Prof. Henri: MK Berupaya Kembalikan Marwah akibat Putusan Paman Gibran

  • Bagikan
PENILAIAN FAIR: Pakar Komunikasi UnaIr Surabaya Prof. Henri Subiakto menilai hakim MK berupaya kembalikan marwah pasca putusan Anwar Usman.

INDOSatu.co – JAKARTA – Setelah melihat proses persidangan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum presiden (PHPU presiden) yang diajukan pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sejak Rabu (27/3), Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai tidak lagi hanya terpaku pada aspek kuantitatif.

Yaitu, yang fokus pada angka-angka hasil pilpres atau hanya menerima keberatan penghitungan suara yang dapat mempengaruhi penentuan terpilihnya paslon dengan bukti-bukti konkret yang terjadi di tempat pemungutan suara (TPS).

Tapi lebih dari itu, MK juga terbuka pada kemungkinan pendekatan kualitatif. Yaitu dengan berupaya mengungkap lebih dalam bagaimana proses pemilu yang melahirkan angka-angka atas hasil pilpres itu, apakah sudah sesuai dengan asas pemilu yang digariskan konstitusi atau tidak, luber dan jurdil.

Karena itu, lembaga hukum pengawal konstitusi yang kini dipimpin Suhartoyo tersebut pun terbuka terhadap semua kemungkinan putusan yang akan diambil. Termasuk menerima gugatan para pemohon, yaitu menggelar pemilu ulang tanpa pasangan Prabowo-Gibran.

Baca juga :   Para Saksi Ahli AMIN di Depan Sidang MK Tegas Bersikap, Pilpres 2024 Berlangsung Curang!

“Setelah jalannya sidang seminggu lebih ini, ada tanda-tanda, para hakim MK mulai terbuka pada semua opsi putusan, termasuk kemungkinan menerima gugatan,” jelas Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Prof. Henri Subiakto kepada wartawan Kamis (4/4).

“Kalau selama ini kecenderungan (MK) menolak gugatan lebih besar jika tanpa bukti-bukti kecurangan secara kuantitatif di tiap-tiap TPS, sidang-sidang sekarang itu lebih kualitatif dan terbuka kemungkinan menerima gugatan sebagai hal yang logis secara hukum,” sambung akademisi asli Yogyakarta ini.

Menurut Prof. Henri, keterbukaan pada semua pendekatan itu, kuantitatif dan juga kualitatif, tidak lepas dari upaya untuk mengembalikan marwah MK dan para hakimnya yang hancur pascakeluarnya putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Baca juga :   Bukti Kuat, Hamdan Zoelva Optimistis MK Kabulkan Gugatan Anies-Muhaimin

Putusan tersebut terkait uji materi Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu yang menambahkan syarat alternatif kepala daerah sebagai syarat capres-cawapres yang menjadi celah bagi putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, bisa maju pada Pilpres 2024 meski belum berusia 40 tahun.

Beleid penuh kontroversi tersebut bisa lolos tidak lepas dari peran Anwar Usman, yang kemudian terbukti melakukan pelanggaran etik berat sehingga paman Gibran tersebut diberhentikan sebagai Ketua MK oleh Majelis Kehormatan MK.

Melihat strategis dan besarnya wewenang MK ini, Prof. Henri menambahkan, betapa penting negeri sebesar Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi yang independen, yang isinya orang-orang pilihan dengan penguasaan hukum yang sangat baik, bijak, dan, negarawan untuk menjaga konstitusi dan NKRI.

“Maka bangsa ini harus senantiasa menjaga MK-nya jangan sampai dikooptasi oleh kekuatan politik ataupun penguasa. Karena strategisnya dan besarnya kewenangan lembaga ini,” tandasnya.

Baca juga :   Tetapkan sebagai Tersangka, Ketua KPK Beber Kronologi Kasus Masiku

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, salah satu bukti MK tidak hanya fokus pada angka-angka hasil pilpres tapi juga proses adalah pemanggilan empat menteri untuk hadir sebagai saksi terkait penyaluran bantuan sosial jelang pemilihan 14 Februari 2024 lalu.

Keempat menteri yang dipanggil untuk bersaksi dalam sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres 2024 Jumat besok, 5 April 2024, itu adalah Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menko PMK Muhadjir Effendy, Menkeu Sri Mulyani dan Mensos Tri Rismaharini.

“Ini tak hanya mengadili perselisihan pemilu lagi, tapi sudah membuka kemungkinan melihat peran presiden dan pembantu-pembantunya hingga menghasilkan angka yang dianggap anomali. Jadi sekali lagi, ini pengadilan hasil, sekaligus (pengadilan) prosesnya sesuai konstitusi atau tidak,” kata Prof. Henri menekankan. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *