Membandingkan Efikasi Vaksin Tinggi-Rendah, dan Implikasinya bagi Pengguna

  • Bagikan

IZIN yang diberikan oleh badan Food and Drugs Administration (FDA) di Amerika Serikat untuk vaksin sejauh ini baru untuk Emergency Use Authorization (EUA), dan bukan FDA Approval (Licensure), karena kebutuhan yang mendesak lantaran penyebaran coronavirus yang begitu cepat dan meluas (pandemi).

Implikasi hukum izin yang sifatnya untuk Emergency Use Authorization (EUA) dari FDA ini memiliki kekebalan hukum, meski sifat kekebalan hukum itu terbatas, yang diberikan kepada perusahaan pembuat vaksin di USA bila terjadi side effects (efek samping) yang fatal terhadap pemakai vaksin, maka perusahaan pembuat vaksin Covid-19 tidak bisa dituntut secara hukum (kriminal), tetapi masih bisa dituntut pertangungjawaban secara moral dan medikal.

Itulah implikasi hukum dari izin Emergency Use Authorization (EUA) FDA di Amerika Serikat. Tidak heran bila perusahaan pembuat vaksin Pfizer itu kini meminta jaminan kebal hukum yang sama kepada pemerintah Indonesia, supaya bebas dari tanggungjawab bila terjadi side effects yang fatal di Indonesia.

Pertanyaannya, enak di Elu, nggak enak di publik? Itulah kira-kira anggapan cerdik pandai, terhadap hebatnya penjual vaksin. Padahal, perusahaan yang memproduksi vaksin Pfizer, memiliki clinical test yang lengkap hingga phase #3 dengan klaim efikasi di atas 95 persen.

Lalu, bagaimana dengan vaksin Sinovac yang efikasinya hanya 51 persen hingga 65 persen? Izin vaksin berupa Emergency Use Authorization (EUA), artinya bahwa vaksin itu masih berupa percobaan (clinical test), yang belum tuntas. FDA sendiri belum sempat melakukan test laboratorium dan clinical test mandiri untuk mengkonfirmasi validitas klaim dari perusahaan pembuat vaksin.

Clinical test ini artinya, vaksin itu sudah menjalani proses test laboratorium dan clinical test ke publik yang dilakukan oleh perusahaan pembuat vaksin dengan sekian persen sampel, sehingga efikasi (effectiveness) dari vaksin itu bisa diketahui, seperti Pfizer dengan efikasi 95 persen dengan lebih dari 35.000 hingga 45.000 sampel untuk phase ke #3; Moderna 94,1 persen, dan Johnson and Johnson 94 persen.

Meski telah melakukan clinical test phase ke #3, tetapi vaksin itu masih belum lengkap dan masih harus diperbaiki serta disempurnakan. Biasanya, belajar dari vaksin polio, chickenpox (cacar), dan influenza, dibutuhkan waktu dari 5 tahun hingga 7 tahun untuk menyempurnakan vaksin, artinya efficacy dan side effects sudah bisa ketahui hampir 100 persen.

Baca juga :   KPU Jangan Menjadi Komisi Penjahat Ulung

Bukankah saat ini vaksin baru berjalan kurang dari 2 tahun? Vaksin yang masih berupa percobaan (clinical test), artinya belum semua side effects dari vaksin itu diketahui, baru sebagian dan masih harus disempurnakan dengan berbagai clinical test kepada publik.

Dan karena itulah, pengunaan vaksin clinical test itu semestinya harus hati-hati (with caution), tidak boleh sembarangan main paksa, dan harus dengan discreation dari dokter, khususnya untuk orang-orang yang kondisi tubuh dan imunnya lemah seperti orang tua di atas 65 tahun atau anak-anak di bawah 12 tahun.

Beda dengan izin vaksin yang berupa FDA Approval! FDA Approval itu artinya clinical test yang diklaim oleh perusahaan vaksin sudah di uji coba dan di tes ulang oleh FDA sendiri untuk mengkonfirmasi atau menuju validitas klaim dari perusahaan pembuat vaksin.

Sejauh ini, FDA baru memberikan EUA untuk semua vaksin di USA, dan bukan berupa FDA Approval. Lucunya, vaksin Sinovac tidak mendapatkan EUA di Amerika Serikat (USA) oleh FDA. Hanya World Health Organization (WHO) yang memberi EUA kepada vaksin Sinovac.

1). FDA memberi Emergency Use Authorization (EUA) kepada Pfizer pada 11 Desember 2020.

2). FDA memberi Emergency Use Authorization (EUA) terhadap Moderna pada 18 Desember 2020.

3). FDA memberi Emergency Use Authorization (EUA) terhadap Johnson & Johnson pada 27 Februrai 2021.

4). Sinovac…? Tidak mendapatkan EUA di USA. Karena itu, vaksin Sinovac tidak dipakai di USA.

Meski begitu, WHO memberikan EUA terhadap vaksin Sinovac untuk keperluan di luar negara Amerika Serikat. Muncul pertanyaan, mengapa FDA (USA) tidak memberikan EUA kepada Sinovac? Jawabannya tentu, karena Sinovac tidak dipakai di USA. Jawabannya sudah jelas, itu karena efikasi Sinovac hanya 51 persen hingga 65 persen, dan clinical test Sinovac phase #3 juga belum ada hasil laporan resmi ke WHO dari perusahaan pembuat vaksin Sinovac.

Izin EUA dari WHO karena bersifat emergency untuk kebutuhan di dunia, tentunya di negara-negara di luar Amerika Serikat (USA). Sejauh ini, FDA baru pertama kali memberikan FDA Approval untuk “test serology”, yakni test yg bisa mendeteksi neutralizing antibodies dari SARS-CoV-2 infections (Covid-19).

Baca juga :   Polemik Penentuan Penjabat Bupati

Yang juga perlu diketahui publik adalah, bahwa semua vaksin harus menjalani clinical test phase#1, phase#2 dan phase #3 untuk mengetahui efikasi (effectiveness) dari vaksin tersebut. Khusus untuk vaksin Sinovac, clinical test phase#3 belum ada laporan resmi atau hasilnya yang dilaporkan secara resmi kepada World Health Organization (WHO).

Sementara itu, efikasi dari vaksin Sinovac adalah yang terendah di dunia dari semua vaksin yang dipakai di dunia, hanya antara 51 persen hingga 65 persen.

Ada 3 poin, yang oleh perusahaan vaksin dan pemerintah sering ditutup-tutupi atau sengaja tidak diberitahukan ke publik, adalah:

1). Bahwa semua vaksin itu masih dalam clinical test. 2). Efikasi (effectiveness) yang rendah. 3). Side effects (efek samping terhadap kesehatan publik), yang bisa sangat fatal karena kerusakan organ tubuh oleh vaksin itu irreversible atau tidak bisa disembuhkan lagi. Orang awam yang tidak paham dunia medical and laboratory, tentu tidak bisa mengerti makna clinical test bagi obat-obatan (drugs) atau vaksin.

Bagaimana jika pemerintah memberikan argumentasi bagus, bias dan sengaja membohongi publik? Sekarang kira hitung secara aritmatika;

1). Top vaksin seperti Pfizer, Moderna, Johnson & Johnson dengan efikasi 95 persen, itu artinya masih ada 5 persen orang yang divaksin itu tidak mempan.

a). Sebanyak 5 persen dari 1.000.000 penduduk, itu ada 50.000 orang.

Kalau penduduk Indonesia 277.000.000 jiwa, dan 70 persen akan divaksin dengan top vaksi seperti Pfizer, Moderna atau Johnson & Johnson, masih ada 5 persen dari 193.900.000 sebanyak 9.965.000 yang akan tepar, di luar side effects dari vaksin.

b). Bagiamana dengan vaksin Sinovac yang hanya memiliki efikasi 51 persen hingga 65 persen?

Saya hitung dengan efikasi yang tinggi dari vaksin Sinovac 65 persen, maka dari 193.900.000 penduduk yang akan divaksin (70 persen dari total penduduk), maka akan ada 35 persen atau sebanyak 67.865.000 orang yang tepar.

Baca juga :   Joko Widodo, Habib Rizieq Shihab dan Aspiran Capres

Sebanyak 67.865.000 jiwa akan berpotensi tepar sebagai hasil hitungan dari efikasi (effectiveness) vaksin kualitas paling rendah di dunia, yang dipilih oleh pemerintah Jokowi dan ‘Menteri PCR’.

Itu hitungan kasar aritmatika dari klaim efikasi perusahaan pembuat vaksin Sinovac sendiri. Tidak heran jika ada ribuan orang meninggal tiap hari karena Covid-19, tetapi pemerintah Jokowi dan Menteri PCR mengambil kebijakan:

– Tidak menghitung orang yg mati karena Covid-19

– Tidak mencatat penyebab kematian karena Covid-19.

– Tidak mencatat side effects dari vaksin Sinovac.

Tetapi vaksin dipaksakan, PCR test dan antigen dipaksakan, karantina dipaksakan, namun tanggungjawab secara moral dan financial, tidak ada.

Enak di Elu, nggak enak di rakyat…!

2). Sekarang bagaimana dengan side effects (efek samping) yang fatal dan berakibat dengan kematian? Kalau side effects itu dibilang kecil sekali dari 0.007 persen hingga 2 persen, bukan kah 0.007 persen itu khan nyawa orang?

Sebanyak 0.007 persen dari 1.000.000 penduduk saja sudah akan ada 70 orang yang mati. Kalau dihitung dari 70 persen yang akan divaksin, maka potensi yang akan meninggal dari side effects vaksin adalah sebanyak 13.573 orang.

Itu dengan hitungan terendah 0,007 persen side effects. Kalau dengan hitungan 2 persen, maka jumlahnya bisa mencapai 3.878.000 orang.

3). Bila digabung antara efiksasi yang rendah 65 persen dan potensi side effects 2 persen, maka potensi yang tepar dan yang meninggal dunia sebesar 71.743.000 orang, atau sekitar 25 persen rakyat Indonesia akan meninggal dunia sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari kebijakan pemerintah Jokowi dan Menteri PCR dalam menanggulangi pandemic coronavirus di Indonesia. Sekarang begitu enaknya perusahaan Pfizer mau minta jaminan kebal hukum dari side effects (efek samping) vaksin.

Jadi ingat pesan nenek dan kakek masa lalu; ojo percoyo lambene tukang dodol jamu. Kalau diterjemahkan dalam bahasa milenial sekarang mungkin kurang lebihnya berbunyi:. “..Jangan percaya omongan Menteri PCR…!!!”

Chris Komari;
Penulis adalah Aktivis Demokrasi, sekarang tinggal di Kota Bay Point, Contra Costa County, California, USA.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *