DALAM kurun waktu sepekan ini, Indonesia dihebohkan dengan berita Shin Tae-yong (STY) dipecat oleh PSSI. Selang beberapa waktu kemudian, PSSI juga mengumumkan Patrick Kluivert, mantan pemain Timnas Belanda sebagai Pelatih Kepala (Head Coach) Timnas Indonesia menggantikan STY.
Kehadiran Patrick Kluivert tentu memberikan harapan besar bagi Timnas dan persepakbolaan kita. Akan ada nuansa baru, warna baru, pola permainan baru, gaya sepakbola Belanda mungkin akan kita lihat nanti saat Timnas menghadapi Australia – Bahrain dan Jepang pada sisa babak penyisihan Subgroup 4 Asia untuk Piala Dunia 2026.
Patrick Kluivert? Itulah pertanyaan yang muncul dibenak saya. Why him? Ketika saya mengundang Dream Team AC Milan tahun 1994 ke Indonesia, saat itu memang belum ada Patrick Kluivert. Meski demikian, Belanda sudah merajalela di Eropa oleh Golden Trio; Marco Van Basten-Ruud Gullit-Frank Rijkaard. Trio itu pula yang mengukir prestasi emas untuk Ajax Amsterdam, kemudian puncaknya Dream Team AC Milan.
Patrick Kluivert mulai muncul sebagai penyerang Timnas Belanda di ajang Piala Dunia 1998 Prancis yang gagal di semifinal. Penampilan Kluivert tidak istimewa, tidak pada level Ronaldo/Brazil atau Zidane/Prancis yang cemerlang membawa Prancis juara Piala Dunia 1998, bahkan dengan Roberto Baggio (Italia) sekalipun, Kluivert tidak berada pada level mereka.
Kemudian setelah Kluivert gantung sepatu, pensiun, dan terjun sebagai pelatih yang melanglang buana ke berbagai klub dan negara. Saya tidak melihat ada prestasi yang mencatat sejarah sepak bola di daratan Eropa. Selama ini, kita tidak pernah mendengar tentang kiprah Kluivert di dunia kepelatihan. Artinya, sinar Kluivert ketutup dengan hingar bingarnya kompetisi sepak bola di Eropa yang begitu penuh persaingan antar pelatih. Media Eropa lebih tertarik menyorot tentang Pep Guardiola dengan Manchester City, Carlo Anceloti dengan Real Madrid, Maurinho, Simone, dan lain-lain.
Tiba-tiba masyarakat kita dikejutkan dengan nama Patrick Kluivert yang diumumkan PSSI, disambut bagaikan pahlawan sepak bola Indonesia. Padahal, belum ada satupun match yang diukir, kemudian Kluivert langsung bertekad untuk membawa Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026. Eeh…tunggu dulu, apakah mudah untuk lolos ke Piala Dunia 2026?
Pertanyaan besar juga tantangan untuk dibuktikan, karena tentu kita semua masyarakat Indonesia berharap terwujud dan bangga. Jangan lupa masih ada kerikil tajam yang bisa menghambat perjalanan Timnas Indonesia untuk lolos babak Subgroup 4 ini. Ada Australia dan Jepang yang akan jadi tuan rumah, tentu Bahrain juga yang tetap berambisi.
Jika kita lolos dari subgroup, di sana tidak bisa kita hindari menunggu Korea Selatan, Qatar, UEA, Uzbekistan, Irak atau Iran, yang secara kualitas dan pengalaman di ajang Piala Dunia sudah mereka miliki.
Oke, kita jangan pesimistis Bung… Mari kita tarik nafas panjang untuk optimistis. Saya menjadi ingat apa yang dikatakan oleh pelatih Timnas Argentina ketika dia berhasil membawa Argentina juara Piala Dunia 1986 di Mexico…. No…no…not me the man who bring Argentina Champion of the Wiorld Cup 86 Mexico, so Who sinyor Bilardo? The Hero Argentina Champion is 11 players in the field, not me, not the Coach. Especialy we have Diego Maradona is there in the field in everymatch.
Nah, di sini jelas sekali pernyataan jujur dari seorang pelatih kelas Dunia. Lalu kita balik cermati apa yang dikatakan oleh seorang Patrick Kluivert yang baru beberapa jam mendarat di Indonesia, yang masih belum mengenal kemampuan pemain Timnas, dengan segala kekurangan dan kelebihannya masing-masing pemain, belum bentuk tim, belum latihan, dan lain-lain, banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus dia benahi.
Luis Cesar Menotti, legenda pelatih Argentina Champion World Cup 1978 memiliki pendapat yang bijak. Ada tiga tahap peran pelatih dalam sebuah tim; tahap persiapan/training periode peran pelatih 80 persen, tahap kedua saat pembentukan tim dan jelang match peran pelatih 50 persen – player 50 persen, saat match peran pelatih hanya 10 persen. Jadi, 90 persen belong to the players.
Nah, kalau kita simak pendapat Menotti, ada baiknya mulai sekarang saya mengajak Anda untuk mencermati “materi pemain kita”. Ayo kita lihat ke belakang prestasinya diajang internasional. Secara spesifik, berapa kali menang, draw dan kalah. Sesederhana itu dulu. Anda jangan masuk terlalu jauh pada hal teknis, karena yang sifatnya teknis itu ranahnya pelatih yang memiliki diploma. Kita tidak usah meniru gaya pengamat sepak bola yang sok tau bicara teknis.
Jangan lupa, sebaiknya kita terima kasih pada STY yang sudah memberikan perubahan positif pada Timnas dan persepakbolaan Indonesia, yang jadi modal bagi Kluivert untuk melanjutkan atau merubah gaya permainan Timnas kita.
Saya kemarin sempat lihat di televisi saat PSSI menggelar acara press conference memperkenalkan Patrick Cluivert pada publik. Acara perkenalan dengan nuansa entertainment, ada musik, dipandu oleh MC yang juga merangkap wawancara cukup lama dan panjang, sementara puluhan jurnalis dan media sudah berjam-jam tidak sabar ingin mengajukan tanya itu ini. Akhirnya memperkenalkan KLuivert seperti pesta menyambut kemenangan. Janji itu, janji ini dari Kluivert.
Berbeda jika acara tersebut di stadion, layaknya ini dunia sepak bola man…Kluivert berdiri di lapangan dengan pakaian training suite, ada bola. Tapi, ya inilah gaya PSSI kita: pencitraan nomor satu, prestasi menyusul.
Remember ada “Redline” dalam dunia sepak bola, yaitu garis putih batas lapangan sepak bola. Please, pahami itu maknanya. Bravo PSSI. (*)
Eddy Sofyan;
Penulis adalah The Legenda Komentator Sepakbola Dunia