MK Hapus Parliamentary Threshold, Sultan: Presidential Threshold Perlu Ditinjau Ulang

  • Bagikan
SAMBUT BAIK: Wakil Ketua DPD RI Sultan B. Najamudin, selain parliament threshold, presidential threshold dinilai tidak lagi sesuai dengan semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah mufakat.

INDOSatu.co – JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) ditengarai sudah memutuskan untuk menghapuskan ketentuan ambang batas parlemen atau Parliamentary Threshold 4 persen suara sah nasional dalam UU 7 Tahun 2017 yang diuji oleh organisasi masyarakat sipil Perludem.

MK menilai, aturan ambang batas parlemen tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Meski demikian, dalam amar putusannya, MK menyatakan ketentuan Pasal 414 ayat (1) dalam UU 7 Tahun 2017, konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan B. Najamudin mengaku menyambut baik keputusan MK tersebut. Kedaulatan rakyat yang diberikan melalui partai politik untuk menjadi bagian dari anggota majelis permusyawaratan perwakilan rakyat tidak boleh dinihilkan oleh kepentingan politik tertentu.

Baca juga :   Nono Sampono: Indonesia Butuh ‘Ketua Kelas’ di Ranah Keamanan Laut

Jika melihat pengalaman penyelenggaraan pemilu yang selalu meninggalkan bekas luka sosial dan politik selama ini, maka sudah saatnya sebagai bangsa, lembaga yang berwenang perlu meninjau kembali sistem pemilu langsung yang mensyaratkan Parliamentary dan Presidential Threshold.

”Sudah lama kami mempersoalkan aturan yang terkait dengan batasan-batasan politik dalam pemilu yang seharusnya dinihilkan demi masa depan demokrasi Indonesia yang berasaskan nilai-nilai Pancasila,” ujar Sultan melalui keterangan resminya pada Jumat (1/3).

Menurut mantan Wagub Bengkulu ini, sistem Pemilu langsung secara serentak yang diatur dengan ketentuan Parliamentary Threshold, juga Presidential Threshold tidak lagi sesuai dengan semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah mufakat. Selalu ada tudingan kecurangan yang bersifat terstruktur sistematis dan masif pada setiap pemilu langsung dilaksanakan.

Baca juga :   Naik 431 Persen, Sultan: Estimasi Anggaran Pemilu 2024 Cenderung Tidak Rasional

“Dan hal itu terjadi lagi pada Pemilu kali ini, di mana prosesnya kemudian terus dipersoalkan oleh masyarakat sipil dan kelompok politik tertentu, hingga muncul upaya politik penggunaan hak angket DPR. Karena Demokrasi dengan pendekatan pemilu langsung sangat rentan secara sosial dan tentunya high cost politik”, tegas mantan aktivis KNPI itu.

Pemilu langsung, sambung dia, adalah wujud demokrasi liberal yang sangat complecated dan lebih banyak menimbulkan mudharat daripada manfaat bagi kehidupan sosial politik bangsa. Praktik Money politics dalam jumlah besar sangat liar justru mendestruksi nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

“Sementara Pemilu tak langsung melalui lembaga MPR RI sangat relevan dengan prinsip perwakilan dalam sila ke empat Pancasila. Dan yang harus dipahami adalah bahwa Sistem pemilihan presiden melalui parlemen tidak identik dengan otoritarianisme seperti Orde Baru”, tegasnya.

Baca juga :   Sultan Minta Pemerintah Tidak Ikuti Langkah Malaysia Hentikan Ekspor CPO ke Eropa

Dengan demikian, kata Sultan, sistem presidensial dan pemilu langsung yang dipraktikkan selama ini cukup dijadikan pelajaran kebangsaan yang berharga. Bahwa sistem politik yang rumit, mahal dan cenderung liberal ini sudah saatnya diakhiri.

“Sehingga, DPD RI secara kelembagaan menilai bahwa pembaharuan pada sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia merupakan jalan keluar bagi persoalan politik demokrasi liberal saat ini. Tanpa perbaikan pada sistem politik, maka Indonesia akan selalu terjebak dalam lingkaran setan pemilu langsung yang merugikan demokrasi Indonesia. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *