Meneropong Kinerja Jokowi, Investasi Terus Turun, hingga Tak Bisa Rawat PETI

  • Bagikan

BERDASAR pada Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, Investasi di Indonesia sejak tahun 2018 tidak mengalami peningkatan. Jika dilihat dari data BPS itu, menunjukkan bahwa investasi di Indonesia setiap tahun mengalami penurunan.

Penurunan investasi tersebut dapat dilihat berikut: 1). Tahun 2018 sebanyak 29 307,91 juta dolar AS. 2). Pada tahun 2019 sebanyak 28 208,76 juta dolar AS. 3). Pada tahun 2020 sebesar 28 666,30 juta dolar AS. Jumlah investasi tersebut dilihat dari Penanaman Modal Asing baik dari USA, Kawasan Asia, Kawasan Afrika, Eropa dan Kawasan Amerika lainnya. Investasi asing juga hanya didominasi oleh Tiongkok dan Hongkong.

Jumlah tersebut di atas adalah investasi murni, tidak termasuk Sektor Minyak & Bumi, Perbankan, Lembaga Keuangan Non Bank, Asuransi, Sewa Guna Usaha, Investasi yang perizinannya dikeluarkan oleh instansi teknis atau sektor, Investasi Portofolio (Pasar Modal), dan Rumah Tangga 2. Proyek dalam unit yang sudah berlangsung lama. (Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2021).

Baca juga :   LaNyalla Mattalitti, Juru Bicara Perpanjangan Kekuasaan Jokowi?

Dengan demikian Menko Marves Luhut B. Pandjaitan dan Menteri Investasi dan BKPM Bahlil Lahadalia gagal dalam usaha meningkatkan investasi, iklim investasi dan juga menjalin kemitraaan internasional serta market intelijen dan lain sebagainya.

Indonesia sebagai negara produsen dan pengekspor bahan-bahan tambang seperti; Batubara, Timah, Bauksit, Nikel, Tembaga, maupun Emas, terdapat fakta bahwa Indonesia juga tempat yang ramai dengan kegiatan pertambangan rakyat skala kecil yang masih dikenal sebagai Pertambangan Tanpa Izin (PETI).

Baca juga :   Distorsi Pembangunan Ekonomi Pemerintahan Joko Widodo (Bagian III-Habis)

Namun, Luhut gagal merevitalisasi kegiatan pertambangan rakyat yang sebagian telah berusia ratusan tahun tersebut dianggap merugikan negara karena statusnya yang tanpa izin, tidak membayar royalti, menyebabkan keresahan sosial dan merusak lingkungan. Jumlah mereka mencapai lebih dari 1.000 lokasi di berbagai daerah di Indonesia, dan kegiatan mereka menjadi gantungan hidup bagi sekitar 2 juta warga Indonesia.

Hasil-hasil pertambangan di Indonesia yang sebagian (besar) kemudian diekspor tersebut diproduksi di pertambangan-pertambangan modern berskala besar seperti Freeport Indonesia (tembaga) di Papua, Vale (nikel) di Sulawesi Selatan, PT Aneka Tambang (bauksit; dulu di pulau Bintan-Kepulauan Riau, dan sekarang di Kalimantan Barat), PT Timah (timah) di Bangka Belitung, PT Kaltim Prima Coal atau Adaro (batubara) di Kalimantan Timur, dan sebagainya. Sebagian dari mereka adalah perusahaan multinasional yang menanamkan modalnya tidak hanya di Indonesia, namun juga di belahan lain dunia. (Sumber: Hanan Nugroho, Bappenas 2020).

Baca juga :   Saya Menyayangkan Pencabutan Gugatan “Ijazah Palsu Jokowi"

Dugaan Keterlibatan Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Menko Maritim dan Investasi yang membawahi Kementerian Pertambangan dan Energi, dimana Perusahaan miliknya PT. Toba Sejahtera ikut berinvestasi dalam pengelolaan Blok Wabu Papua. Jika itu benar, jelas akan cenderung subjektif dan menyalahi aturan hukum dan moral. (Sumber: Walhi dan Kontras 2021).

Natalius Pigai:
Penulis adalah Aktivis HAM, Peneliti, Penyelidik, Statistisi, Teknokrat & Birokrat 18 Tahun.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *