Soal Usulan Pergantian Fadel, Margarito Anggap Legal, Dahlan Pido: Tidak Paham Substansi

  • Bagikan
BEDA PANDANGAN: Margarito Kamis (kanan) dan Dahlan PIdo (kiri) punya pandagan hukum berbeda soal usulan pergantian Wakil Ketua MPR RI, Fadel Muhammad.

INDOSatu.co – JAKARTA – Proses usulan pergantian Wakil Ketua MPR RI dari unsur DPD, makin pelik. Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengatakan, keputusan DPD RI menarik Fadel Muhammad dari posisi Wakil Ketua MPR unsur DPD RI sudah sesuai prosedur.

Sementara itu, Dahlan Pido, Koordinator Tim Lawyer Fadel Muhammad mengatakan, Margarito tidak mengetahui substansi dan pokok masalah. Karena itu, Dahlan menilai bahwa pengadilan lah sarana untuk menguji dalil mana yang lebih sah dan bisa diterima oleh nalar yang sehat.

Margarito menilai, keputusan DPD RI sangat berdasar hukum dari aspek prosedur lantaran diputuskan melalui sidang paripurna.

“Kalau kita melihat partai politik, cukup mengeluarkan surat penarikan maka itu diproses. Sementara, DPD RI melalui mekanisme panjang dan diputuskan di forum Paripurna. Ini lebih-lebih legal daripada proses lainnya. Jadi, tidak ada alasan bagi MPR untuk tidak memproses hal itu,” kata Margarito, Jumat (16/9).

Dikatakan Margarito, kunci dari seluruh proses tersebut adalah pada prosedur pengajuannya. Sepanjang dibenarkan oleh hukum, maka prosedur tersebut sah dan legal untuk ditindaklanjuti.

“Ini sudah diputuskan di Rapat Paripurna dan diusulkan oleh kelompok DPD di MPR. Maka prosedurnya legal, sah dia,” tegasnya.

Karena itu, Margarito menilai tak ada satu alasan pun bagi MPR RI untuk tidak memproses pengajuan pergantian Fadel Muhammad sebagai Wakil Ketua MPR RI dari unsur DPD RI sebagaimana diusulkan.

Baca juga :   Pengadilan PTUN Jakarta Tolak Eksepsi LaNyalla untuk Ganti Fadel Muhammad dari Pimpinan MPR

Lantaran proses yang sudah sangat sesuai prosedur, Margarito menilai hal ini tak bisa dihentikan oleh MPR RI. Sebaliknya, MPR RI harus segera memproses pengajuan pergantian Fadel Muhammad dari Wakil Ketua MPR RI unsur DPD RI.

“Prosesnya sudah sangat legal dibanding yang lain. Jadi, tidak bisa dihentikan oleh MPR RI. Satu-satunya kewajiban hukum MPR RI adalah memproses apa yang diajukan DPD RI,” kata Margarito.

Ia pun menyarankan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, dan Tamsil Linrung sebagai figur yang terpilih menggantikan Fadel Muhammad untuk mengikuti seluruh proses yang ada.

“Saran saya untuk Pak LaNyalla dan Pak Tamsil tak perlu bicara. Biarkan saja proses ini berjalan sesuai prosedur,” demikian Margarito.

Sementara itu, Dahlan Pido, Koordinator Tim Lawyer Fadel Muhammad statemen Margarito salah kaprah. Margarito, kata Dahlan, dinilai TIDAK menguasai substansi pokok masalah. Karena itu, Dahlan menilai bahwa pengadilan merupakan sarana untuk menguji dalil mana yang benar dan bisa diterima oleh majelis hakim.

Dahlan mengatakan, bahwa SK Nomor 2/DPD/RI/1/2022-2023 tentang usulan penggantian pimpinan MPR RI adalah proses dan tindakan yang salah. Usulan pergantian itu merupakan perbuatan melawan hukum dan inkonstitusional karena melalui penyelundupan agenda yang sebelumnya tidak ada.

Baca juga :   PP Muhammadiyah Kembali Dipimpin Pasutri, Haedar Dulang 2.203 Suara, Siti Raih 1.258 Suara

Putusan penggantian, kata Dahlan, harus juga disahkan dan ditandatangani oleh semua pimpinan DPD. Jika dua pimpinan DPD tidak ikut menandatangani atau menarik diri, maka putusan pergantian Fadel itu jelas batal demi hukum alias tidak sah.

‘’Ini yang tidak dipahami Pak Margarito. Kok bicara prosedur, tapi aturan perundagannya dilanggar nggak? Dua pimpinan DPD sudah menarik diri, berarti itu batal demi hukum,’’ kata Dahlan.

Yang perlu dipahami juga, kata Dahlan, pimpinan DPD RI itu kolektif kolegial. Itu berlaku tidak hanya pada tataran tugas, tapi juga pada fungsinya. Terkait pergantian Fadel, pimpinan DPD ternyata tidak satu suara.

‘’Yang seperti ini, saya yakin Pak Margarito sangat paham lah. Jadi, sekali lagi pimpinan DPD itu kolektif dan kolegial,’’ kata Dahlan.

Dahlan lalu menguraikan, bahwa dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) pada 18 Agustus 2022 telah terjadi Gerakan Politik yang Inkonstitusional dari sebagian pimpinan dan anggota DPD mengajukan mosi tidak percaya.

Mereka mengupayakan penarikan dan mengganti Fadel dari posisi Wakil Ketua MPR dari unsur DPD yang sah. Perlu disampaikan bahwa mekanisme atau instrumen mosi tidak percaya tidak dikenal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial. ‘’Yang seperti ini masak harus dipahamkan,” kata Dahlan.

Baca juga :   Tak Boleh Jumawa, Sikapi Putusan Sela, Kuasa Hukum Fadel Langsung Lakukan Banding

Instrumen mosi tidak percaya adalah satu mekanisme ketatanegaraan dalam sistem pemerintahan parlementer, dimana kekuasaan eksekutif bersumber dari parlemen. Akan tetapi, kata Dahlan, di Indonesia, UUD 1945 menegaskan bahwa sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem pemerintahan presidensial, sehingga yang menjadi hukum tertinggi adalah konstitusi (supreme of constitution) dengan peraturan perundang-undangan di bawahnya sebagai regulasi pelaksana, dalam hal perkara a quo adalah UU MD3, Tatib MPR, dan Tatib DPD.

Penarikan itu dalam Tatib DPD yang mengatur usul penggantinya setelah lebih dulu ada permintaan dari Pimpinan MPR, dan itu diatur dalam pasal 29 dan 34-35 UU Tatib MPR. ‘’Jadi, boleh-boleh saja berpendapat, tapi landasan hukumnya harus jelas,’’ beber Dahlan.

Pasal 29 ayat (1) huruf (e) Tatib MPR yang menjadi dasar hukum usul penggantian, kata Dahlan, harus diartikan karena ada proses permintaan dari Pimpinan MPR kepada Pimpinan DPD (terlebih dahulu) untuk mengisi jabatan yang kosong.

‘’Jadi, gagasan pengisian itu harus lahir dari MPR, bukan dari DPD, sesuai Tatib MPR,’’ pungkas Dahlan. (adi/red)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *