Pakar Sebut Gerakan Golput adalah Ekspresi Politik yang Tak Boleh Dikriminalisasi

  • Bagikan
BAGIAN DARI ASPIRASI: Pakar Kepemiluan Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraeni terkait dengan fenomena gerakan golongan putih  (Golput) dalam Pilkada yang marak akhir-akhir ini.

INDOSatu.co – JAKARTA – Statemen menarik datang dari Pakar Kepemiluan Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraeni terkait dengan fenomena gerakan golongan putih (Golput) dalam Pilkada yang marak akhir-akhir ini. Titi mengungkapkan, hukum gerakan golput diperbolehkan, karena itu bagian dari aspirasi yang mesti harus dilindungi.

Ia menjelaskan bahwa, Pasal 182 A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 terkait perbuatan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih tidak dilakukan, maka golput tidak menjadi masalah.

“Gerakan golput, baik yang mengajak abstain atau mencoblos semua calon adalah ekspresi politik yang tidak boleh dikriminalisasi. Memilih atau tidak memilih adalah kehendak bebas dari setiap warga negara sepanjang dilandasi oleh kesadaran dan pemahaman yang otentik atas setiap konsekuensinya,” kata Titi kepada wartawan di Jakarta, Selasa (17/9).

Baca juga :   Geruduk MK, Ratusan Buruh Desak Tonton Sidang Uji Materi Perppu Cipta Kerja

Dalam pasal itu, Titi menjelaskan bahwa, jika seseorang bertindak untuk menghalangi hak pemilih lain dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menggunakan kekerasan maupun ancaman kekerasan, maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 72 bulan.

“Denda paling sedikit Rp 24.000.000,00  dan paling banyak Rp 72.000.000,00,” jelasnya.

Dalam pasal yang sama, Titi mengungkapkan, bahwa pemidanaan terhadap gerakan golput dapat terjadi jika gerakan tersebut didasari dengan politik uang dengan menjanjikan barang sebagai imbalan, baik secara langsung ataupun tidak langsung, untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih.

Baca juga :   Politisi India Hina Nabi Muhammad, Presiden PKS Minta Jokowi Kirim Nota Protes

“Sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00. Ayat (2) pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1),” katanya.

Secara tegas, Titi mengatakan bahwa Pasal 18 Ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebut, baik gubernur, bupati, dan walikota sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.

Baca juga :   Serahkan SK untuk Pilgub Banten, PKS Usung Andra Soni-Dimyati Natakusumah

“Maka menurut Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (dinyatakan) pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali,” jelasnya.

Lebih lanjut, Titi menilai bahwa gerakan golput sudah pasti menjadi tantangan bagi partai politik, paslon, dan penyelenggara pemilihan dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sehingga perlu untuk direspon secara substantif melalui diskursus gagasan dan program yang kritis.

“Serta memastikan hadirnya pemilihan yang bukan hanya periodik tapi juga murni dan diselenggarakan berdasarkan asas prinsip pemilu yang bebas dan adil,” terangnya. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *