INDOSatu.co – JAKARTA – Deflasi yang berlangsung 7 bulan berturut-turut, menunjukkan ekonomi negara sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, menandakan daya beli masyarakat anjlok alias melemah. Bukan hanya itu. Jumlah penduduk kelas menengah menyusut 9,48 juta orang selama 5 tahun terakhir, dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Atau turun sekitar 16,5 persen. Sungguh ironi.
Pernyataan tersebut disampaikan Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS). Menurut Anthony, dengan kondisi ekonomi yang sedang tidak baik. dipastikan berdampak pada jumlah penduduk miskin juga naik dari 25,15 juta (2019) menjadi 25,22 juta (2024), meskipun dalam persentase turun dari 9,41 persen menjadi 9,03 persen.
”Artinya, tingkat kemiskinan hanya turun 0,4 persen dalam lima tahun menandakan gagal dalam pemberantasan kemiskinan,” kata Anthony Budiawan kepada INDOSatu.co, Senin (25/11).
Salah satu faktor pemicu utama anjloknya kelas menengah adalah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022, di tengah gejolak harga komoditas global yang melonjak tinggi, yang memicu suku bunga global naik tajam.
Belum genap tiga tahun, tarif PPN akan dinaikkan lagi, dari 11 persen menjadi 12 persen, yang akan berlaku efektif pada 1 Januari 2025, pada hari pertama, APBN Tahun Anggaran pertama, pemerintahan Prabowo Subianto, di tengah kondisi ekonomi sedang tidak baik, dan memburuk, serta daya beli yang masih terus melemah. Indeks aktivitas produksi di zona kontraksi selama empat bulan.
”Jumlah PHK bertambah terus. Karena itu, tidak ada alasan yang bisa membenarkan PPN naik,” kata Doktor Ilmu Ekonomi Erasmus University, Rotterdam, Belanda, itu..
Kenaikan pajak, termasuk PPN, kata Anthony, merupakan instrumen kebijakan fiskal yang bersifat kontraksi. Kenaikan PPN akan membuat aktivitas ekonomi turun. Artinya, ungkap dia, di tengah ekonomi sedang melemah, kebijakan menaikkan PPN merupakan blunder besar. Pertumbuhan Ekonomi akan anjlok. Jumlah penduduk miskin bisa naik lagi. Jumlah penduduk kelas menengah akan menyusut lebih dalam.
Karena itu, kata Anthony, tidak ada alasan ekonomi yang bisa membenarkan kenaikan PPN pada 1 Januari 2025. Kenaikan PPN akan membuat rakyat tambah menderita dan tambah miskin. Rakyat akan kehilangan paling sedikit Rp 50 triliun, akibat kenaikan pajak semena-mena ini.
”Jadi, saya tidak heran, rencana kenaikan PPN akan menuai protes masyarakat luas. Petisi tolak kenaikan PPN sudah mulai bergema di mana-mana,” kata Anthony.
Penolakan juga datang dari pengusaha. Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia), GAPMMI (Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman), yang menyatakan tidak setuju dengan kenaikan PPN pada 1 Januari 2025.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga bersuara, menegaskan menolak kenaikan PPN. Anthony yakin masih banyak elemen masyarakat lainnya yang menolak kenaikan PPN menjadi 12 persen, termasuk dari kalangan buruh. ”Pernyataannya kenapa PPN harus naik pada 1 Januari 2025?,” tanya Anthony.
Alasan kenaikan PPN menjadi 12 persen sudah diatur di Bab IV, Pajak Pertambahan Nilai, UU Pajak tahun 2021 (tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan). Pasal 7 ayat (1) huruf b mengatakan, tarif PPN sebesar 12 persen mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
Aturan kenaikan PPN ini, kata Anthony, bermasalah secara hukum dan etika. Pertama, kata dia, kenapa selama ini Jokowi tidak menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen, sebelum masa jabatannya berakhir pada 20 Oktober 2024 yang lalu?
Kenapa Jokowi sengaja membiarkan bola panas PPN ini kepada presiden Prabowo Subianto (atau presiden periode 2024-2029) yang belum genap berusia 2 bulan?
Kedua, beber Anthony, mengubah tarif pajak merupakan wewenang presiden dan DPR dalam masa jabatan, karena merupakan bagian dari kebijakan fiskal dan kebijakan ekonomi.
Artinya, ungkap Anthony, Jokowi tidak bisa mengubah tarif pajak di luar masa jabatannya, yaitu 20 Oktober 2024. Jokowi tidak bisa mengubah tarif pajak untuk 3 tahun ke depan, 5 tahun ke depan, 10 tahun ke depan melampaui masa jabatannya.
Pasal 7 ayat (3) mengatur, tarif PPN bisa diubah antara 5 persen sampai 15 persen. Tetapi ayat (4) mengatur, perubahan ini harus disampaikan oleh Pemerintah dan disetujui DPR.
”Ini baru peraturan yang benar. Setiap perubahan tarif pajak harus mendapat persetujuan dari DPR, dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi terkini,” tukas Anthony.
Menurut Anthony, pasal 7 ayat (3) dan ayat (4) mencerminkan kebijakan fiskal pada periode tertentu sepenuhnya menjadi wewenang presiden dan DPR di masa periode tersebut. Dengan demikian, kebijakan fiskal (dan perubahan tarif pajak) tahun 2025 sepenuhnya merupakan wewenang presiden Prabowo Subianto dan DPR periode 2024-2029.
”Artinya, Jokowi dan DPR periode 2019-2024 tidak mempunyai hak dan wewenang menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025,” jelas Anthony.
Informasi yang didapat di kalangan parlemen, kabarnya mayoritas fraksi DPR (periode 2024-2029) keberatan dan menolak kenaikan PPN pada 1 Januari 2025, mengingat kondisi ekonomi saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Pasal 7 ayat (1) huruf b UU Pajak tahun 2021 yang mengatur kenaikan PPN menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025 wajib batal demi hukum, karena melanggar wewenang presiden dan DPR periode 2024-2029. (*)