Politik Saling Sandera Atas-Bawah

  • Bagikan

AKSI demo para aparat desa se Nusantara di depan gedung DPR-RI pada 31 Januari 2024, sangat mengagetkan publik. Rakyat Indonesia kaget karena aksi tersebut dilakukan di tengah hiruk pikuknya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024. Juga, Pemilu Legislatif yang cuma tinggal beberapa lagi.

Yang lebih mengagetkan lagi, peserta aksi melakukan bakar-bakar di lokasi demo. Bahkan, mereka melakukan perusakan pagar besi di gedung itu. Dengan palu (godam) mereka menggempur pagar sekuat tenaga. Mirip tukang pandai besi. Atau, seperti tukang bangunan yang hendak merobohkan tembok lama. Ampuunn. Perilaku aparat desa kok begitu ya?

Melalui aksi tersebut, para pejabat desa mendesak DPR-RI segera mengesahkan revisi Undang-Undang 6 Tahun 2014 tentang Desa. Mereka menuntut masa jabatan Kades menjadi sembilan tahun, dan dapat dipilih lagi paling banyak dua dan/atau tiga  periode. Atau, paling lama 27 tahun. Sebelum ini, masa jabatan Kades enam tahun, dan dapat dipilih lagi paling banyak tiga periode. Atau, selama 18 tahun.

Tuntutan lain, mereka mendesak dana desa dinaikkan dari Rp 1 miliar menjadi Rp 2 miliar per tahun. Mereka meminta revisi undang-undang tentang desa tersebut sudah disahkan pada 6 Februari 2024. Atau, seminggu sebelum Hari H pencoblosan Pilpres dan Pileg 2024. (tempo.co//31 Januari 2024).

Terus terang, saya sangat prihatin atas terjadinya aksi demo para pejabat desa tersebut. Keprihatinan saya tidak hanya karena aksi itu dilakukan menjelang Hari H Pilpres dan Pileg. Juga, tidak hanya karena aksi itu diwarnai bakar-bakar dan perusakan. Tetapi, yang lebih sangat memprihatinkan adalah adanya kesan kuat bahwa demo itu merupakan wujud nyata politik saling sandera di negeri ini.

Baca juga :   Niat Jahat Pelanggaran Hukum UU Cipta Kerja dan PSN (Bagian-1)

Politik saling sandera kini tidak hanya terjadi di level kabupaten/kota ke atas. Tetapi, pejabat di level desa pun menerapkannya. Ini sangat memprihatinkan. Jagat perpolitikan dan demokrasi di negeri ini akan kian rusak jika politik saling sandera terus dikembangkan.

Praktik politik saling sandera di negeri ini kian ugal-ugalan selama proses Pilpres 2024 ini. Tokoh-tokoh politik yang dianggap punya masalah, diduga korupsi, misalnya, seolah dipaksa untuk memilih satu di antara dua. Pilihannya, ikut bergabung dalam satu koalisi yang dekat dengan penguasa, atau tidak. Jika ikut, masalahnya dilindungi. Aman. Kasusnya dianggap tidak ada untuk sementara. Sebaliknya, jika tidak ikut dalam satu koalisi,  masalahnya akan dibongkar.  Diobok-obok terus.

Kita dapat melihat dan merasakan, di awal-awal masa pencalonan untuk Pilpres. Ada beberapa partai politik hendak berkoalisi. Mereka ingin mengusung pasangan calon sendiri, di luar koalisi yang didukung penguasa. Tetapi, pada akhirnya, mereka bergabung ke dalam koalisi yang dianggap dekat dengan penguasa. Mereka pilih aman. Pada sisi lain, parpol yang tidak sejalan (berseberangan), dianggap berpotensi menjadi ganjalan, sebisa mungkin dihambat. Di-kuyo-kuyo.

Begitu pula di level menengah. Pimpinan di daerah yang dianggap punya masalah juga dikendalikan. Pilihannya, ikut menjadi tim sukses atau tidak. Jika ikut, aman. Bahkan diiming-imingi janji akan dicalonkan kembali menjadi kepala daerah. Tetapi, sebaliknya, jika tidak bergabung, kasusnya akan dibongkar.

Baca juga :   Prabowo: ”The Last Man Standing”

Praktik politik saling sandera yang paling gress, salah satunya adalah apa yang terjadi di Pemkab Sidoarjo. Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali sebelum ini dikenal sebagai pendukung Muhaimin Iskandar. Maklum, dia bupati yang diusung PKB. Bahkan, November 2023  lalu, Muhdlor menggelar acara bal-balan bersama Cak Imin.

Pada 25 Januari 2024, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di lingkungan kantor Pemkab Sidoarjo. KPK mengamankan 11 orang. Bupati Muhdlor berhasil lolos dari OTT, lalu menghilang beberapa hari. KPK sempat menggeledah rumah dinas bupati. Kamis lalu, 1 Februari 2024, Bupati Muhdlor muncul di depan publik dan mendeklarasikan bahwa dirinya mendukung Paslon Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Muhdlor tidak ditangkap. Aman. Entah sementara atau mungkin seterusnya.

Nah, demo kades dan perangkat desa tahun lalu (2023) dan sekarang ini (2024) dapat dipahami sebagai wujud praktik politik saling sandera. Para aparat desa merasa dapat mengendalikan suara warga saat pemilu. Pada sisi lain, mereka tahu bahwa para politisi saat ini sedang membutuhkan suara rakyat di desa-desa.

Baca juga :   Perpanjang Izin Freeport Sampai 2061, Langgar Konstitusi

Berangkat dari pemikiran seperti itu, para aparat desa lalu memainkan politik saling sandera. Mereka mendesak politisi untuk memenuhi tuntutan mereka pada detik-detik menjelang Hari H Pilpres dan Pileg. Para politisi didesak untuk memiih satu di antara dua: Mengabulkan tuntutan mereka, ataukah mengabaikannya. Para aparat desa terkesan ingin menyandera politisi, paslon capres-cawapres, atau tim pemenangannya. Ataupun juga menyandera partai politik.

Dalam politik praktis, saling sandera, ataupun saling mencari keuntungan seperti itu sebenarnya sudah biasa terjadi. Dalam politik ada ungkapan (Jawa: unen-unen). Politik itu: Who gets what, when, and how.. Siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana mendapatkannya. Tim sukses akan mendapatkan sesuatu jika calonnya menang.

Itu boleh saja. Tetapi ya yang wajar saja. Jangan sampai hanya demi kemenangan calon, tim suksesnya tega mempermainkan ajaran agama. Jangan sampai para aparat desa tega melakukan sesuatu di luar nalar sehat demi mengegolkan tuntutannya. Bagaimana pendapat Anda???

Mundzar Fahman;
Penulis adalah mantan wartawan Jawa Pos, Surabaya.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *