INDOSatu.co – JAKARTA – Proyek Strategis Nasional (PSN) terus menuai penolakan. Kabar terkini, belasan organisasi masyarakat sipil berkumpul di Sekretariat Komsorsium Pembaruan Agraria (KPA) di kawasan Pejaten Timur, Jakarta Selatan, Selasa (26/11). Pertemuan itu pun menghasilkan resolusi yang dinamakan Resolusi Pejaten Timur.
Memurut Sekjen KPA Dewi Kartika, lahirnya resolusi ini sebagai respons dari banyaknya kasus-kasus agraria dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) di era pemerintahan Joko Widodo.
“KPA mencatat, terdapat 134 kasus agraria berupa perampasan tanah rakyat dalam PSN tersebut. Rakyat juga tidak diberi kesempatan berpartisipasi secara aktif dan bermakna dalam proses pengadaan tanah,” tegas Dewi dalam keterangannya kepada INDOSatu.co, Selasa (26/11) malam.
Salah satu kesepakatan dalam pertemuan itu, kata Dewi, organisasi masyarakat sipil itu membentuk Front Rakyat Tolak PSN yang akan mengadvokasi masyarakat yang dirugikan dalam PSN itu, termasuk PSN PIK 2 di Banten yang penuh kontroversi.
Tampak hadir beberapa penggiat masyarakat sipil, antara lain Sultoni Sekjen AGRA, Sunarno, Ketua Umum KASBI, dan Moh. Jumhur Hidayat, Ketua Umun KSPSI Pembaruan.
Menyikapi fenomena PSN yang penuh kontroversial tersebut, Dewi mengidentifikasi ada lima masalah fundamental PSN:
Pertama, kata Dewi, PSN telah menjadi alat baru perampasan tanah, wilayah adat, dan wilayah tangkap nelayan di berbagai daerah. Kedua, PSN di berbagai daerah juga telah menyebabkan krisis agraria, sosial, ekonomi, lingkungan yang berdampak luas dan genting.
Ketiga, kata Dewi, PSN juga telah menghilangkan sumber pencaharian, pangan dan penghidupan rakyat yang memperparah kemiskinan nasional secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Selain itu, ungkap Dewi, PSN di berbagai daerah juga dilaksanakan dengan cara-cara represif, intimidatif, manipulatif, dan koruptif dengan menghilangkan partisipasi rakyat secara bermakna dan transparan.
”Dan yang kelima, PSN di sebagian daerah ternyata memobilisasi keuangan negara untuk kepentingan kelompok bisnis,” kata Dewi.
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, ungkap Dewi, Resolusi Pejaten Timur dengan tegas Menolak Proyek Strategis Nasional (PSN). Dewi mendesak kepada Presiden Republik Indonesia (RI) Prabowo Subianto untuk menghentikan pelaksanaan PSN di berbagai daerah.
Selain itu, Dewi juga meminta DPR RI melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang melegitimasi pelaksanaan PSN di berbagai daerah.
”Yang tidak kalah penting, BPK RI juga perlu melakukan audit investigatif terhadap seluruh pelaksanaan PSN yang memobilisasi keuangan negara,” beber Dewi.
Resolusi Pejaten Timur, ungkap Dewi, meminta kepada TNI dan Polri untuk menghentikan cara-cara represif dan intimidatif dalam menangani konflik agraria akibat PSN.
”Karena itu, kami berharap Presiden dan DPR RI harus mendorong model-model pembangunan yang berpusat pada kepentingan rakyat,” pungkas Dewi.
Dalam pertemuan tersebut, setidaknya ada 18 organisasi masyarakat sipil yang bersepakat melahirkan Resolusi Pejaten Timur. Ormas tersebut, yakni Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA); Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA); Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI Pembaruan); Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI); dan Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI).
Selain itu, Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI); Konfederasi Buruh Merdeka Indonesia (KBMI); Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI); FIAN Indonesia; Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN); Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN) serta Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia).
Tampak hadir pula, LBH Jakarta; Greenpeace Indonesia; Indonesia Memanggil 57+ Institute (IM 57+); Front Mahasiswa Nasional (FMN); Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jakarta Selatan, dan Pergerakan Petani Banten. (*)