Potensi Krisis Multidimensi, Munculnya Rezim Otoriter, dan Anies Baswedan

  • Bagikan

INDONESIA sedang meriang oleh beberapa isu krusial yang berpotensi menciptakan krisis multidimensi dalam waktu dekat. Perjalanan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo sejak 2014 semakin merisaukan publik. Kepentingan pribadi, keluarga, dan oligarki, terus mengemuka. Setelah membisu beberapa hari terkait heboh isu penundaan pemilu penuh kontroversial,– yang dilontarkan Ketua Umum PKB Abdul Muhaimin Iskandar, kemudian disambut Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto,– lalu dibilasi Ketum PAN Zulkifli Hasan, Jokowi akhirnya muncul ke publik memberi tanggapan. Dia mengaku akan patuh sepenuhnya pada konstitusi terkait pemilu. Itu berarti pemilu lima tahunan, yang di dalamnya termasuk pilpres, tetap akan berlangsung pada 2024 sesuai konstitusi. Untuk keperluan itu, KPU dan pemerintah sudah sepakat akan menggelar pemilu pada Februari 2024.

Namun, isu penundaan pemilu tak lantas lenyap begitu saja. Itu karena, Jokowi masih membumbui bahwa usulan penundaan pemilu juga merupakan hal yang valid dalam negara demokrasi. Ini berbeda dengan sikap dia sebelumnya terkait isu yang sama. Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu Jokowi menolak tegas isu perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode yang dilontarkan M. Qodari.

Jokowi saat itu menganggap bahwa tiga periode untuk jabatan presiden dianggap sebagai upaya menampar, mencari muka, dan menjerumuskannya. Kini, yang terjadi justru sebaliknya. Jokowi sepertinya mendukung wacana perpanjangan masa jabatan presiden melalui penundaan pemilu. Dengan demikian, isu ini masih akan terus bergulir yang menciptakan ketidakpastian politik, terutama ketidakpastian penyelenggaraan pemilu pada 2024 serta tetap membuka kemungkinan pemilu diundur.

Sikap Jokowi itu menguatkan berita yang dipublikasikan berbagai media, bahwa Istana terlibat dalam isu ini. Itu konsisten dengan pengakuan Zulkifli Hasan, bahwa Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan-lah yang mendesak PAN menyampaikan ke publik tentang usulan itu. Jauh sebelum Muhaimin Iskandar mengusulkan wacana itu, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia juga sudah lebih dahulu melontarkan ke publik tentang perpanjangan kekuasaan pemerintah. Alasan yang dikemukakan Bahlil dan para pemimpin parpol itu sama; mengikuti anjuran pengusaha (oligarki) untuk menyelamatkan ekonomi nasional akibat hantaman pandemi Covid-19.

Jokowi memang berkepentingan memperpanjang kekuasaannya untuk merealisasikan kepentingan pribadi dan oligarki. Ini berkaitan dengan rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur,– yang memakan porsi anggaran APBN sangat besar,– dan sudah harus dilakukan pada 2024 saat Jokowi harus meninggalkan istana. Pembangunan infrastruktur ibu kota baru akan dimulai pada April 2022. UU IKN telah ada. Namun, isu IKN mendapat resistensi luas terkait kajian akademis yang sumir, ancaman lingkungan, dan besarnya dana APBN yang akan digunakan di saat utang luar negeri telah menggunung dan penanganan pandemi Covid-19 masih memerlukan dana besar untuk membantu mayoritas rakyat yang paling terpukul ekonominya.

Memang benar, sejak Presiden Soekarno, rencana pemindahan IKN telah menjadi wacana berdasarkan fakta bahwa, secara geografis, Jakarta tidak cukup strategis dari sisi pertahanan keamanan dan hilangnya daya dukung Jakarta sebagai ibu kota yang nyaman dan layak. Tetapi urgensi pemindahan IKN menjadi hilang saat bangsa menghadapi kedaruratan ekonomi. Argumen pemerintah bahwa pembangunan IKN Nusantara yang menyedot dana awal sebesar Rp 600 triliun sebagai bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ditolak para pengamat dan ekonom, termasuk Faisal Basri yang sebelumnya adalah pendukung rezim Jokowi.

