Menelusuri “Mesin Waktu” Hilirisasi Nikel Septian Hario “Faisal” Seto

  • Bagikan
JADI PERDEBATAN: Penampakan hilirisasi nikel terus menjadi sorotan karena menghasilkan keuntungan besar, tapi tidak dinikmati oleh negara.

TULISAN Dahlan Iskan dengan judul “Faisal Seto” (13/8), mengundang kagum dan sekaligus bingung. Kagum atas kecepatan Seto menulis sanggahan terhadap pernyataan Faisal Basri mengenai manfaat hilirisasi nikel. Kagum atas kecepatan Seto memiliki data manfaat hilirisasi nikel yang sangat detil, sebagai bahan sanggahannya kepada Faisal Basri tersebut. Padahal dia masih berada di luar negeri.

Kagum, sekaligus bingung. Kecepatan Seto seakan-akan mampu menembus ruang dan waktu. Dalam sebuah seminar, Faisal Basri mengatakan, 90 persen manfaat hilirisasi nikel dinikmati China. Pernyataan Faisal Basri dimuat di berbagai media pada pada 8 Agustus.

Dua hari setelah statemen Faisal Basri itu, muncul reaksi dari Pemerintah. Jokowi langsung turun tangan membantah pernyataan Faisal Basri pada 10 Agustus. Selang sehari, Faisal Basri menjawab bantahan Jokowi keesokan harinya pada 11 Agustus. Faisal Basri menyebut hitungan Jokowi soal hilirisasi nikel salah. Sampai di sini, biasa saja. Bantah membantah merupakan hal biasa.

Kemudian tiba-tiba, muncul nama Septian Hario Seto, alias Faisal Seto, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi. Sebelumnya, Seto jarang atau tidak pernah terdengar bicara di ruang publik.

Baca juga :   Pak Prabowo Tidak Akan Cawe-cawe

Seto ikut membantah pernyataan Faisal Basri yang menyebut hitungan Jokowi salah. Seto mengatakan Faisal Basri tidak up to date dengan permasalahan hilirisasi nikel. Dengan kata lain, Faisal Basri asal bicara.

Sanggahan Seto terhadap pernyataan Faisal Basri dimuat banyak media pada 11 Agustus. Ya, benar 11/08, yaitu di hari yang sama Faisal Basri mengatakan hitungan Jokowi soal hilirisasi nikel salah. Sanggahan Seto dimuat diberbagai media. Betapa cepat respons Seto menyanggah pernyataan Faisal Basri. Sungguh mengagumkan. Dan membingungkan.

Membingungkan, bagaimana bisa, Seto memberi sanggahan terhadap pernyataan Faisal Basri dalam waktu sangat cepat, di hari yang sama, pada 11 Agustus. Padahal ketika itu, Seto sedang berada di Washington DC, bersama Luhut Panjaitan dan rombongan, dalam perjalanan kembali dari Brazil menuju Jakarta. Luhut dan Seto sedang mengunjungi kantor IMF di Washington DC, bertemu Managing Director IMF, Kristalina Georgieva.

Menurut CNBC, dan cuitan Kristalina Georgieva, Luhut Panjaitan dan rombongan, termasuk Seto, mengunjungi kantor IMF pada Kamis 10 Agustus, waktu Washington DC. Selisih waktu antara Washington DC dengan Jakarta +11 jam. Artinya, ketika Seto berada di kantor IMF di Washington DC, lewat tengah hari, berarti Jakarta sudah masuk dini hari tanggal 11 Agustus.

Baca juga :   Moratorium Bisnis Seragam Siswa

Sedangkan tulisan sanggahan Seto kepada Faisal Basri diterima dan dimuat media pada hari yang sama Jumat 11 Agustus pukul 18:48 waktu Jakarta. Jadi, Seto hanya mempunyai time gap sekitar 15 jam saja, antara waktu kunjungan ke kantor IMF sampai berita tulisan sanggahan Seto diterima dan dimuat berbagai media, termasuk cnnindonesia:

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230811180728-85-985044/deputi-luhut-bantu-jokowi-balas-kritik-hilirisasi-nikel-faisal-basri/amp

Artinya, Seto hanya perlu 15 jam, dari kantor IMF di Washington DC, menuju New York, terus terbang ke Jakarta, menyelesaikan tulisan sanggahan kepada Faisal Basri di atas pesawat, sampai tulisan tersebut diterima dan dimuat media. Semua itu dilakukan hanya dalam rentang waktu kurang lebih 15 jam saja. Super cepat! Hampir mustahil bisa dilakukan.

Karena, menurut Dahlan Iskan, Seto menulis artikel sanggahan untuk Faisal Basri di pesawat, dalam perjalanan dari New York ke Jakarta. Lama perjalanan setidak-tidaknya 18 jam. Itupun kalau Seto menggunakan pesawat pribadi. Kalau menggunakan pesawat komersial, waktu tempuh New York – Jakarta pasti jauh lebih lama dari 18 jam. Artinya, Seto dan rombongan Luhut Panjaitan menggunakan pesawat pribadi?

Baca juga :   Reformasi atau Revolusi

Tetapi, kalau menggunakan pesawat pribadi, kenapa harus lewat New York? Kenapa tidak langsung dari Washington DC ke Jakarta? Sungguh Janggal?! Kalau lama perjalanan dari New York ke Jakarta saja perlu waktu paling sedikit 18 jam, belum termasuk perjalanan Washington DC – New York, maka mustahil cnnindonesia bisa muat tulisan sanggahan Seto pada Jumat Agustus pukul 18:48.

Kecuali Seto bisa menembus ruang dan waktu. Kecuali Seto bisa mengendarai “mesin waktu”. Atau Seto juga bisa mengendarai “mesin artikel”: alias disiapkan oleh staff di Jakarta, dan diatasnamakan Seto? Hanya publik yang bisa menilai… (*)

Prof. Anthony Budiawan;
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *