INDOSatu.co – JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI, Syarief Hasan meminta pemerintah untuk mempercepat realisasi substitusi energi, khususnya gas untuk kebutuhan rumah tangga dan industri. Setiap tahun, defisit LPG terus membengkak, sehingga beban APBN dalam impor LPG terus meningkat dan realisasi subsidinya juga semakin menekan keuangan negara.
Fenomena tersebut harusnya menjadi atensi bersama, karena total impor LPG sepanjang 2022 telah mencapai 6,78 juta ton, naik 5,6 persen dari 6,42 juta ton pada 2021. Nilainya membengkak menjadi USD 4,89 miliar, melonjak sebesar 19,5 persen dari USD 4,09 miliar pada 2021.
“Pemerintah harus punya rencana yang pasti dan terukur dalam memitigasi melonjaknya beban impor dan subsidi LPG. Dengan melimpahnya cadangan gas, seharusnya kebutuhan gas domestik dapat tercukupi,” sesal Politisi Senior Partai Demokrat ini.
Pembangunan infrastruktur gas bumi yang tersendat, mestinya jadi otokritik. Ada yang keliru dalam perencanaan energi nasional. Jangan selalu mengambil jalan pintas untuk melakukan impor dan abai dengan kemandirian energi nasional.
Menurut Syarief Hasan, gas telah menjadi kebutuhan primer rakyat. Program konversi minyak tanah ke LPG era Presiden SBY terbukti menjadi terobosan dan menjawab kebutuhan rakyat. Itu adalah kebijakan prospektif yang kalkulatif dan terukur.
Seharusnya, kata Syarief, pemerintahan berikutnya serius memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumber gas domestik yang begitu melimpah. Rakyat sudah sangat terbiasa menggunakan gas, dan pemerintah harus menjamin kebutuhan dasar ini terpenuhi.
Syarief Hasan menilai, pembangunan pipa transmisi dan distribusi gas harus dipercepat agar tersalurkan pada rumah tangga dan industri. Program Jaringan Gas (Jargas) masih belum optimal. Faktanya, sampai tahun 2022, baru 871,645 ribu rumah tangga yang telah tersambung Jargas.
Kenaikan setiap tahun juga masih lambat, ungkap Syarief Hasan, hanya naik 70,640 ribu dari tahun 2021. Di sisi lain, keberlanjutan fiskal semakin terancam dengan beban subsidi LPG yang sudah sangat tinggi, telah mencapai Rp 67,61 triliun pada 2021.
“Ini soal keberpihakan. Jika potensi gas yang kita miliki tidak dioptimalisasi, pemerintah akan dinilai tidak serius dalam menata kemandirian energi. Padahal, kebijakan impor LPG ini rawan dan sangat bergantung pada fluktuasi harga komoditas di tingkat global,” kata Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini.
Tensi geopolitik yang terus memanas serta kompetisi energi antarnegara, jelas Syarief Hasan, hanya akan menjadikan Indonesia tidak mandiri dan tidak berdaya dalam memenuhi pasokan mendasar rakyatnya. Padahal, masalah energi itu masih menjadi tugas besar pemerintah. (adi/red)