Terkait Pengalihan Setengah Kuota Tambahan, Timwas Haji DPR RI: Kami Dengar Dijual

  • Bagikan
MENGAKU PRIHATIN: Anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI, Luluk Nur Hamidah (dua dari kanan) saat mengecek bahan baku makanan penyedia katering jemaah Haji Indonesia di Mekkah, Arab Saudi. (foto: ist)

INDOSatu.co – JAKARTA – Anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI, Luluk Nur Hamidah, mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan pemerintah mengalihkan setengah dari kuota tambahan haji sebanyak 20.000 orang kepada haji plus tanpa konsultasi dengan DPR. Menurutnya, perubahan ini seharusnya melibatkan dialog dan pertimbangan dari DPR agar keputusan yang diambil lebih komprehensif.

“Kami mendengar alasan pemerintah mengenai perubahan sistem di Saudi Arabia yang menyebabkan pengalihan setengah kuota 20.000 ini untuk haji plus. Namun, sangat disayangkan karena tidak dikonsultasikan dengan DPR. Apa susahnya membuka ruang dialog dan membicarakan ini bersama-sama?” kata Luluk dalam keterangannya, di Makkah, Rabu (19/6) malam.

Luluk menekankan bahwa, dalam mengambil keputusan, pemerintah seharusnya tetap mempertimbangkan masukan dari DPR, terutama terkait undang-undang dan kesepakatan yang telah dibuat bersama Kementerian Agama (Kemenag).

“Pemerintah tidak berada di posisi yang aktif dalam hal penyesuaian atau sistem E-Hajj yang diluncurkan oleh Saudi Arabia. Hal ini seharusnya disampaikan oleh Kemenag agar kami di DPR juga bisa memahami perubahan yang terjadi,” tambahnya.

Lebih lanjut, Luluk menyoroti kurangnya informasi yang diterima DPR mengenai negosiasi yang dilakukan oleh Kemenag. “Jika Kemenag mentok dalam negosiasi, kami perlu tahu. Namun, yang terjadi sekarang, kami tidak mendapatkan informasi apa pun. Ini berarti pemerintah sengaja mengambil keputusan sepihak,” tegasnya.

Baca juga :   Wakil Ketua MPR: Perlunya Tempatkan Etika Politik sebagai Gagasan Besar Bersama

Luluk juga menyinggung adanya desas-desus yang menyebutkan bahwa kuota haji dijual dengan harga tertentu. “Kami mendengar desas-desus yang sangat tidak mengenakkan bahwa kuota ini dijual dan ada pihak-pihak yang harus mengeluarkan sejumlah uang atau dolar tertentu untuk mendapatkan percepatan haji tahun ini, padahal seharusnya masih beberapa tahun lagi,” ujarnya.

Menurut Luluk, hal ini perlu diselidiki lebih lanjut oleh pansus karena berpotensi melanggar aturan dan undang-undang. “Jangan sampai jemaah haji yang punya niat baik malah dihegemoni oleh pemerintah. Ini soal ibadah, dan jemaah harus sabar. Namun, sabar tidak ada kaitannya dengan mismanajemen, pelayanan yang sembrono, atau tindakan-tindakan yang melanggar aturan,” tandasnya.

Luluk berharap pansus dapat menyelidiki masalah ini secara mendalam untuk memastikan transparansi dan keadilan dalam penyelenggaraan haji. “Ini penting menjadi catatan kita bersama,” pungkasnya.

Hal senada juga disampaikan anggota Tim Pengawas Penyelenggaraan Haji DPR RI Wisnu Wijaya. Dia menilai, penyelenggaraan haji tahun 2024 menyisakan banyak persoalan. Karena itu, pembentukan panitia khusus (pansus) merupakan solusi terbaik dan paling realistis. Tujuannya untuk mengevaluasi dan memperbaiki penyelenggaraan haji ke depannya.

