INDOSatu.co – JAKARTA – Berbagai kebijakan yang dilahirkan oleh rezim saat ini, baik eksekutif dan legislatif, telah nampak bahwa telah distir atau dikendalikan oleh oligarki. Karena itu, KSPSI sebagai organisasi buruh terbesar dan paling tersebar di nusantara, tidak akan memperkokoh warisan rezim oligarki yang sedang berkuasa ini.
“Dari awal kita menentang boneka oligarki, baik yang di eksekutif maupun legislatif. Karena itu, suara-suara yang kita kobarkan dalam demo-demo juga akan sama dengan orientasi politik dalam hajatan pilpres mendatang. Satu dalam kata dan perbuatan, tidak akan mencla-mencle”, ungkap Jumhur kepada INDOSatu.co, Rabu (26/4).
Menurut Jumhur, KSPSI tidak akan buru-buru memutuskan mendukung capres atau bakal capres manapun sebelum melakukam verifikasi yang sangat ketat terhadap capres-capres yang ada.
“Untuk KSPSI yang saya pimpin sudah diputuskan dalam Rakernas Februari lalu bahwa dukungan kepada capres akan diputuskan melalui Rakernas Diperluas yang akan dihadiri sekitar 600 utusan pemilik suara dari seluruh Indonesia. Karena itu, penentuan capres bukan wewenang Ketua Umum atau pimpinan DPP, tapi wewenang seluruh pemilik suara. Dalam hal ini saya tidak mau mendahului aspirasi anggota yang diwakili oleh 16 Federasi, 34 Provinsi dan sekitar 400 kabupaten/kota,” jelas Jumhur.
Meski demikian, Jumhur mengaku bahwa dirinya sudah mulai menangkap aspirasi dari hampir seluruh anggota yang ditemuinya. Mereka ingin keluar atau mendobrak kebekuan dan kebuntuan regulasi yang dilahirkan rezim saat ini, khususnya terkait kaum buruh. Karena sejak tahun 2015 terus dipinggirkan secara terstruktur, sistematis dan masif yang membuat kaum buruh/pekerja semakin tidak berdaya dan berujung pada pemiskinan masal.
Bagi Jumhur, KSPSI tidak mau terjebak dengan preferensi pemimpin nasionalis atau muslim karena itu hanya sekedar cap saja yang ternyata isi dan substansinya tidak seperti kaum nasionalis atau muslim yang sesungguhnya, seperti saat perjuangan kemerdekaan dulu.
“Ah, saat ini saya nggak mau terjebak soal pemimpin nasionalis atau pemimpin muslim karena fakta yang ada saat ini adalah lebih banyak pemimpin nasionalis yang sontoloyo dan pemimpin muslim yang juga sontoloyo alias lebih berkhidmat pada materi, kekuasaan dan oligarki ketimbang berkhidmat kepada rakyat banyak yang terpinggirkan”, pungkas Jumhur. (adi/red)