SEPULUH tahun pemerintahan Jokowi berlalu. Pertanian Indonesia berjalan ditempat. Jokowi terbukti gagal mengurangi impor pangan, gagal mewujudkan swasembada beras. Impor beras 2023 mencapai 3,06 juta ton, mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah. Impor beras 2024 diperkirakan akan lebih tinggi lagi. Di tengah kegagalan ini, Jokowi melakukan manuver bahaya, mengambil jalan pintas, membuka lahan pertanian secara besar-besaran, yang dikenal dengan proyek food estate untuk mendongkrak produksi pangan.
Manuver ini sangat bahaya karena dilakukan tanpa pertimbangan matang, dengan perkiraan tingkat keberhasilannya sangat rendah. Sejumlah pakar pertanian sudah mengingatkan hal ini. Tetapi, Jokowi mana mau tahu. Proyek food estate jalan terus sejak pertengahan tahun 2022. Benar saja. Proyek food estate di sejumlah daerah gagal total. Antara lain di Kalimantan. Dana triliunan rupiah menguap.
Bukannya belajar dari pengalaman kegagalan sebelumnya, Jokowi kali ini malah menyiapkan proyek food estate yang jauh lebih besar lagi di Papua, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan beberapa daerah lainnya. Di Merauke, Papua, luas food estate mencapai 2,29 juta hektare, di mana sekitar 1,18 juta hektar untuk padi dan 1,11 juta hektare untuk tebu. Di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan konon sedang disiapkan masing-masing 500 ribu hektare.
Kebijakan ‘Cetak Sawah’ Food Estate Mencerminkan Frustrasi
Kebijakan meningkatkan produksi pangan melalui program food estate, atau ‘cetak sawah’, mencerminkan kebijakan frustrasi, dan juga spekulatif. Sebab, masalah pangan bukan hanya masalah produksi, atau masalah swasembada. Tetapi, juga masalah kesejahteraan petani. Artinya, masalah utama pangan adalah, bagaimana meningkatkan produksi pangan, yang sekaligus juga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Faktor terakhir ini, kesejahteraan petani, bahkan jauh lebih penting, dan harus menjadi prioritas utama.
Sedangkan proyek ‘cetak sawah’ food estate, yang akan menelan dana APBN puluhan triliun rupiah, tidak bisa memenuhi kedua tujuan di atas secara bersamaan. Sebaliknya, proyek food estate (kemungkinan besar) akan membuat pendapatan dan kesejahteraan petani turun. Alasannya sebagai berikut. Program food estate menciptakan dua klaster produksi padi dengan karakteristik sangat berbeda, dilakukan oleh dua ‘pelaku usaha’ yang juga berbeda.
Klaster pertama, produksi padi dilakukan oleh petani ‘gurem’ dengan cara tradisional seperti yang selama ini dilakukan oleh para petani kita, dengan struktur biaya produksi relatif cukup tinggi.
Klaster kedua, produksi padi dilakukan di area food estate yang sangat luas, dilakukan oleh “badan usaha” (swasta atau negara), dengan metode full mekanisasi, dan penggunaan aplikasi pertanian modern. Kondisi ini membuat biaya tanam di food estate, klaster kedua, akan jauh lebih rendah dari biaya tanam di klaster pertama.
Dampak dari dua klaster produksi ini sangat memprihatinkan. Harga gabah nasional akan tertekan, mengikuti biaya produksi padi di food estate yang lebih rendah. Hal ini membuat pendapatan petani di klaster pertama (non-food estate) tertekan, membuat kesejahteraan petani anjlok. Dampak ini bersifat permanen. Dampak lanjutannya, petani padi akan beralih ke tanaman lain, membuat produksi padi nasional anjlok ke tingkat yang dapat menetralisir kenaikan produksi padi di food estate, bahkan lebih rendah. Ironi.
Sebaliknya, bagaimana kalau food estate gagal, seperti perkiraan banyak pakar pertanian, termasuk guru besar IPB Prof. Dwi Andreas Santosa yang berpendapat bahwa food estate akan gagal. Alasan yang dikemukan oleh Prof. Andreas sangat rasional dan masuk akal.
Kalau food estate gagal, semua akan kembali ke titik nol: produksi padi dan kesejahteraan petani stagnan. Tetapi, biaya kebijakan gagal ini sangat besar. Dana APBN puluhan triliun rupiah menguap tanpa hasil, yang mungkin bisa dianggap menjadi kerugian negara, tergantung apakah pengeluaran uang rakyat tersebut sesuai peraturan perundang-undangan. Uraian di atas menegaskan, kebijakan ‘cetak sawah’ food estate merupakan kebijakan putus asa, kebijakan ‘lose-lose’: semua pihak kalah.
Meningkatkan produktivitas, satu-satunya solusi untuk meningkatkan meningkatkan produksi pangan dan kesejahteraan petani. Karena itu, pemerintah seharusnya mencari solusi pangan yang berkelanjutan (sustainable), dengan meningkatkan produktivitas padi (pangan) secara berkelanjutan, yang sekaligus akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Selain itu, tentu saja pemerintah juga harus menghentikan penyusutan lahan sawah produktif, terutama akibat alih fungsi lahan sawah produktif dengan kedok PSN seperti di PIK-2.
Guna meningkatkan produktivitas tanaman padi, harusnya tidak terlalu sulit, asal pemerintah mau sungguh-sungguh menanganinya. Sebab, produktivitas padi Indonesia saat ini jauh lebih rendah dibandingkan Vietnam, apalagi China. Produktivitas padi Vietnam dan China paling tidak 20 persen dan 40 persen lebih tinggi dari Indonesia.
Menurut data dari Foreign Agricultural Services Kementerian Pertanian Amerika Serikat (FAS USDA), Produktivitas padi tahun produksi 2023/2024 Indonesia hanya mencapai 4,8 ton per hektare. Sedangkan produktivitas padi Vietnam dan China masing-masing mencapai 6,1 ton dan 7,1 ton per hektare, atau 27 persen dan 48 persen lebih tinggi dari Indonesia.
Kalau produktivitas padi Indonesia dapat menyamai Vietnam, maka produksi padi nasional akan meningkat, mungkin lebih besar dari kenaikan produksi padi dari hasil program ‘cetak sawah’ di food estate. Kenaikan produktivitas padi pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani secara instan, meningkatkan daya beli petani, yang pada gilirannya akan membuat pertumbuhan ekonomi melonjak.
Pertanyaannya, apakah pemerintah mampu? Di penghujung masa jabatannya, Jokowi masih cawe-cawe “memaksakan” program ‘lose-lose’ food estate, meninggalkan bom waktu pada Prabowo. Karena kalau program ini gagal, dan peluang gagal sangat besar, maka pemerintahan Prabowo yang harus menanggung akibatnya. (*)
Prof. Anthony Budiawan;
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Alumni Doktoral (S3) Erasmus University, Rotterdam, Belanda.