Sikapi Jokowi soal Presiden Boleh Kampanye dan Memihak Pilpres, Pakar Hukum Bilang Begini…

  • Bagikan
MAKIN TERLIHAT MEMIHAK: Presiden Jokowi (kanan) dan Menhan Prabowo Subianto menjawab pertanyaan wartawan di Lanud Halim Perdamakusuma, Rabu (24/1).

INDOSatu.co – SURABAYA – Presiden Jokowi menyatakan bahwa Presiden dan Menteri boleh berpihak di dalam pemilihan presiden, sepanjang tidak menggunakan fasilitas negara. Presiden juga menyatakan ini terkait dengan hak politik warga negara dan jabatan politik yang dipegang oleh masing-masing pejabat negara.

Pernyataan tersebut disampaikan Presiden Jokowi merespon pertanyaan wartawan usai menghadiri serah terima Pesawat A-1344, Pesawat Hercules dan Helikopter Panther Tahun 2024 di Lanud Halim Perdanakusuma, Rabu (24/1).

Terkait pernyataan tersebut, Direktur Pusat Studi Anti-korupsi dan Demokrasi Universitas Muhammadiyah Surabaya Satria Unggul Wicaksana memberikan tanggapannya. Menurutnya, ada tiga hal penting terkait ini.

Baca juga :   Jelang Apel Siaga Perubahan, Faizal Singgung Istana Pantau Anies dan Paloh...!

Pertama, Adagium “power tends to corrupt absolute power corrupt absolutely” ternyata menjadi masalah bagi Presiden Jokowi yang dengan kentara mendukung Prabowo-Gibran. Praktik politik demokrasi ini menjadi masalah serius dan dapat membunuh demokrasi. Levitski dan Zibalt dalam bukunya “how democeacy die” menunjukkan bahwa praktik otiritariter politik dan nir-akuntabilitas menjadi demokrasi Indonesia kedepan akan mati.

Baca juga :   Pemerintah Perpanjang PPKM, Luhut: Rumah Ibadah Lebih Longgar

Kedua, secara normatif, merujuk UU No. 7 Tahun 2017, khsusnya di dalam Pasal 282 UU No. 7 Tahun 2017 terdapat larangan kepada “pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye”.

“Dalam konteks ini, Presiden Jokowi dan seluruh menterinya jelas adalah pejabat negara. Sehingga ada batasan bagi Presiden dan Pejabat Negara lain, termasuk Menteri untuk tidak melakukan tindakan atau membuat keputusan yang menguntungkan peserta pemilu tertentu, apalagi dilakukan di dalam masa kampanye,”ujar Satria Kamis (25/1)

Baca juga :   Dihadapan Pemred, Hadapi Tahun Politik 2024, Haedar: Negara Tidak Boleh Terlibat dalam Kontestasi

Ketiga, presiden Jokowi adalah simbol kepemimpinan negara, netralitas menjadi kata kunci agar demokrasi tetap hidup dan Indonesia tidak terjebak dalam otoritarianisme.

“Sehingga, netralitas betul-betul harus dijaga, dan tidak menggunakan instrumen negara seperti bansos, proyek sarat klientelistik, dan konsesi sehingga kepemimpinan nasional akan tetap terjaga,”pungkas Satria. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *