PRESIDEN Prabowo Subianto dalam pidato di puncak perayaan HUT ke-60 Partai Golkar mewacanakan kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) kembali dipilih dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) setempat.
Wacana semacam itu sudah berulang muncul dengan argumen yang relatif sama, yaitu lebih efisien dan tak menelan banyak biaya. Argumentasi seperti ini tak seharusnya muncul, karena semua pihak sudah tahu bahwa demokrasi memang mahal.
Hal ini sudah diketahui sejak anak bangsa memilih sistem politik yang akan digunakan dalam berbangsa dan bernegara. Karena itu, jika pemilihan secara langsung oleh rakyat masih terus diperbincangkan, berarti itu sebagai langkah mundur.
Kalau memang mau efisien dan cost rendah, sistem otoriter tentu paling tepat. Presiden tinggal menunjuk saja siapa yang akan jadi gubernur, bupati, dan wali kota sesuai seleranya.
Hanya saja, Indonesia tak boleh menerapkan sistem otoriter. Konstitusi kita sudah dengan tegas mengingatkan semua anak bangsa, Indonesia menganut sistem demokrasi.
Karena itu, siapa pun pemimpin negeri ini, harus menjalankan sistem demokrasi. Sistem itu juga harus dijadikan acuan dalam menetapkan sistem pemilihan kepala daerah.
Jadi, pemilihan kepala daerah secara langsung sudah sejalan dengan amanat konstitusi. Karena itu, tak perlu mencari-cari argumentasi untuk menganulir pilkada secara langsung dan kembali melalui DPRD.
Kalau dianggap terlalu mahal, justru harus dicarikan solusi untuk mengatasinya. Bukan dengan mengubah siatem yang sudah diatur dalam perundang-undangan. Dan solusinya harus dicarikan jalan terbaik. Misalnya memperbaiki regulasi saat pencalonan, dan sebagainya.
Karena itu, sebaiknya hentikan wacana pilkada melalui DPRD. Wacana seperti ini hanya membuat bangsa ini mundur ke masa kegelapan. Para reformis tentu tak menghendaki hal itu terjadi. Dan jika itu terjadi, akan kembali ke Orde baru yang tiranis itu. (*)
M. Jamiluddin Ritonga;
Penulis adalah pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, dan mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta.