Para Saksi Ahli AMIN di Depan Sidang MK Tegas Bersikap, Pilpres 2024 Berlangsung Curang!

  • Bagikan
ANTI CURANG: Para saksi yang didatangkan paslon 01 kompak menilai Pilpres 2024 curang dan jauh luber dan jurdil.

INDOSatu.co – JAKARTA – Keterangan Pilpres 2024 dilaksanakan dengan melanggar konstitisi terdengar kencang dalam ruang sidang MK yang melakukan pemeriksaan ahli yang diajukan pasangan pilpres Tim Hukum Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar Iskandar (AMIN). Ini karena terjadi berbagai pelanggaran dalam pelaksanaannya, yakni baik sebelum pemungutan suara, pada saat hari pemungutan suara, hingga pasca pemungutan suara.

Ahli  Hukum  Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Bambang Eka Cahya Widodo menyatakan, terjadinya perubahan aturan yang terjadi dalam waktu singkat itu telah menyebabkan perubahan sangat mendasar dalam penyelanggaraan Pilpres 2024. Hal itu terkait dengan diloloskannya pencalonan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.

‘’Di situlah perubahan besar dan mendasar terjadi dalam penyelenggaraan Pilres 2024 lalu itu. Semua persyaratan pencalonan pilpres menjadi jungkir balik,’’ kata Bambang Eka Cahya Widodo, sewaktu memberikan keterangannya di Sidang Mahkamah Konsitusi (MK), Senin (1/4) siang.

Hal yang sama juga ditegaskan dalam kesaksian pakar hukum otonomi daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan. Menurutnya, Pemilu 2024 telah tidak berjalan dengan jujur, bebas, dan adil. Ini karena ada campur tangan dari pihak Presiden Joko Widodo.

Baca juga :   Harmoko Meninggal Dunia

‘’Presiden Jokowi melakukan ‘cawe-cawe’ (campur tangan) dalam konotasi negatif di pemilu. Melalui kebijakannya presiden memberikan keuntungan kepada pihak pasangan pilpres 02 di mana di sana ada puteranya yang maju sebagai calon wakil presiden. Maka hasil pilpres kali ini layak untuk dilakukan diskualifikasi karena terjadi pelanggaran pelaksanaan pemilu dan konsitusi,’’ kata Djohermansyah.

Mantan Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri dan Penjabat Gubenur Provinsi Riau tersebut lebih lanjut mengatakan, adanya ‘cawe-cawe’ dari Presiden Jokowi itu kemudian berimbas pada sikap para penjabat kepala daerah tidak bisa bersikap indenden dalam pemilu. Bahkan sikap seperti ini terjadi juga sampai tingkat kepala desa.

‘’Pada soal penjabat kepala daerah mereka bersikap seperti itu karena diangkat oleh presiden. Padahal sejak sikap seperti ini dahulu sudah berusaha kami cegah dengan mengusulkan agar masa kepala daerah yang habis sebelum penyelenggaraan pemilu diperpanjang.”

“Tapi usulan kami ini tidak dihiraukan oleh presiden karena kemudian mengangkat sebanyak 271 kepala daerah. Di sini ada norma yang dianut dalam birokrasi adalah kebijakan atau sikap yang ambil setiap birokrat pasti akan mengacu pada keputusan atasannya’’ sambungnya.

Baca juga :   Soal Calon dari PDIP, Hasan Nasbi: Peluang Puan Maharani Lebih Besar Ketimbang Ganjar

Padahal, tegas Djohermansyah, seorang kepada negara sesuai aturan perundangan dan konstitusi tidak boleh menunjukan sikap yang memihak ketika ada pemilu. Bahkan, bila dia merupakan petahana yang akan maju lagi dalam pemilu berikutnya, maka dia harus mendapatkan izin serta cuti agar tidak menggunakan fasilitas negara bila ia ingin berkampanye.

’’Pemihakan presiden dalam pemilu itu dapat bersifat sangat sederhana dalam praktiknya. Dan ini bisa dilakukan hanya melalui gerak tubuh (gesture), bahkan hingga hal sepele seperti memicingkan mata atau memberikan isyarat melalui bahasa tubuh yang sekilas. Dengan gerak tubuh minimalis seperti itu saja para penjabat kepala daerah dan ASN sudah tahu maknanya. Jadi tidak harus dengan kebijakan tertulis atau kata-kata,’’ tandas Djohermansyah.

Sementara dalam keterangannya selaku ahli, pakar ekonomi Faisal Basri mengatakan dalam Pilpres 2024 muncul fenomena politik ‘gentong babi’. Hal ini terjadi karena ada petinggi politik yang menggelontorkan anggaran negara untuk membuat berbagai proyek di daerah agar diri dan atau pihak lain yang terkait dengan dirinya, dapat terpilih kembali dalam pemilu.

‘’Politik ‘gentong babi’ itu awalnya terjadi di Amerika Serikat pada akhir abad 17. Kala itu anggota parlemen dan senat di sana yang ingin terpilih menggelontorkan berbagai proyek di daerah pemilihannya agar dia terpilih kembali dalam pemilu. Nah, dalam Pemilu di Indonesia pada tahun 2024 ini, politik ‘gentong babi’ ternyata juga terjadi,’’ kata Faisal.

Baca juga :   Diskusi Sirekap; KPU Banyak Bohong, Roy Suryo Minta PDIP Terus Gulirkan Hak Angket

Mengenai bentuk politik ‘gentong babi’ di Pilpres 2024, Faisal menyatakan itu terlihat dalam maraknya pemberian bantuan sosial (bansos) kepada rakyat miskin menjelang pemilu. Bahkan pembagian ini dilakukan Presiden Jokowi secara langsung dan vulgar hingga berakibat sampai mengganggu kecukupan stok beras nasional.

’’Pembagian bansos yang vulgar ini sampai taraf membahayakan demokrasi Indonesia karena dilakukan mulai tiga bulan jelang Pemilu. Bansos yang didalamnya membagikan beras tersebut, menjadi tidak diperuntukan hanya untuk melakukan stabilitas harga komoditi pangan semata yang menjelang pemilu melambung tinggi.”

“Namun, dipergunakan dengan maksud yang lain yakni memengaruhi dan mencari dukungan pada perolehan suara bagi pasangan calon yang didukungnya,’’ tukas dia.

Jalannya sidang sampai berita ini ditulis masih berlangsung. Selepas tengah hari, yakni sekitar pukul 13.40 WIB Ketua Mahkamah Kosntitusi memutuskan untuk melakukan jeda hingga menjelang pukul 14.40 WIB. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *