Pilkada Bojonegoro Mandeg, KPU Perlu Minta Maaf dan Membuka Diri

  • Bagikan

TIDAK bisa membayangkan bagaimana jika Pilkada Bojonegoro 2024 tidak jadi tergelar pada 27 November mendatang? Atau, bisa membayangkan pelaksanaan Pilkada Bojonegoro tetap digelar, tetapi pelaksananya diambil alih oleh otoritas penyelenggara pemilu yang lebih atas. Tentu ini akan menyedot perhatian bagi warga Bojonegoro, tetapi juga rakyat seantero Nusantara.

Penyelanggaranya, bisa KPU Provinsi Jawa Timur, bisa juga KPU Pusat. Lalu pertanyaan berikutnya, jika pilkada tidak jadi digelar, solusinya bagaimana? Tentu, solusi inilah yang perlu dicari jalan terbaiknya. Karena, tidak gampang juga memecahkan masalah yang super pelik ini.

Kemungkinan-kemungkinan itu bisa terjadi karena tahapan-tahapan Pilkada Bojonegoro sebelum coblosan tidak terselenggara dengan mulus. Yang bisa dilihat secara kasat mata, KPU punya dua tanggungan acara yang terlewatkan begitu saja. Yakni, debat perdana pada 19 Oktober 2024,– yang dibatalkan dan menghebohkan itu. Kedua, juga debat publik seri kedua pada 1 November 2024 yang ditunda, juga tanpa alasan jelas itu.

Saya menggunakan kata ditunda, karena berdasarkan surat nomor 516/PL.02.4-SD/3552/2024 yang diberikan kepada masing-masing paslon Pilkada dan sudah tersebar luas di kalangan pers, bunyi surat KPU Bojonegoro tersebut adalah menunda, bukan membatalkan. Konotasi penggunaan kata batal bisa dipakai ketika paslon sudah datang di arena. Bahkan, debat sudah berlangsung, lalu dihentikan. Itu namanya batal.

Seperti debat pertama, paslon debat sudah datang ke lokasi. Karena sesuatu hal, lantas dihentikan dan dibatalkan. Nah, pada debat publik kedua pada 1 November itu, tidak ada paslon di arena debat. Karena itu, pas jika menggunakan kata ditunda. Ditunda dan dibatalkan memang beda tipis. Tapi gara-gara beda tipis penggunaan kalimat, bisa membuat suasana jadi amburadul. Seperti yang terjadi sekarang ini.

Misalnya untuk Debat Publik pertama, persoalan muncul karena paslon memberi tafsir masing-masing. Misalnya pada kalimat, debat akan melibatkan calon wakil bupati Bojonegoro dalam pemilihan serentak 2024. Kata “melibatkan” ini juga bisa menimbulkan multitafsir. Karena dengan kelimat melibatkan, berarti sudah orang yang sebelumnya tampil atau ada di mimbar.

Baca juga :   Soal Impor Emas Rp189 Triliun: Staf Khusus Kemenkeu Diduga Beri Penjelasan Menyesatkan

Ini beda lagi ketika dibuat kalimat lebih tegas; Misalnya, Debat Pertama hanya Menampilkan Calon Wakil Bupati. Dengan kalimat tersebut, saya yakin sudah tidak bisa dibantah lagi. Karena hanya menampilkan, berarti dari awal hingga pelaksanaan debat selesai, yang tampil ya hanya calon wakil bupati, bukan yang lain.

Sebagai orang awam, saya melihat kasus mandegnya tahapan Pilkada Bojonegoro ini sangat miris. KPU maupun paslon tidak boleh spekulasi; misalnya, diundur saja, biar tidak ada debat sekalian. Atau kalau ada debat, hanya sekali saja. Itu jelas pemikiran yang salah. Karena debat publik menjadi prasyarat yang harus dijalani, maka tiga kali debat itu harus tergelar dengan baik. Harapannya, agar warga Bojonegoro mengetahui isi kepala cabup dan cawabupnya sebelum menjadi pemimpin.

Jika debat publik tiga kali tidak tergelar dengan baik, pasti ada paslon yang tidak setuju. Mereka akan terus mempersoalkan, tak hanya pada pelaksanaan, tetapi juga hasil-hasilnya. Bisa jadi pasangan cabup dan cawabup yang terpilih juga akan dipersoalkan. Legitimasinya akan terus dipertanyakan. Sekarang terserah KPU, akan memperbaiki diri atau membiarkan Pilkada Bojonegoro amburadul terus seperti ini.

Selain itu, kasihan juga warga Bojonegoro yang sudah kadung semangat pengin memiliki calon pemimpin yang kredibel dan kapabel, ternyata malah justru sebaliknya. Warga Bojonegoro disuguhi tontonan yang tidak bermutu. Padahal, seperti disampaikan oleh salah satu anggota DPRD Bojonegoro, anggaran APBD Bojonegoro untuk gelaran Pilkada lumayan besar; Rp 70 miliar. Rasa-rasanya, dosa besar jika duit rakyat Bojonegoro yang besar itu tidak memiliki impact apa-apa.

Saat ini waktu yang tepat bagi KPU Bojonegoro untuk mengundang dua tim pemenangan atau yang mewakili untuk membuat format baru model debat yang bisa diterima semua pihak. Meski untuk menumbulkan kepercayaan bagi paslon, itu ternyata juga tidak mudah. Mereka sudah kadung kecewa terhadap KPU. Karena Pilkada ini gawe rakyat, KPU tidak boleh main-main.

Baca juga :   Sistem Hukum dan Demokrasi yang Tergadaikan

Saya juga meyakini, jika semua tahapan tidak berlangsung dengan baik, jangan berharap Pilkada Bojonegoro ini bisa tergelar dengan sukses. Sampai kapanpun paslon dipastikan tidak akan menerima begitu saja. KPU Bojonegoro perlu membuka diri dan meyakinkan semua pihak yang terlibat dalam Pilkada. KPU harus meminta maaf atas ketidaknyamanan pelaksanaan Pilkada dengan hati yang terbuka. Tidak usah sungkan, toh manusia tempatnya salah.

Jika kesalahan itu masih bisa ditoleransi, para paslon pasti akan menerima dengan lapang dada pula. Ini berbeda jika mandegnya tahapan Pilkada itu sudah di-setting sedemikian rupa, maka dipastikan tidak akan ada titik temu. Sekali lagi, mandegnya tahapan pilkada ini jangan dianggap enteng.

Terkait karut marut Pilkada di Bojonegoro, saya memiliki keyakinan sudah sampai ke telinga KPU Pusat. Menyikapi fenomena tersebut, KPU Bojonegoro tidak boleh menyikapinya dengan santai. Pilkada ini masalah serius karena untuk memilih pemimpin yang legitimate. Pemimpin yang benar-benar mengakar bagi rakyat Bojonegoro. Bukan memilih pemimpin yang instan. Karena itu, sekali lagi, jangan dibuat main-main.

Jika dalam waktu dekat KPU Bojonegoro tidak menunjukkan perkembangan maupun kinerja yang signifikan, pilihannya hanya ada dua; Pilkada tidak jadi digelar sesuai jadwal, atau tetap digelar, tetapi pelaksananya KPU Provinsi Jawa Timur atau KPU Pusat.

KPU Pusat tentu sudah mengetahui akar masalah pelaksanaan Pilkada Bojonegoro, termasuk putusan Bawaslu imbas dari debat publik perdana pada 19 Oktober 2024 lalu. KPU Pusat tentu akan mengambil langkah-langkah strategis agar Pilkada Bojonegoro bisa berjalan sesuai jadwal. KPU Pusat juga tidak ingin pilkada di Bojonegoro menjadi noktah hitam yang memalukan. Kemungkinan fenomena tersebut harus dibaca dengan cermat dan dengan hati yang lapang oleh KPU Bojonegoro.

Baca juga :   Filosofi Perubahan Anies Baswedan

KPU jangan terpengaruh oleh sorak sorak pendukung paslon. Juga jangan terpengaruh dengan gemuruhnya dukungan si A dan si B. Semua paslon harus dipandang sama ketika sudah resmi diumumkan oleh KPU sebagai pasangan calon. Soal dukungan parpol dalam kontestasi pemilihan ini, mengingatkan saya pada Pilpres 2004. Saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla yang hanya dicalonkan Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan PKPI,– ketiganya partai medioker. Bukan partai besar. SBY-JK mengungguli lawan-lawannya yang dicalonkan banyak partai. Saya berpikir, kondisi seperti ini bisa juga terjadi pada pilkada-pilkada sekarang ini. Semua calon mempunyai kans yang sama.

Apakah kemenangan SBY-JK saat itu menggunakan money politics (politik uang, Red). Belum ada pihak berani mengkonfirmasi temuan itu. SBY-JK terpilih karena figur, bukan dukungan parpol. Figur SBY dianggap menjadi pemersatu bangsa. Ternyata tidak meleset. Di era SBY pula, konflik Aceh yang memakan waktu puluhan tahun, akhirnya selesai juga ditangan Jusuf Kalla, Wapres-nya.

Atau tidak usah jauh-jauh. Publik Bojonegoro masih ingat kemenangan paslon Suyoto-Setyo Hartono pada Pilkada 2008. Kang Yoto, sapaan akrabnya, hanya dicalonkan oleh PAN dan PPP. Saat itu pula, Kang Yoto-Setyo Hartono terpilih menjadi pasangan bupati dan wakil bupati. Menariknya, mereka terpilih selama dua periode. Mengapa pasangan To-To terpilih, karena keduanya sregep menyapa dan nyambangi warga Bojonegoro.

Akhirnya, sebagai pribadi sekaligus warga Bojonegoro, saya hanya bisa berdoa, semua KPU Bojonegoro bisa dan mampu melewati masa-masa kritis ini. Masih ada kesempatan bagi KPU untuk berbenah. Untuk memperbaiki diri menuju yang Pilkada yang jujur dan bermartabat. Karena siapapun yang akan menjadi bupati Bojonegoro untuk lima tahun mendatang, adalah pemimpin Bojonegoro. yang terpilih tanpa noktah dan noda. (*)

Adi Riyadi; 
Penulis adalah Redaktur Pelaksana INDOSatu.co

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *