ADA berita menarik, Kantor Tempo mendapat kiriman kepala babi dari orang tidak dikenal pada 19 Maret lalu. Kiriman yang ditujukan kepada Francisca Christy Rosana, Kepala Desk Politik dan host Bocor Alus Politik tentu merupakan kerja teror dari orang yang tersinggung atau terkait dengan sentilan acara tersebut.
Teror seperti ini tentu mengganggu prinsip kebebasan berpendapat. Apa yang dilakukan Tempo dengan Bocor Alus-nya adalah kritik bagus yang semestinya menjadi bahan introspeksi dan koreksi bagi perbaikan penyelenggaraan negara.
Pihak Tempo sendiri menyatakan akan tetap menyuarakan kebenaran dan menyampaikan kepada publik. Artinya, teror tersebut tidak mempengaruhi kerja-kerja yang sudah tersistem dengan rapi.
Yang dikirim teroris kepada wartawan Tempo itu adalah kepala babi. Yang bisa diartikan bahwa badan babi dan organ lainnya ada pada pengirim, termasuk pantat babi (pig butt).
Nah, disadari atau tidak pengirim kepala babi itu sedang menikmati pantat babi, menguasai dan mengidentifikasi diri dengan bagian belakang tubuh babi ini. Disana ada tempat mengeluarkan kotoran.
Memang, babi itu kotor. Senang pada tempat basah dan kotor, mengencingi pakan dan memakannya sendiri. Serakah, makanan yang sudah dimuntahkan bisa dimakan kembali. Tidak bisa melihat ke belakang dan ke atas. Menunduk bukan malu, tapi memang leher kaku.
Rupanya, ini tindaklanjut dari makian “Ndasmu!” lalu dikirimlah “ndas babi”. Hebatnya, Hasan Nasbi, Kepala Komunikasi Kepresidenan teriak juga. “Udah, dimasak aja!”. Ia lupa bahwa kiriman kepala babi kepada wartawan Tempo itu teror, intimidasi, bahkan ancaman. Jangan-jangan yang kirim itu justru Istana. Kok sinis bukan empati?
Jika Istana yang bermain-main dengan kepala babi, maka Istana sedang memeluk dan menikmati pantat babi. Fransisca kepala, Istana pantat. Negara bermain kotor atas warga yang tidak mau menjilat pantat dari berbagai kebijakan yang tidak merakyat.
Kebijakan pantat babi adalah melindungi koruptor, memeras rakyat dengan pajak, menaikan harga diam-diam, mem-PHK besar-besaran, membangun dengan
menggusur, hukum hanya alat kepentingan, mengelola negara bergaya mafia, pencucian uang, serta peminggiran nilai moral dan agama. Kebijakan itu seperti sampah dan kotor.
Polisi harus mengejar siapa pengirim teror kepala babi itu. Jika mampu menangkap dan memproses, maka aparat berhasil mulai membuktikan bahwa Indonesia di bawah Presiden Prabowo memang bukan negara pantat babi. (*)
M. Rizal Fadillah;
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan, tinggal di Bandung.