Respon Pernyataan Margarito, Eks Anggota DPD: Pandangannya Dangkal dan Subjektif

  • Bagikan
LURUSKAN HUKUM: Abdurachman Lahabato menilai bahwa, mosi tidak percaya tidak dikenal di Indonesia yang menganut sistem presidensial. Mosi tidak percaya hanya berlaku di negara yang menganut sistem parlementer.

INDOSatu.co – JAKARTA – Statemen Margarito Kamis, akademisi dari Universitas Khairun Ternate, yang menganggap legal pergantian Fadel Muhammad, Wakil Ketua MPR RI dari unsur DPD mengundang reaksi dari berbagai kalangan.

Respon tersebut salah satunya datang dari Abdurachman Lahabato. Mantan anggota DPD RI dua periode tersebut menilai, Margarito diduga memiliki referensi dan data yang sumir terkait proses pergantian Fadel Muhammad dari jabatannya sebagai wakil ketua MPR dari unsur DPD, sehingga pandangannya juga dangkal dan “beraroma” subjektif.

Sebagai pakar Ilmu Hukum Tata Negara, kata Alto, sapaan akrab Abdurachman Lahabato, mestinya Margarito mendudukkan arah hukum yang benar, bahwa mosi tidak percaya itu tidak dikenal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang menganut sistem presidensial.

‘’Yang menganut model mosi tidak percaya hanya dikenal dan dipraktekkan di negara-negara yang menganut sistem parlementer, meski mosi tidak percaya itu ditandatangani anggota DPD,’’ kata Alto dalam keterangannya kepada INDOSatu.co, Sabtu (17/9).

Baca juga :   Permasalahan Besar Pekerja Migran, Bidnaker PKS: Negara Belum Atasi secara Serius

Terkait pandangan hukumnya soal upaya pergantian Fadel Muhammad, Wakil Ketua MPR dari unsur DPD, kata Alto, sebagai akademisi, Margarito mestinya memiliki kewajiban akademik untuk mendudukan dasar-dasar proses ketetanageraan yang benar sesuai konstitusi.

Jika Margarito menyederhanakan DPD sudah prosedural dalam pengambilan keputusan, karena sudah melalui sidang paripurna, Alto malah menyarankan Margarito untuk “khatam” makna kata paripurna dan juga betul-betul mendalami fungsi sidang paripurna di setiap parlemen, termasuk Sidang Paripurna DPD.

Bahwa sidang paripurna yang dimaksud Margarito adalah instrumen pengambilan keputusan tertinggi adalah betul. Tetapi, pengambilan keputusan tidak serta merta alias ujuk-ujuk atas nama kemauan kelompok karena dilandasi oleh ambisi yang tidak berdasar.

Sidang paripurna, kata Alto, adalah forum tertinggi untuk mengesahkan proses politik yang benar dari setiap alat kelengkapan dewan (AKD). Bukan karena atas nama rapat paripurna lantas “memaksakan” mengesahkan keputusan kehendak sekelompok anggota dengan mengatasnamakan mayoritas semata.

Baca juga :   Peringati Hari Koperasi ke-75, Para Tokoh Nasional Ziarahi Bung Hatta, Berikrar Lawan Oligarki

Rapat paripurna tidak boleh dijadikan instrumen untuk melegitimasi tirani atas nama mayoritas yang diduga tendensius semata. Praktik seperti itu tidak boleh terjadi dalam sebuah lembaga negara yang wajib taat atas norma dan etika.

Karena itu, kata Alto, pandangan Margarito yang notabene sebagai akademisi HTN, dengan mengatakan Pimpinan MPR tidak memiliki alasan cukup untuk tidak memproses, dianggapnya malah justru terbalik.

Pimpinan MPR, kata Alto, memiliki alasan yang cukup kuat untuk menolak  proses penggantian Wakil Ketua MPR dari unsur DPD yang diusulkan oleh Ketua DPD RI melalui Kelompok DPD di MPR, karena tidak prosedural. Apalagi, kata Alto, kasus ini tengah dalam proses hukum di pengadilan.

Baca juga :   Prabowo Apresiasi Muhammadiyah, Haedar Ungkap Krismuha. Ternyata Ini Maksudnya....

“Mestinya, Margarito sebagai akademisi HTN, taat dan hormat atas proses hukum di Pengadilan,’’ kata pria asal Maluku Utara ini.

Dan saat ini, kata Alto, setelah proses politik tersebut, dua pimpinan DPD juga menyampaikan pernyataan menarik diri tanda tangan terhadap usulan pergantian Fadel Muhammad sebagai Wakil Ketua MPR RI, karena menyadari bahwa proses politiknya tidak benar, yakni tidak melalui BK dan mosi tidak percaya yang memang tidak dikenal dalam ketatanegaraan Indonesia.

Karena itu, Alto menyarankan kepada Margarito agar mempelajari secara utuh mekanisme dan proses pengambilan keputusan yang patut di parlemen, dalam hal ini DPD RI.

‘’Saya senang dan salut jika Margarito mengkritisi DPD RI yang dalam data, menunjukkan sudah 3 tahun, belum ada RUU inisiatif DPD yang diundangkan untuk kepentingan daerah,’’ pungkas Alto yang juga mantan jurnalis ini. (adi/red)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *