STARLINK terus mengundang kontroversi. Dalam Rapat bersama Komisi VI DPR-RI pada Selasa (11/6) lalu, akhirnya terungkap Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengaku bahwa investasi perusahaan milik miliuner Elon Musk di Indonesia itu ternyata tak seindah nama besarnya, karena (cuma) Rp 30 miliar alias hanya sekitar 0,01 persen dari nilai korupsi kasus tambang Timah (yang juga penuh kontroversi) itu.
Bukan hanya itu. Bahlil juga menyampaikan bahwa dalam sistem OSS (One Single Submission) yang diaksesnya terungkap bahwa jumlah tenaga kerja StarLink di Indonesia yang terdaftar juga hanya tiga orang. Luar biasa efisiennya. Sama sekali tidak menyerap jutaan naker dari Indonesia. Sayangnya, Bahlil tak merinci detil operasional perusahaan, karena “takut melahirkan multi interpretasi.”
Seperti diketahui, StarLink sendiri sudah aktif di Indonesia sejak Mei lalu. Bahkan, Elon Musk sendiri yang datang menyerahkan perangkat StarLink-nya di sebuah Puskesmas di Bali saat event World Water Forum (WWF). Meski sempat tersendat dan tidak lancar koneksinya, Puskesmas telah menjadi pintu masuk istimewa untuk layanan internet menggunakan Low Earth Orbital (LEO) Satellite-nya di Indonesia.
Jadi, meski rencananya juga dihadiri Presiden, namun last-minute batal tanpa keterangan yang jelas, pemberian perangkat StarLink itu dilakukan karena adanya kerja sama antara Kementerian Kesehatan dengan StarLink. Ini dilakukan untuk memberikan akses internet di seluruh puskesmas Indonesia yang disebut-sebut sebelumnya mengalami banyak kendala, terutama di daerah-daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T).
Meski demikian, kedatangan Elon Musk di Bali saat itu disambut langsung oleh Menko Marves RI Luhut Binsar Pandjaitan di Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai, Minggu (19/5). Selain peresmian StarLink diatas, Elon Musk sebenarnya juga sempat diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato dalam acara WWF, meski Elon Musk mengaku sama sekali bukan ahli dalam bidang perairan. Sehingga, di sela-sela acara tersebut, Elon Musk masih sempat bertemu dengan Presiden Jokowi. Harapannya, untuk mendorong investasi Tesla di Indonesia. Meski demikian, sampai saat ini investasi masih zonk karena Elon Musk dengan Tesla-nya lebih memilih untuk investasi di luar Indonesia, misalnya di India.
Terkait kerja sama dengan masuknya StarLink, Jokowi berharap bisa bersinergi dengan penyedia internet dalam negeri. Dengan demikian, bisa menyediakan akses internet yang melindungi konsumen dan memberikan harga murah untuk penggunaan layanan publik. Namun, tampaknya, harapan ini jauh panggang dari api, karena penegasan dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bulan lalu, jangankan bekerja sama, StarLink dikhawatirkan akan menghancurkan bisnis Internet Service Provider (ISP) di Indonesia kalau mereka “bakar dollar” alias jual murah layanannya dan berakibat rusaknya ekosistem bisnis ISP yang sudah terjalin lama di Indonesia itu.
Belum lagi jika melihat syarat yang seharusnya dipenuhi dahulu oleh sebuah penyelenggara jaringan internet di Indonesia yang wajib menggunakan IP Lokal untuk aksesnya (dan bukan IP Global yang di luar yurisdiksi Indonesia), maka statemen dari Menkominfo Budi Arie Setiadi belum lama ini menyebutkan bahwa StarLink masih belum (atau tidak?) mau mengikuti syarat yang adil untuk semua operator internet di Indonesia, sehingga kekhawatiran APJII akan tidak terjadinya level playing filed yang sama bisa terbukti.
Karena itu, sangat ironis bila melihat bisnis ISP di Indonesia yang sudah berjuang selama puluhan tahun sebelumnya, mulai dari zaman masih menggunakan dial-up dengan Modem jack RJ-11 di jaringan telepon, saat itu baru ada ISP RadNet, IndoNet, IdOla (milik Telkom), WasantaraNet (milik PT Pos) hingga saat ini yang sudah sedemikian lama berlangsung dan membangun sendiri jaringannya bersama anak negeri, tiba-tiba seperti ada tsunami koneksi oleh StarLink dari luar negeri yang masuk dengan difasilitasi oleh Pemerintah. Belum lagi kalau melihat akan adanya bahaya disintegrasi bangsa sebagaimana yang pernah saya tulis sebelumnya, karena pengguna StarLink bisa bebas akses tanpa terdeteksi hukum Indonesia.
Jika dibandingkan, ratusan bahkan ribuan anak bangsa yang sudah berjuang mandiri membangun jaringan internet lokal sebelumnya, mendadak dikalahkan oleh hanya 3 (tiga) orang yang mewakili StarLink dengan investasi hanya Rp 30 miliar dibawa masuk oleh Elon Musk ke Indonesia, sungguh sangat Terwelu (baca: Terlalu, bahasa gaulnya netizen). Ini sama dengan sejarah Indonesia sebagai pemilik HotBird Satelit Palapa di tahun 80-an yang laris manis disewa mayoritas negara di Asia, kini harus tunduk pada Satelit LEO StarLink.
Judul “Setali Tiga Uang” ini mengingatkan kita juga pada era tahun 70-an silam, dimana saat itu ada nilai “setali” yang artinya 3/4 Rupiah. Dimana uang pecahan yang beredar saat itu ada yang senilai 25 sen, sehingga untuk mencapai nilai 3/4 Rupiah alias 75 sen, dipakai 3x Uang Logam @ 25 sen, maka arti dari 25 sen x 3 = Setali, alias (sama saja) Setali Tiga Uang (25 sen). Jadi Setali Tiga uang adalah Sama saja 3x di-prank, sudah Tesla tidak jadi masuk, Lokasi Peluncuran Roket Space-X belum jelas, ternyata StarLink cuma investasi Rp 30 miliar meski sudah diberi karpet merah. Sekali lagi benar-benar Ter..la..lu… (*)
Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes;
Penulis adalah Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen.