INDOSatu.co – JAKARTA – Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan menilai, putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) atas gugatan Partai Prima dengan Nomor Register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst merupakan bentuk nyata dari kekeliruan berpikir dan pengingkaran terhadap amanat konstitusi. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 tegas-tegas menyatakan Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Rumusan norma ini telah jelas mengatur bahwa pelaksanaan Pemilu dilakukan secara periodik setiap lima tahun. Artinya, jika Pemilu dilaksanakan pada 2019, maka Pemilu berikutnya wajib diselenggarakan pada tahun 2024. Karena itu, putusan PN Jakarta Pusat yang memerintahkan penundaan tahapan pemilu, yang berujung pada pelaksanaan Pemilu pada 2025 adalah bentuk pelanggaran konstitusional yang nyata.
Putusan PN Jakpus yang berakibat pada pelaksanaan Pemilu di tahun 2025, kata Syarief, sungguh sangat aneh dan patut dipertanyakan. Mengapa tiba-tiba Pengadilan Negeri memutuskan perkara kepemiluan, yang mestinya ranah Bawaslu dan PTUN, atau sengketa yang menjadi ranah Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Negeri yang mengambil alih. Hal ini belum pernah terjadi, sehingga sangat wajar putusan PN itu sangat mengejutkan.
”Jika persoalannya pada kapasitas berpikir, maka sudah seharusnya Komisi Yudisial memeriksa Majelis Hakim yang memutuskan ini. Jangan sampai rakyat berpikir putusan itu sudah direncanakan dan disengaja,” ujar Politisi Senior Partai Demokrat (PD) ini.
Menurut Syarief, sengketa kepemiluan bukanlah yurisdiksi Pengadilan Negeri, atau bisa dikatakan Hakim PN Jakpus telah melampaui kewenangan (ultra vires), sehingga perkara ini sejak awal harusnya dinyatakan tidak dapat diterima. Dengan putusan PN Jakpus ini, seakan membuka dua kemungkinan kotak pandora. Apakah sudah sedemikian parahnya politisisasi hukum, sampai-sampai lembaga yudisial digunakan untuk menjustifikasi kepentingan politik tertentu.
Atau, kata Syarief, bisa juga ini karena kurangnya pemahaman dan kompetensi hakim dalam membuat putusan. Jika ini persoalannya, kata Syarief, pendidikan hukum bagi para hakim tentu menjadi pertanyaan lainnya. Semoga saja, ini karena bentuk kesembronoan hakim PN Jakpus yang keburu dan tidak cermat membuat putusan.
“Ingatlah putusan ini membawa implikasi yang sangat serius terhadap kehidupan ketatanegaraan dan kenegaraan secara luas. Pada 2024, kita akan menyongsong suksesi kepemimpinan di semua tingkatan: pusat dan daerah, eksekutif dan legislatif. Putusan PN Jakpus ini hanya akan menyisakan dinamika kontraproduktif dalam perjalanan bangsa. Kita semua akan disesaki ketidakpastian, bagaimana wajah demokrasi dan hukum di republik ini,” kata Syarief.
Meski putusan PN Jakpus ini masih dapat dilakukan upaya hukum, namun terlalu banyak energi bangsa yang akan dihabiskan. Ini jelas bukan perkara sepele dan remeh. Ini adalah kecelakaan hukum yang sangat memilukan, sekaligus memalukan. ”Wibawa hukum dipertaruhkan dan akan sangat mungkin dikangkangi oleh kepentingan tertentu,” ujar Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini.
Karena itu, Syarief mendesak Komisi Yudisial untuk memeriksa Majelis Hakim yang menangani perkara ini. Syrief juga berharap Pengadilan Tinggi mengatensi betul perkara ini. Jangan sampai ketidakcakapan atau (kesengajaan?) merusak wibawa hukum. Yang perlu diingat, rakyat tidak akan diam melihat penyimpangan, apalagi jika konstitusi telah diingkari. Segala bentuk kesalahan harus diluruskan atau jika itu adalah kesewenang-wenangan, maka harus dilawan.
“Rakyat menolak Putusan PN Jakpus yang berimplikasi pada penundaan pemilu di tahun 2025. Mahkamah Agung, dalam hal ini Pengadilan Tinggi DKI Jakarta harus betul-betul bijak dan tegas untuk membatalkan Putusan PN Jakpus ini. Jangan bermain-main atau mempermainkan demokrasi dan konstitusi,” pungkas Syarief Hasan. (adi/red)