Wisnu menjelaskan, setidaknya ada tiga alasan mengapa perlu dibentuk Pansus Haji. Alasan pertama, banyaknya persoalan yang menyelimuti penyelenggaraan haji 2024. Pelayanan haji yang buruk meliputi pemondokan, katering, tenda akses air, toilet; serta kesehatan dan buruknya transportasi yang berulang setiap tahun yang tidak hanya mendera jemaah haji reguler, tetapi juga jemaah haji khusus.

Baca juga :   Anggap Tergesa-gesa dan Tak Libatkan Masyarakat, PKS Tolak RUU DKJ

Ironisnya, kata Wisnu, sebagai penyumbang jumlah jemaah haji terbesar di dunia yang pastinya menguntungkan secara ekonomi bagi Arab Saudi, Pemerintah Indonesia dinilai gagal memanfaatkan aspek tersebut sebagai nilai tawar ini untuk melakukan diplomasi agar Pemerintah Arab Saudi bisa memberikan layanan yang lebih baik bagi jemaah Indonesia dibanding negara lain.

”Sebagai contoh, Korea dan Jepang sebagai negara minoritas muslim yang tidak banyak menyumbang jemaah haji justru mendapat fasilitas yang jauh lebih baik dalam hal pemondokan misalnya,” papar Wisnu dalam keterangannya di Makkah, Kamis (20/6).

Anggota Komisi VIII DPR RI itu menganggap pemerintah tidak siap dengan kuota haji tambahan dari Pemerintah Arab Saudi. Hal ini terbukti dengan ketidakmampuan mereka menyediakan fasilitas pelayanan yang sepadan dengan banyaknya jumlah jemaah.

“Temuan di lapangan, misalnya banyak jemaah yang terlantar akibat kapasitas tenda-tenda Arafah dan Mina tidak memadai untuk menampung jemaah. Ketersediaan antara fasilitas dan jumlah jemaah yang tidak berimbang juga berdampak pada buruknya layanan transportasi, akses air dan toilet,” ungkapnya.

Yang paling krusial, menurut Wisnu, masalah jemaah haji ilegal yang tidak menggunakan visa haji resmi. Sebagian menggunakan visa umrah yang overstay, sebagian memakai visa kunjungan. Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Dirjen Haji dan Umrah Kemenag pada 20 Mei 2024, kata Wisnu, DPR telah mengingatkan agar Kemenag bekerja sama dengan Kemenkum-HAM dan Kemenlu membuat larangan bagi calon jemaah nonvisa haji agar tidak berangkat umrah atau ziarah ke Tanah Suci selama musim haji.

Baca juga :   Tabrakan Kereta Api, DPR RI: PT KAI dan Ditjen Perkeretaapian Harus Bertanggung Jawab

”Namun Kemenag justru tidak mengindahkan masukan DPR, sehingga terbukti banyak jemaah haji ilegal yang ditangkap di Saudi. Ini kan artinya pemerintah gagal melindungi warga negara sendiri,” ujar Wisnu.

Alasan kedua, dibentuk Pansus Haji, lanjut Wisnu, karena persoalan penyelenggaraan haji ini kompleks dan melibatkan beberapa kementerian lintas mitra komisi di DPR, seperti Kementerian Agama yang menjadi mitra Komisi VIII, Kementerian Kesehatan mitra Komisi IX serta Kementerian Hukum dan HAM mitra Komisi III.

“Kalau lingkupnya hanya Kementeriaan Agama saja, maka cukup dibentuk Panitia Kerja atau Panja oleh Komisi VIII. Tapi karena melibatkan banyak isu lintas kementerian, maka tidak ada pilihan lain kecuali membentuk Panitia Khusus atau Pansus,” jelasnya.

Alasan ketiga, perlunya Pansus, kata Wisnu, karena menguatnya dugaan penyalahgunaan tambahan kuota haji oleh Kementerian Agama yang terindikasi melanggar Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. (adi/red)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *