos Sepihak

“Jangan sampai kita kembali, justru mengulangi kesalahan yang sama. Dulu 32 tahun kita harus berjuang untuk mewujudkan supremasi sipil dan hukum, bukan supremasi senjata. Jangan sampai kita kemudian justru menegasikan pengalaman 30 tahun itu dari ruang-ruang. Ruang itu tidak akan dipakai sekarang tapi pintunya sudah dibuka dan itu yang paling berbahaya,” jelasnya.

Hal senada juga disampaikan Lukman Hakim Saifuddin. Mantan Menteri Agama 2014-2019 itu menjelaskan terkait penegakan supremasi hukum dan sipil bukan militer. Menurutnya, hal itu didasarkan kepada bangsa Indonesia sebagai negara yang heterogen, sehingga supremasi militer dapat mengaburkan cara pandang bernegara, bersuku, dan beragama yang berbeda-beda.

Baca juga :   Sultan: Rakyat Pemilik Kedaulatan, Investasi Mestinya Tidak Disertai Upaya Represi Aparat

“Tentu demokrasi bukan sesuatu yang sempurna tapi tidak ada cara yang lebih baik yang bisa kita pilih dalam konteks yang majemuk yang heterogen ini di tengah-tengah keragaman,” katanya dalam kesempatan yang sama.

Kemudian melalui Lukman, GNB menyampaikan tiga pesan, sebagai berikut:

1. Penempatan TNI aktif dalam institusi sipil justru akan melemahkan profesionalitas TNI. TNI menjadi tidak fokus dengan fungsi utama dan tugas pokoknya sebagai alat negara di bidang pertahanan sesuai amanat konstitusi.

2. Berbeda dengan tradisi sipil yang terbiasa berbagi perspektif dan berargumentasi objektif saat menghadapi perbedaan dalam kelola kehidupan bersama, militer dididik ketat taat komando hirarkis dan berwenang lakukan kekerasan bersenjata. Karena ini watak khas organisasi militer itu, di institusi sipil justru akan membunuh demokrasi. Hal itu bukan hanya menghilangkan partisipasi publik, tapi juga berpotensi melanggar HAM dalam menata kehidupan bersama.

Baca juga :   Jelang Pilpres, MUI: Memberi dan Menerima 'Serangan Fajar' Hukumnya Haram

3. TNI sebagai alat negara dan DPR sebagai lembaga wakil rakyat harus mampu merawat kepercayaan rakyat sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini. Pengingkaran terhadap kehendak reformasi berupa penegakan supremasi sipil akan membuat kedua institusi tersebut tercerabut dari rakyat, karenanya pemerintah dan DPR  tidak boleh membuat UU yang menyimpang dari amanat UU dasar 1945 dan Ketetapan MPR Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dengan Polri dan Nomor 7 tentang Peran TNI dan Polri. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *