Siap-Siap,Tarif Listrik Kembali Naik!

  • Bagikan

JIKA mengacu sebuah artikel di media internasional ‘Global Petrol Prices’ edisi 14 Maret 2022, terlihat jelas tarif listrik rumah tangga di Malaysia hanya USD 5,3 sen per kWh. Sedangkan tarif rumah tangga di Indonesia sudah USD 10,1 sen per kWh. Padahal, dengan tarif sebesar itu, pemerintah konon menggelontorkan subsidi Rp 200,8 triliun. Itu terjadi pada 2020 (baca Repelita Online 8 November 2020).

Artinya, tarif listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai EO Listrik, harga tarif listrik di Indonesia dua kali lipat lebih besar dibanding tarif listrik di Malaysia. Mengapa demikian? Jawabnya, karena terjadi perbedaan sistem kelistrikan antara Malaysia dan Indonesia.

Malaysia Terapkan Single Buyer System

Di bidang kelistrikan, Tenaga Nasional Berhard (TNB), PLN-nya Malaysia selama ini memang masih menarapkan single buyer system, yang mana TNB masih sebagai satu-satunya perusahaan pelayanan publik (public utilities) yang cara bisnisnya masih berideologi etatisme/ta’jul furudz, bukan kapitalis-liberal seperti kelistrikan di Indonesia.

Sebenarnya, Malaysia dan Indonesia sama-sama memberi kesempatan kepada pembangkit swasta (Independent Power Producer/IPP). Bedanya, dalam penyediaan listrik di Malaysia, saham pembangkit IPP tidak lebih besar dari saham TNB/Negara. Artinya, saham mayoritas atau minimal 51 persen masih ada dalam kendali pemerintah.

Berbeda dengan di Indonesia. Mayoritas saham dikuasai Aseng/Asing. Jika masih ada saham, PLN paling hanya sekitar 30 persen. Bahkan, IPP seperti PLTU 1.000 MW Celukan Bawang (Bali) dikuasai penuh oleh China Huadian; Jawa 7 (Banten) 2.000 MW dikuasai China Shenhua (ada saham PLN PJB tetapi hanya 30 persen); PLTU Batang 2.000 MW dikuasai Adaro (milik Boy Tohir ) serta Java Power dan Itechu (Jepang); PLTU Cilacap 600 MW (51 persen saham mayoritas China bernama Sumber Segara Prima dan PLN PJB hanya 49 persen). Dan masih banyak lagi IPP di berbagai wilayah, yang PLN nyaris tidak berperan.

Baca juga :   Kurs Rupiah Sentuh Rp 16.337, Ekonomi Indonesia dalam Bahaya

Dalam single buyer system ini, TNB menjadi pembeli tunggal listrik yang dibangkitkan oleh pembangkit-pembangkit IPP tadi. Kemudian listrik di salurkan melalui jaringan transmisi, distribusi, ritail dan masuk ke rumah, hotel, mall, pabrik, tempat wisata dan lain-lain. Intinya, dari hulu sampai hilir masih dalam penguasaan TNB. Sehingga, tidak terjadi pemecahan fungsi (unbundling) secara vertikal/fungsional. Lebih tegas lagi, semua masih dibawah komando TNB.

Di Indonesia, sebelum 2010, PLN masih menerapkan single buyer system, meski saat itu Asing sudah banyak yang memiliki pembangkit IPP. Dalam posisi seperti ini, PLN masih disebut sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) yang bersandar kepada UU Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan. Itu terjadi karena karena UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang baru, dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 15 Desember 2004.

Tetapi pada akhir 2009, terbit UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan terbaru (yang super liberal) disertai masuknya Dahlan Iskan (yang juga super liberal). Dan mulai 2010, Dahlan Iskan sebagai dirut PLN menjual secara korporasi aset PLN yang kategori ritail, seperti komplek SCBD, Central Park, Pantai Indah Kapuk, Meikarta secara “bulk”/curah/”whole sale market” kepada Taipan 9 Naga, seperti Tommy Winata, Trihatma, dan James Riady.

Baca juga :   KTT ASEAN, G20 dan Perubahan Politik Jokowi

Sedangkan untuk yang ‘recehan’ mereka mendirikan pabrik ‘Token’ bersama. Dan para taipan-taipan itu menjual voucher-nya lewat Alfamart, Indomart, serta gerai-gerai recehan lain. Dengan demikian, di sisi pembangkit, sudah dikuasai Aseng/Asing, sedang di sisi ritail sudah dikuasai Dahlan Iskan dan Taipan 9 Naga. Sehingga, saat ini PLN hanya tinggal memiliki jaringan Transmisi dan Distribusi. Itupun distribusi akan terkena program subholding dan akan di IPO-kan dan diyakini akan jatuh ke Aseng/Asing dan Taipan 9 Naga juga.

Sedangkan untuk transmisi, masih dipertahankan guna mengendalikan kelistrikan dengan cara subsidi. Tetapi ini pun, dipastikan akan dibuat subholding transmisi pada ujung kekuasaan Jokowi, dan selanjutnya akan terjadi mekanisme kompetisi penuh multy buyer and multy seller/MBMS) system, dimana tarif tidak akan lagi bisa dikendalikan negara. Sehingga, setiap saat, tarif bisa berubah, dan bahkan bisa melejit seperti yang terjadi di Kamerun 1999-2000.

Dengan dijualnya ritail PLN oleh Dahlan Iskan pada 2010, maka PLN tidak bisa lagi mengendalikan pembangkit dan ritail. Padahal, komponen biaya produksi ditentukan oleh dua instalasi ini. Sedangkan untuk transmisi dan distribusi yang masih dikuasai PLN saat ini, hanya berfungsi sebagai kuli panggul yang membawa strum dari pembangkit ke ritail dan masuk ke rumah konsumen, pabrik, hotel dan sebagainya.

Dengan kondisi di atas, Indonesia sudah masuk ke multy buyer and multy seller (MBMS) System, bukan single buyer system seperti TNB (PLN-nya Malaysia), karena masih ditahan dengan gelontoran subsidi.

Baca juga :   Kontroversi Langkah Politik Gibran

Gejala Pelepasan Subsidi

Bisa jadi Pemerintah sudah tidak tahan lagi menggelontorkan subsidi listrik (yang indikasinya cuma jadi bancakan oligarkhi Peng Peng). Dan beberapa hari belakangan ini, Ditjen Gatrik-ESDM ditengarahi sudah mulai melakukan propaganda subsidi langsung dengan alasan agar tepat sasaran. Artinya, sebentar lagi tarif listrik akan naik.

Sementara, strategi subsidi langsung itu hanya menjadi modus untuk meringankan beban Rezim. Lagi pula, siapa yang mau melakukan pengecekan subsidi langsung itu benar dilakukan atau tidak? Semua itu diindikasikan hanya modus Kapitalis, seperti BLT, BLSM, Kartu ini, Kartu itu, yang semua itu disertai dengan pengerahan media secara besar-besaran guna menutupi kebohongan!

Akhirnya, kelistrikan hanya menjadi bancakan di sisi Pembangkit dan Kapitalis, dengan cara-cara subsidi langsung yang diindikasikan hoax belaka. Serta hanya jadi bancakan oligarki “Peng Peng” seperti Luhut B. Pandjaitan, Erick Tohir, Jusuf Kalla, Dahlan Iskan and their gang!
Sebelum Lebaran 2022, tarif listrik dipastikan akan naik. Padahal, saat ini saja, tarif listrik rumah tangga Indonesia sebesar USD 10,1 sen per kWh, semantara tarif Malaysia USD 5,3 sen per kWh (sumber Global Petrol Prices 14 Maret 2022). Ini semua akibat kelistrikan yang sudah dikendalikan Aseng/Asing dan Taipan 9 Naga.

Ahmad Daryoko;
Penulis adalah Koordinator Indonesian Valuation for Energy and Infrastructure (INVEST).

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *