Serahkan Lagi Kelola Fiskal ke Sri Mulyani: Ulangi Kegagalan 10 Tahun

  • Bagikan
PRIHATIN: Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyikapi kondisi ekonomi Indonesia yang tidak menentu.

RANCANGAN APBN 2025 disusun dan diserahkan kepada DPR sekitar Mei 2024, lalu ditetapkan menjadi RUU APBN pada Agustus 2024, dan disahkan menjadi UU APBN pada Oktober 2024. Artinya, APBN tahun anggaran 2025 disusun oleh pemerintahan Jokowi dan Sri Mulyani.

Dalam rancangan APBN 2025 dijelaskan mengenai Arah dan Strategi Kebijakan Fiskal Tahun 2025, antara lain untuk Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan. Serta mempunyai nilai strategis, karena merupakan kebijakan di masa transisi.

Pernyataan itu terlalu mengada-ada. Nilai strategis seperti apa: menjadi landasan “Indonesia Emas”? Pernyataan seperti ini hanya membodohi publik saja.

Selama sepuluh tahun, pemerintahan Jokowi, Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan yang bertanggung jawab terhadap kebijakan fiskal terbukti tidak mampu menciptakan akselerasi pertumbuhan ekonomi, dan tidak berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Terus, kenapa sekarang, di masa tahun transisi ini, kebijakan fiskal yang disusun Sri Mulyani, tiba-tiba bisa menjadi super, seolah-olah bisa menjadi penentu masa depan Indonesia: sebagai landasan Indonesia Emas 2045?

Faktanya, selama 10 tahun periode 2014-2024, tingkat kemiskinan nasional menurut BPS hanya turun 2,39 persen, dari 10,96 persen (2014) menjadi 8,57 persen (2024).

Baca juga :   Teror Kobra di Banten adalah Serangan terhadap Demokrasi

Kemudian, utang pemerintah naik Rp 6.071 triliun, dari Rp 2.609 triliun (2014) menjadi Rp 8.680 triliun (2024), atau naik lebih dari 230 persen.

Angka stunting masih sangat tinggi, mencapai 21,5 persen pada 2023, hanya turun 0,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya, 2022.

Berdasarkan data-data di atas, pemerintahan Joko Widodo dan Sri Mulyani terbukti gagal total dalam mengelola fiskal Indonesia.

Mengikuti arahan dan strategi kebijakan fiskal dari pihak yang sudah jelas-jelas gagal dalam mengelola fiskal, maka hampir dapat dipastikan akan mengulang kegagalan tersebut.

Artinya, menyerahkan pengelolaan fiskal 2024-2029 kepada Sri Mulyani lagi yang terbukti gagal selama 10 tahun terakhir, maka hampir dapat dipastikan akan gagal juga.

Kemungkinan gagal fiskal sudah nampak. Penerimaan pajak anjlok lebih dari 30 persen dalam dua bulan pertama ini. Kemungkinan besar akan terjadi shortfall cukup besar pada tahun ini, bisa mencapai setidak-tidaknya 0,5 persen dari PDB. Tax ratio akan turun menjadi sekitar 9,1-9,5 persen dari PDB.

Baca juga :   Pembangunanisme Ganjar versus Pambangunan Manusia Anies (Bagian I)

Asumsi kurs rupiah juga akan meleset. Kurs rupiah ditetapkan terlalu tinggi. Kurs rupiah di APBN 2024 ditetapkan Rp 15.000 per dolar AS. Faktanya jauh lebih rendah dari itu, mencapai Rp 16.000 per Dolar AS.

Tahun 2025 asumsi kurs rupiah nampaknya juga akan meleset jauh. Kurs rupiah di dalam APBN 2025 diperkirakan bergerak di rentang Rp 15.300-Rp 16.000 per dolar AS, atau rata-rata sekitar Rp 15.650.

Faktanya, kurs rupiah saat ini sudah tembus Rp 16.500 per dolar AS, dan cenderung masih melemah, meskipun Bank Indonesia sudah melakukan intervensi pasar terus-menerus, serta menerbitkan surat utang Bank Indonesia (SRBI, SVBI, SUVBI) secara agresif.

Utang Luar Negeri Bank Indonesia naik dari 3 miliar dolar AS pada 2019 menjadi sekitar 30 miliar dolar AS pada 2024.

Risiko APBN lainnya yang sangat serius adalah beban bunga utang yang semakin besar. Rasio beban bunga terhadap penerimaan perpajakan naik dari hanya 11,6 persen pada 2014 menjadi 23,6 persen pada 2024.

Baca juga :   Matematika Sederhana Perkiraan Hasil Pilpres 2024: Gibran Effect Minus Besar

Rasio beban bunga utang tahun 2025 diperkirakan akan naik lagi, bisa mencapai lebih dari 25 persen terhadap penerimaan pajak.

Beban bunga utang yang tinggi membatasi kemampuan belanja pemerintah, dan berdampak negatif terhadap ekonomi.

Karena itu, menyerahkan pengelolaan fiskal kepada Sri Mulyani yang terbukti gagal selama 10 tahun ini akan membahayakan masa depan ekonomi dan fiskal Indonesia.

Pertanyaannya, kenapa Sri Mulyani dipertahankan meskipun bukti kegagalannya sudah terpampang secara jelas?

Ada pihak yang berpendapat, sulit mencari pengganti Sri Mulyani. Pendapat seperti ini sangat menghina bangsa Indonesia.

Di lingkaran Prabowo atau Gerindra saja, ada sosok Fuad Bawazier, mantan Menteri Keuangan, yang mempunyai pengetahun luas, dan pastinya jauh lebih baik dari Sri Mulyani.

Semoga Presiden Prabowo secepatnya menyelamatkan ekonomi dan fiskal Indonesia, dengan mengganti nakhoda di Kementerian Keuangan. Jangan sampai kerusakan fiskal semakin dalam dan semakin parah. (*)

Prof. Anthony Budiawan;
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Alumni Doktoral (S3) Erasmus University, Rotterdam, Belanda.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *