Menguji Profesionalisme Aparat Hukum Salah Tangkap

  • Bagikan

PELANGGARAN prosedur dan kesalahan identifikasi korban tindak pidana di Indonesia masih sering terjadi. Hal itu terjadi sekaligus mengonfirmasi betapa lemahnya profesionalisme aparat penegak hukum (APH) dalam menangani sebuah kasus.

Kasus kesalahan prosedur dan penyidikan yang salah dapat mengakibatkan kesalahan dalam menentukan pelaku atau yang sering disebut dengan kesalahan penangkapan. Kesalahan dalam proses penyidikan mempunyai implikasi hukum yang besar. Jika kesalahan tersebut tidak segera diperbaiki, jelas akan mempengaruhi tahapan hukum berikutnya.

Adanya kerancuan hukum akibat lemahnya profesionalisme penyidik, kurangnya pemahaman masyarakat dan korban salah tangkap tentang hak-haknya, menyebabkan masyarakat dan korban salah tangkap akhirnya hanya puas dengan diberikannya pembebasan tanpa ada ganti rugi yang sesuai.

Lemahnya pelaksanaan perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap mencerminkan tidak terlaksananya prinsip peradilan yang cepat, murah dan sederhana.
Kasus salah tangkap seringkali terjadi disebabkan karena kurangnya pengawasan dan ketidakprofesionalan Polisi dan Jaksa (APH).

Baca juga :   Semua Menunggu Megawati

Karena itu, reformasi di bidang hukum pidana dan penegakan hukum perlu dilakukan untuk meminimalisasi terjadinya kesalahan serupa di masa depan. Berdasarkan fenomena diatas, tulisan ini dibuat membahas tentang perlindungan hukum bagi korban salah tangkap.

Perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap adalah upaya yang dilakukan untuk melindungi hak-hak individu yang ditangkap secara tidak sah atau keliru oleh pihak Polisi dan Jaksa (APH). Korban salah tangkap berhak mendapatkan perlindungan dan ganti rugi atas tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

Di Indonesia, mekanisme dan regulasi untuk memastikan adanya keadilan dan kompensasi bagi korban, bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum serta memastikan bahwa setiap individu yang mengalami salah tangkap mendapatkan keadilan dan hak-haknya terpenuhi.

Dasar hukum dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 menyebutkan; “bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Dalam KUHAP memberikan ketentuan tentang penangkapan dan penahanan yang sah, serta hak-hak tersangka, terdakwa yang harus dilindungi selama proses berlangsung.

Baca juga :   Kasih Uang Habis Perkara (KUHP)

Tindakan salah tangkap dapat melanggar HAM, serta mengurangi dan membatasi kemerdekaan seseorang, seperti dalam UU Nomor 39 Tahun 1999, yang menegaskan, bahwa hak setiap orang untuk mendapatkan perlindungan hukum, termasuk dalam terjadinya salah tangkap.

Jika dalam suatu perkara pidana Terdakwa dinyatakan tidak bersalah, maka polisi atau jaksa (APH) pada umumnya hanya mengganti kerugian materiil/uang melalui permohonan atau dengan ketetapan Hakim.

Tidak sampai disitu, Kapolri atau Jaksa Agung, dengan peraturan yang ada, idealnya harus memberi sanksi berat, bukan hanya administrasi/turun pangkat, keperdataan atau ganti rugi, tetapi juga sanksi badan bagi bawahannya yang melakukan ketidakprofesionalannya dalam menjalankan tugas. APH dengan kewenangan subjektifnya telah menangkap orang lalu menahan orang, tetapi kemudian divonis bebas murni (vrijspraak) ataupun lepas dari hukuman (onslag) oleh Hakim.

Baca juga :   ”Manipulasi” Garis Kemiskinan Tidak Bisa Hapus Fakta Kemiskinan (Bagian-2)

Menurut hemat penulis, APH yang salah tangkap itu perlu dijatuhi sanksi tegas. Sebab kerugian bukan hanya dialami korban, tetapi juga keluarga, membebani keuangan negara dalam menahan orang dalam Lapas, waktu bersidang dan energi lain yang menimbulkan pengeluaran keuangan negara.

Pemerintah sudah merevisi PP Nomor 27 Tahun 1983 dengan PP Nomor 92 Tahun 2015 tentang KUHAP untuk penindakan supaya lebih tegas terhadap polisi atau jaksa (APH) perlu dilakukan, mengingat kerugian yang ditimbulkan akibat salah tangkap sangat besar, dan dampaknya juga berkepanjangan.

Misalnya, Terdakwa hampir dipastikan mengalami trauma, tidak mau berbicara di hadapan publik untuk membeberkan apa yang dialaminya. Begitu juga dengan keluarganya. Belum lagi dampak pengeluaran keuangan negara untuk operasional APH. (*)

Dahlan Pido, SH., MH;
Penulis adalah Praktisi Hukum/Advokat Senior.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *