Soal Verifikasi Faktual ke MK, Yusril: Idealnya Berlaku bagi Partai Baru

  • Bagikan
TOLAK VERIFRIKASI FAKTUAL: Ketua Umum PBB, Yusril Ihza Mahendra mewakili beberapa partai tak lolos parliamentary threshold (PT), mengajukan uji materi terhadap rencana KPU memverifikasi fraktual partai politik.

INDOSatu.co – JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang permohonan uji materil terkait Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) Pasal 173 ayat (1) UU, soal syarat verifikasi partai politik oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai peserta pemilu.

Dalam persidangan perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021 yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK itu dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra. Sejumlah perwakilan partai politik, turut menggugat pasal verifikasi itu, karena merasa dirugikan akibat skema verifikasi administrasi maupun faktual yang terus menerus dilakukan ketika mengikuti kontestasi pemilu.

Sejumlah pemohon, yakni parpol-parpol gurem yang tak lolos parlemen hadir dalam sidang tersebut. Di antaranya Ketua Umum PBB, Yusril Ihza Mahendra dan Sekretaris Jenderal Afriansyah Noor (Pemohon I), Partai Beringin Karya (Berkarya) diwakili oleh Ketua Umum Muchdi Purwopranjono dan Sekretaris Jenderal Badaruddin A.P. (Pemohon II), Partai Perindo (Persatuan Indonesia) diwakili oleh Ketua Umum Hary Tanoesoedibjo dan Sekretaris Jenderal Ahmad Rofiq (Pemohon III), Partai Solidaritas Indonesia (PSI) diwakili oleh Ketua Umum Grace Natalie Louisa dan Sekretaris Jenderal Raja Juli Antoni (Pemohon IV).

Yusril selaku salah satu dari pemohon mendalilkan bila verifikasi administrasi dan faktual pada pokoknya adalah aspek teknis prosedural untuk partai politik yang baru mengikuti kontestasi pemilu. Sedangkan bagi partai politik yang sudah lolos verifikasi pada pemilu sebelumnya, sudah tidak relevan lagi dilakukan.

Baca juga :   Akhirnya, Uji Kelayakan Calon Anggota BPK RI Ditunda

“Namun bagi parpol yang telah mengikuti pemilu yang telah teruji kualifikasinya karena pernah dinyatakan lolos sebagai peserta dan diperbolehkan mengikuti kontestasi pemilu, pemberlakuan verifikasi administrasi dan faktual ulang itu menjadi tidak relevan,” kata Yusril seperti dikutip pada website MK, Rabu (23/9).

Padahal, para Pemohon termasuk sebagai partai yang telah dinyatakan lolos verivikasi, namun hanya dinyatakan tidak berhasil memenuhi ambang batas parlemen (parliamentary threshold, PT) sebagaimana ketentuan Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu yakni paling sedikit sebesar 4% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.

“Kedudukannya berbeda dengan parpol yang sama sekali baru berdiri dan belum pernah mengikuti kontestasi pemilu. Parpol-parpol yang telah mengikuti pemilu telah membuktikan kiprahnya dan telah menjalankan fungsinya sebagai wadah bagi rakyat melaksanakan kedaulatan menurut Undang-Undang Dasar,” papar Yusril.

“Karena itu, perolehan suara yang didapat parpol dalam pemilihan sebelumnya, sekalipun kecil dan tidak berhasil memenuhi ambang batas parlemen 4% tidaklah dapat diabaikan begitu saja karena perolehan suara parpol itu adalah adalah wujud nyata bagian-bagian kedaulatan rakyat yang telah dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar,” lanjutnya.

Sehingga, kata Yusril, aturan verivikasi itu hanya relevan dilakukan bagi parpol yang belum mengikuti pemilu. Maka pembuktian kualifikasi menjadi wajar bagi parpol baru untuk melalui verifikasi administrasi dan faktual. Sementara untuk parpol yang telah mengikuti pemilu dan telah berhasil membuktikan pemenuhan persyaratan dan kualifikasinya sebagai peserta pemilu, cukup dilakukan verifikasi administrasi.

Baca juga :   Tanpa Pemberitahuan, Gus Muhaimin Tak Hadiri Undangan Pansus PBNU

Sedangkan bagi parpol yang berhasil memenuhi parliamentary threshold karena telah berhasil membuktikan tidak hanya sebagai peserta namun telah membuktikan pula performanya mendudukkan wakil-wakilnya di DPR Pusat, maka menjadi beralasan menurut hukum apabila MK tidak menerapkan kewajiban verifikasi administrasi maupun faktual kepadanya karena dua verifikasi itu sudah tidak relevan bagi partai-partai ini.

Hak konstitusional para Pemohon juga semakin dirugikan karena ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu telah diputus oleh MK beberapa kali dalam putusan-putusan sebelumnya dengan menguatkan pembebanan kewajiban melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual kepada Pemohon.

Terakhir melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020, MK juga kembali menegaskan pembebanan kewajiban yang sama melalui penafsiran baru sebagaimana amar putusan Pasal 173 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyatakan,

“Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah lulus verifikasi oleh KPU.” Hal itu, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai.

Menanggapi pemaparan para pemohon itu, Anggota Panel Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mencermati format permohonan para Pemohon sudah memenuhi ketentuan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 2 Tahun 2021, dimulai dengan identitas para Pemohon, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum.

Baca juga :   MK Izinkan Kampanye di Sekolah dan Pemerintah, Mardani: Jangan Sampai Mobilisasi Massa

Selain itu, Manahan meminta para Pemohon memberikan penjelasan mengenai Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga masing-masing parpol terkait siapa saja yang mewakili sebagai Pemohon. Misalnya, hanya ketua parpol, atau bisa dengan sekjen maupun bendahara parpol.

Sementara Anggota Panel lainnya, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan agar para Pemohon menyampaikan argumentasinya yang jelas kalau memang dalil-dalil permohonan tidak nebis in idem. Misalnya, dengan menyampaikan dalil permohonan yang berbeda, alasan-alasan permohonan yang berbeda meski batu ujinya sudah pernah digunakan sebelumnya, disertai dengan peraturan perundang-undangan yang menegaskan permohonan termasuk nebis in idem atau tidak. Sedangkan untuk substansi permohonan, Suhartoyo menilai sudah saling berkorelasi dan cukup mudah untuk dipahami.

Selanjutnya Ketua Panel, Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta para Pemohon agar mempertimbangkan pencantuman Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengenai Kekuasaan Kehakiman dalam permohonan, sebagai batu uji.

“Apakah tepat menggunakan pasal tersebut, sementara yang dipersoalkan tentang kepesertaan partai politik terkait dengan verifikasi. Ini mohon dipikirkan kembali. Karena argumentasinya mengenai independensi kekuasaan kehakiman, bukan verifikasi partai politik,” kata Saldi. (ad/red)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *