INDOSatu.co – JAKARTA – RAPBN tahun 2024 yang diajukan oleh Presiden Jokowi mengkritik tajam dari Fraksi PKS DPR RI. Bahkan, F-PKS menilai, RAPBN tidak istimewa karena Pemerintah belum menunaikan janji-janji ekonomi, khususnya dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Penilaian tersebut disampaikan Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Diah Nurwitasari, saat membacakan Pemandangan Umum (PU) Fraksi PKS DPR RI terhadap Keterangan Pemerintah atas RUU tentang APBN T.A. 2024 beserta Nota Keuangan di Rapat Paripurna DPR RI, di Senayan, Jakarta, Selasa (22/8).
“Kita syukuri pencapaian setiap pemerintahan, termasuk 9 tahun dipimpin oleh Presiden Jokowi. Tapi kita harus jujur mengakui masih banyak ketertinggalan, kelemahan, dan kekurangan yang menjadi pekerjaan rumah bagi kita sebagai bangsa. Janji pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat belum sepenuhnya tunai,” tegas Diah.
Fraksi PKS, imbuh Anggota DPR RI dari Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat ini, berpandangan soal pentingnya untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi untuk mencapai pertumbuhan inklusif.
“Dengan pertumbuhan inklusif, maka pertumbuhan tidak terkonsentrasi pada golongan tertentu saja seperti yang terjadi saat ini. Tetapi dapat terdistribusi ke seluruh golongan, terutama rakyat terbawah,” ujarnya.
Anggota Komisi VII DPR RI ini pun menguliti beberapa hal yang menurutnya masih jauh dari target, seperti soal kemiskinan. Fraksi PKS mencermati tingkat kemiskinan di Indonesia masih sangat tinggi dan tidak bergeser banyak dari 10 tahun silam. Apalagi setelah dihantam pandemi selama 3 tahun. Terdapat 9,36 persen rakyat atau sebesar 25,90 juta jiwa berada di bawah garis kemiskinan dan 1,12 persen berada pada kemiskinan ekstrem (Maret 2023).
”Sejalan dengan itu, angka pengangguran juga terbuka 5,45 persen pada Februari tahun 2023,” ungkap Diah.
Diah pun menyoroti soal masih tingginya proporsi pekerja di sektor informal yang perlu segera diselesaikan oleh Pemerintah melalui digitalisasi dan industrialisasi. Di sisi Iain, kata Diah, tenaga kerja Indonesia 60 persen mayoritas didominasi oleh tenaga kerja informal dan berpendidikan rendah. Potret tenaga kerja Indonesia juga masih dominan di sektor tradisional dengan upah yang rendah.
Selain itu, kata Diah, perkembangan digitalisasi dan otomasi yang berlangsung masif dan cepat juga berpotensi menimbulkan disrupsi pada kompetensi dan pasar tenaga kerja. Kalau tidak cepat diantisipasi, jelas akan runyam. ”Bahkan, berpotensi semakin banyak tenaga kerja menganggur di Republik ini dan dapat menjadi bencana demografi,” tegasnya.
Lebih lanjut, Diah juga mencermati ketimpangan ekonomi rakyat Indonesia yang dirasa masih sangat lebar. Kue pembangunan dan kekayaan nasional dinikmati secara tidak merata. Dalam catatan Bank Dunia, ketimpangan di Indonesia menjadi nomor 3 terburuk di dunia. Satu persen orang kaya di Indonesia menguasai 50,2 persen kekayaan nasional.
”Rasio gini kita juga masih lebar, bahkan pada Maret 2023 angkanya meningkat menjadi 0,388, dari September 2022 yang sebesar 0,381 yang menunjukkan ketimpangan ekonomi makin lebar. Menyikapi fenomena tersebut, Fraksi PKS jelas tidak akan tinggal diam,” pungkas Diah. (*)