Alasan paling masuk akal dari rencana pemindahan IKN pada saat bangsa sedang meriang saat ini adalah, pertama, Jokowi hendak membalas budi terakhir pada kaum oligarki, oligarki ekonomi dan oligarki parpol yang telah membawanya ke kekuasaan, sebelum meninggalkan Istana. Kedua, Jokowi hendak meninggalkan legacy historis yang akan dikenang bangsa Indonesia sepanjang masa karena memang selama memerintah tidak ada legacy prestisius yang ditinggalkannya. Di sisi lain, Jokowi tidak lagi punya waktu untuk merealisasikan dua agendanya ini, kecuali pemilu ditunda beberapa tahun lagi.

Di mata publik, dua agenda itu tak layak untuk diperjuangkan, baik dari sisi moral maupun keberlangsungan hidup bangsa ini. Selain tidak pantas secara moral program PEN untuk membantu rakyat dikorbankan, pembangunan IKN itu juga hanya melayani kepentingan oligarki, juga akan memberi karpet merah bagi terjadinya korupsi besar-besaran. Apalagi status IKN Nusantara adalah otorita yang penguasanya ditunjuk presiden tanpa dipilih dan dikontrol DPRD serta hanya bertanggung jawab pada presiden. Ini juga yang menjadi sasaran kritik publik berdasarkan pandangan bahwa pemimpin daerah harus dipilih rakyat dan dikontrol DPRD yang anggotanya juga dipilih rakyat. Dengan status otorita, berarti pendekatannya adalah bisnis atau proyek. Kepala otorita, dengan arahan presiden, dapat membagi-bagi proyek kepada siapa yang dia sukai. Dengan demikian, mustahil tak terjadi KKN di sana.

Baca juga :   Jika Terbukti Melanggar Hukum, Presiden Dapat Diberhentikan dari Jabatannya (Bagian-2)

Isu penundaan pemilu dan pemindahan IKN berlangsung saat resesi global sedang di ambang pintu ketidakpastian akibat perang Rusia-Ukraina. Rusia dan Ukraina adalah eksportir gandum utama dunia. Rusia sendiri adalah pemasok 40 persen kebutuhan minyak dan gas Eropa, sementara AS mengimpor 20 juta barel minyak Rusia per bulan. Akibat perang, harga BBM dunia sangat menjulang tinggi. Juga terjadi kekurangan bahan pangan dunia. Inflasi tinggi hingga 7 persen telah terjadi di AS, yang akan membuat The Fed (Bank Sentral AS) menaikkan suku bunga bank untuk menurunkan inflasi. Dengan demikian, akan terjadi cash flow dari Indonesia. Untuk meredam hal itu, Bank Indonesia (BI) akan juga menaikkan suku bunga untuk menahan laju arus modal keluar. Tindakan itu tentu akan menciptakan inflasi tinggi.

Diakui atau tidak, dampak perang Rusia-Ukraina mulai terasa di Indonesia sekarang. Harga minyak dan gas nonsubsidi telah dicabut pemerintah jelas akan memukul industri. Harga pangan pun telah merangkak naik. Sementara, AS sedang membujuk sekutunya di Barat untuk menghentikan impor minyak dan gas Rusia untuk menguras kemampuan perang negara Beruang Merah itu. Jika bujuk rayu Washington ini berhasil dan perang berkepanjangan, dipastikan terjadi resesi global yang juga akan memukul ekonomi Indonesia secara telak. Kemiskinan dan pengangguran bertambah secara signifikan karena terkurasnya daya beli masyarakat akibat inflasi dan perusahaan pun menjadi merugi. Dalam atmosfir keterpurukan bangsa, dengan sendirinya akan melemahkan legitimasi rezim.

Jika penundaan pemilu dilakukan dan pembangunan IKN tetap direalisasikan,– Indonesia akan menghadapi krisis politik dan ekonomi yang menakutkan. Hampir sebagian besar pakar ketatanegaraan menyebut, bila pemilu ditunda, maka eksekutif dan legislatif di semua tingkatan akan menjadi ilegal, kecuali konstitusi diamandemen terlebih dahulu. Ini karena tidak ada kondisi darurat,– misalnya terjadi bencana nasional, keamanan nasional terganggu, atau munculnya penyakit berbahaya,– yang memungkinkan pemilu ditunda. Argumen pemerintah demi memulihkan ekonomi akibat pandemi sangat lemah. Bahkan, dengan menunda pemilu, tentu akan terjadi ketidakpastian politik,– yang justru akan memperburuk kondisi ekonomi bangsa. Penyelenggaraan pemilu sesuai jadwal diyakini bukan saja menciptakan stabilitas politik, tapi juga akan merangsang perputaran ekonomi karena meningkatkan konsumsi barang dan jasa. Dengan kata lain, pemilu akan menjadi stimulus ekonomi karena meningkatnya besaran fiskal. Pengunduran pemilu dan pembangunan IKN Nusantara tak lebih menggambarkan hilangnya moral dan akal sehat rezim yang telah dikuasai ambisi pribadi presiden dan akibat tekanan oligarki.

Krisis multidimensi terjadi disebabkan tabungan serta citra yang meresahkan masyarakat telah bertumpuk. Misalnya, sebelumnya telah terjadi rongrongan rezim terhadap sendi negara hukum yang demokratis dan UU Otonomi Daerah. Isu UU Cipta Kerja jelas sekali memperlihatkan keberpihakan vulgar rezim terhadap oligarki, sehingga terjadi demonstrasi besar-besaran buruh,– sebagai pihak yang paling dirugikan. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memvonis UU ini sebagai inkonstitusional. UU Minerba berdampak pada pengambilalihan wewenang daerah oleh pusat,– yang menabrak otonomi daerah,– terkait investasi asing di proyek minerba.

Pembubabaran ormas dan pemenjaraan mereka yang kritis terhadap rezim tanpa legal standing yang meyakinkan juga memperlihatkan pelecehan hukum dan prinsip demokrasi. Dalam penegakan hukum, rezim bersikap diskriminatif,– bergantung sejauh mana tokoh itu dipandang menghadirkan ancaman pada rezim dan posisi politik pengkritik itu vis a vis rezim. Kalau yang tidak berbahaya, rezim bersikap, “biarkan anjing menggong kafilah tetap berlalu”. Toh, keberadaan mereka dapat memberi citra positif pada rezim sebagai pendukung demokrasi. Sedangkan pengeritik lain yang lemah secara politik dipenjarakan untuk memberi efek deterance kepada yang lain.

Baca juga :   Rakyat Rindu Jokowi Mundur

Yang menjadi persoalan di sini adalah hukum dan demokrasi dijalankan hanya untuk kepentingan kekuasaan dan oligarki. Tak heran, indeks demokrasi dan hak asasi manusia di masa rezim Jokowi anjlok cukup signifikan. Hal ini telah menimbulkan keprihatinan masyarakat sipil. Dari fakta-fakta di atas, terlihat tidak ada komitmen rezim yang sejati pada demokrasi dan HAM. Terkait HAM, Jokowi tidak menyentuh isu pelanggaran HAM berat di masa lalu. Padahal, sejak kampanye Pilpres 2014, dia menjanjikan akan menuntaskan isu serius itu untuk menyembuhkan luka bangsa yang masih menganga dan membangkitkan kepercayaan diri bangsa di panggung internasional sebagai bangsa yang beradab.

Terabainya isu ini karena Jokowi ingin mendapat dukungan aparat keamanan yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan massal kasus Talangsari, Tanjungpriok, Semanggi I dan Semanggi II. Malah di era Jokowi kekerasan masih terjadi. Misalnya, kasus pembunuhan KM 50, dan kekerasan di Desa Wadas, Jawa Tengah. Hal ini juga menimbulkan keprihatinan publik secara luas.

Lalu, di bawah rezim Presiden Jokowi, korupsi makin menggila melebihi era Presiden Soeharto. Anehnya, KPK malah diperlemah dengan alasan lembaga antirasuah itu merintangi investasi, bukan sebaliknya. Kejanggalan argumen ini mau tak mau memperkuat spekulasi publik bahwa sebenarnya wewenang KPK yang terlalu luas menghambat kongkalikong oligarki ekonomi dan politik. Dipecatnya sebagian anggota KPK melalui tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dipertanyakan keabsahannya dan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan, tenaga ahli yang sedang menangani kasus-kasus korupsi besar, — justru melibatkan orang penting, memperkuat persepsi publik bahwa tangan KPK diamputasi untuk melanggengkan budaya korupsi demi melayani kepentingan oligarki. Isu pelemahan KPK telah mendorong mahasiswa di berbagai daerah turun ke jalan hingga dua mahasiwa di Kendari, Sulawesi Tenggara, tewas tertembak aparat.

Isu lain yang mengecewakan publik adalah sokongan Jokowi pada anak dan menantunya dalam upaya mereka merebut kekuasaan. Akhirnya, putra presiden, yakni Gibran Rakabuming Raka, menjadi Walikota Solo dan Bobby Nasution, menantu Jokowi, menduduki jabatan Walikota Medan. Kalau mereka bukan keluarga dekat presiden, tak dapat dibayangkan anak-anak muda tak punya pengalaman politik apa pun bisa memenangkan kontestasi pilkada. Lebih jauh, dua anak presiden diduga melakukan KKN terkait penanaman modal perusahaan yang divonis melakukan kejahatan perusakan hutan. Dengan demikian, spirit reformasi untuk membabat KKN diabaikan. Tabungan kekecewaan masyarakat ini tinggal menunggu untuk meledak saat momennya tiba.

Bila krisis multidimensi terjadi dan seluruh lembaga eksekutif dan legislatif menjadi ilegal, maka,– sesuai konstitusi,– TNI dan Polri berwenang mengambil alih kekuasaan. Sebelum terjadi pemilu untuk menghadirkan rezim sipil yang sah, kedua lembaga itulah yang mengisi kekosongan pemerintahan. Pemerintahan TNI-Polri pasti dijalankan secara otoriter karena menghadapi krisis dan ketiadaan lembaga legislatif. Kalau nanti kedua lembaga itu asyik dengan kekuasaan dan tak berniat menghidupkan kembali sistem demokrasi,– sebagaimana yang terjadi di Myanmar, maka Indonesia akan memasuki terowongan gelap tanpa cahaya di ujungnya.

Untuk menyelamatkan kepentingannya, bisa jadi China dan Rusia mendukung rezim otoriter sebagaimana mereka mendukung junta militer di Myanmar, yang membangkitkan kepercayaan diri rezim otoriter di Indonesia. Dengan demikian, negara-negara Barat akan menjatuhkan sanksi dan mengisolasi Indonesia dari pergaulan internasional. Gerakan separatisme di daerah, terutama di Papua, akan membesar. Gangguan keamanan dalam negeri akibat keresahan sosial yang meluas akan mendorong rezim memperkuat cengkramannya atas masyarakat. Kalau pun rezim hendak menyerahkan kekuasaannya pada pemerintahan sipil setelah pemilu yang mesti dilakukan secepat mungkin, hal itu tidak mudah karena harus berurusan dengan partai politik, kelompok kepentingan, dan masyarakat sipil, yang punya sudut pandang berbeda terkait pemerintahan ke depan.

Baca juga :   Gibran; Maju Kena Mundur Kena

Di tengah potensi krisis multidimensi terkait kengototan rezim Jokowi menunda pemilu, hanya ada satu kepala daerah yang menentang isu kontroversial itu. Dia adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Saat semua kepala daerah diam seribu bahasa menanggapi pengunduran pemilu,– sebagiannya mungkin berharap itu jadi kenyataan, sehingga memperpanjang kekuasaan mereka,– Anies justru menolak dengan tegas ide memperpanjang kekuasaannya yang akan berakhir pada Oktober tahun ini. Alasannya, penundaan pemilu menabrak konstitusi dan mengkhianati spirit reformasi yang diperjuangkan mahasiswa dengan darah dan air mata.

Sebagai seorang sarjana ilmu ekonomi dan politik, tentu sangat Anies tahu konsekuensi serius bagi keselamatan bangsa bila pemilu ditunda. Bukan saja akan terjadi chaos yang mengancam kelangsungan hidup bangsa, tapi juga akan memundurkan Indonesia beberapa tahun ke ke belakang. Dia pasti menyadari bahwa kendati jauh dari sempurna, sistem demokrasi merupakan sistem terbaik di antara sistem yang jelek, sebagaimana dikatakan negarawan Inggris Winston Churchil. Memang sistem demokrasi telah membuktikan diri sebagai sistem yang berhasil menghadirkan kemakmuran, kebebasan, kemajuan peradaban, dan harkat kemanusiaan, sebagaimana kita saksikan pada negara-negara maju yang menerapkan demokrasi secara konsekuen.

Memang belakangan ini sistem otoriter China dinilai berhasil meningkatkan taraf hidup 1,4 miliar penduduknya telah menarik perhatian negara Dunia Ketiga yang repot dan mahal dalam menerapkan demokrasi. Tetapi harus diingat, bahwa kemajuan ekonomi dan teknologi China tidak dibarengi dengan penghormatan pada kebebasan, martabat, dan HAM. Manusia hanya diperlakukan sebagai objek ekonomi. Penolakan Anies terhadap perpanjangan masa jabatan presiden juga didasarkan pada potensi Indonesia menjadi negara gagal.

Salah satu penyebab timbulnya negara gagal, yakni, bila parpol dan presiden tidak berkomimen pada konstitualisme dan kebijakan publik yang cacat moralitas dan rasionalitas, sebagaimana terlihat pada usaha memindahkan IKN pada momen yang salah. Juga bila rezim memberlakukan sistem ekstraktif yang menyedot sumber daya bangsa untuk diberikan kepada elite tertentu. Di era rezim Jokowi, elite yang dimaksud adalah oligarki ekonomi dan politik. Hal ini telah dilawan Anies dengan menciptakan sistem inklusif yang menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh lapisan warga Jakarta. Tanpa keadilan ini, mustahil kinerja Anies diapresiasi mayoritas mutlak warga ibu kota.

Untuk mencegah terjadinya krisis multidimensi yang berujung pada negara gagal, Anies mengisyaratkan dukungan pada protes publik terhadap ide penundaan pemilu. Memang untuk menghindari chaos yang mungkin terjadi, maka tak ada pilihan lain bagi Indonesia, kecuali menekan rezim Jokowi untuk taat pada konstitusi dengan tetap menyelenggarakan pemilu sesuai jadwal. Rencana pembangunan infrastruktur IKN juga harus dihentikan sekarang juga guna mengalokasi dana itu untuk menangani krisis ekonomi, akibat resesi global yang akan memukul ekonomi rakyat tanpa belas kasihan.

Pemilu yang sesuai jadwal, selain menjaga stabilitas negara, juga menjanjikan perubahan pemerintahan ke arah yang lebih baik. Pemerintahan baru akan punya legitimasi kuat dan gagasan baru untuk memulihkan kerusakan negara yang ditinggalkan rezim Jokowi. Tetapi optimisme itu hanya punya argumen yang kuat kalau Anies Baswedan yang memimpin Indonesia mengingat aspiran capres lain hanya akan meneruskan developmentalism ala Jokowi yang sumir. Saat memimpin Jakarta, Anies telah menunjukkan kapasitas moral, intelektual, dan leadership, yang diperlukan Indonesia dalam menyambut zaman baru dan pemulihan menyeluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara serta pemenuhan janji kemerdekaan berupa mencerdaskan kehidupan bangsa, menguatkan persatuan dengan mengejar tujuan bersama, dan menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga Indonesia yang kita cintai luput dari cobaan besar yang mungkin segera datang dan muncul sebagai negara demokrasi ideal yang sejahtera dan beradab. (*)

Smith Alhadar;
Penulis adalah Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe).

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *