Korupsi Terus

  • Bagikan

DUNIA punya banyak cerita lucu. Ada orang yang tersandung kulit pisang, ada yang salah masuk kamar mandi, dan ada juga negara yang sudah berpuluh tahun mengeluh tentang korupsi tapi tetap saja korup. Indonesia, misalnya, naik tiga poin dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK), dari 34 ke 37 menurut rilis terbaru Transparency International.

Naik, katanya. Korupsi teruuus. Tapi jika dibandingkan dengan 2015 yang ada di angka 36, ini ibarat seseorang yang naik satu anak tangga dalam satu dekade, lalu mengumumkan ke seluruh dunia bahwa dirinya sedang mendaki gunung. Sementara itu, Denmark terus bercokol di puncak dengan skor 90, membuktikan bahwa membersihkan birokrasi bukan sekadar mimpi, melainkan keputusan politik yang serius.

Korupsi di Indonesia bukan sekadar tindakan, melainkan budaya —bahkan seni. Ketika saya mengatakan bahwa korupsi itu budaya dan seni, bukan berarti saya menganggapnya patut dibanggakan. Sebaliknya, saya ingin menyoroti betapa mengakarnya korupsi dalam berbagai aspek kehidupan, hingga ia tidak lagi dianggap sebagai penyimpangan, tetapi justru sesuatu yang “wajar” dan “lumrah.”

Budaya dalam konteks ini berarti kebiasaan yang terus-menerus dilakukan hingga menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Korupsi telah begitu lama bercokol di berbagai lini —dari pejabat tinggi hingga birokrasi paling bawah— sehingga banyak orang tidak lagi melihatnya sebagai masalah moral, melainkan sebagai “cara hidup.”

Contohnya, dalam administrasi publik, membayar “uang rokok” agar layanan lebih cepat dianggap biasa saja. Dalam dunia bisnis, memberi “salam tempel” kepada pejabat agar proyek berjalan lancar dianggap bagian dari strategi. Bahkan dalam pendidikan, suap untuk masuk sekolah atau universitas favorit bukanlah hal yang mengejutkan.

Yang lebih mengkhawatirkan, budaya ini diwariskan dari generasi ke generasi. Anak-anak tumbuh dengan melihat orang tua mereka “menyelesaikan masalah” dengan uang pelicin, mahasiswa diajarkan bahwa lulus bisa dengan “jalan pintas,” dan pegawai negeri baru memahami bahwa “sistem sudah berjalan seperti ini sejak dulu.”

Baca juga :   Indonesia Sekarat, karena Sistem atau Pemimpin? SBY vs Jokowi, dan Ahok vs Anies (Bagian I)

Akhirnya, korupsi menjadi bagian dari ekosistem sosial yang sulit diubah karena telah dianggap normal.

Di sisi lain, korupsi di Indonesia juga telah berkembang menjadi seni. Para koruptor tidak lagi sekadar mencuri uang negara, tetapi melakukannya dengan teknik yang semakin canggih dan sulit dideteksi. Jika dulu praktik korupsi klasik seperti mark-up anggaran masih lazim, kini skemanya lebih rumit.

Praktek korupsi terus berkembang dalam pola dan modelnya. Mulai dari pengadaan fiktif, pencucian uang lewat yayasan, investasi bodong berkedok bisnis sosial, hingga penyalahgunaan dana hibah dengan prosedur yang tampak sah secara hukum.

Ada pula istilah “korupsi berjamaah”, di mana satu proyek melibatkan banyak orang dari berbagai level agar semua diam dan saling melindungi. Jika satu orang tertangkap, ia tidak berani membongkar yang lain karena semua terlibat dalam skema yang sama.

Tak hanya itu, dalam seni korupsi, ada juga permainan opini publik. Para pejabat yang tertangkap sering kali menggunakan narasi “dizalimi,” “kriminalisasi,” atau bahkan membangun citra sebagai korban kepentingan politik.” Ada yang menangis di depan kamera, ada yang tiba-tiba rajin beribadah di penjara, dan ada pula yang setelah bebas malah maju lagi dalam pemilu.

Korupsi tumbuh subur di ruang-ruang kekuasaan, kantor pengusaha, birokrasi, dan berbuah manis di rekening luar negeri. Dalam sistem yang lebih mirip kerajaan ketimbang demokrasi, pejabat diperlakukan bak bangsawan, rakyat seperti hamba, dan uang negara dianggap kas pribadi.

Baca juga :   IPO Pertamina Geothermal Energy (PGE) Rugikan Keuangan Negara

Tak heran jika hukum pun cenderung fleksibel —kadang tumpul ke atas, tajam ke bawah, tergantung siapa yang sedang berurusan dengan pasal-pasal yang seolah bisa diatur seperti menu restoran. Vonis korupsi telah menjadi permainan canggih yang melibatkan ahli hukum dan makelar pengadilan.

Politik yang mahal menjadi akar lain dari masalah ini. Kampanye bukan sekadar perjuangan, tetapi juga investasi. Tak sedikit yang mencalonkan diri dengan modal pinjaman, lalu berusaha “balik modal” begitu terpilih.

Di sinilah kita melihat bahwa korupsi bukan sekadar keserakahan pribadi, tetapi juga akibat sistem yang mengharuskan pejabat mencari jalan untuk menutup lubang finansial yang diciptakan sejak awal.

Di sisi lain, ruang publik untuk mengawasi kekuasaan semakin sempit. Kritik terhadap pejabat sering kali dianggap ancaman ketimbang masukan. Pers yang terlalu kritis bisa dibungkam, dan demonstrasi yang menuntut transparansi dianggap gangguan ketertiban. Jika rakyat tidak bisa bertanya ke mana anggaran mengalir tanpa takut ditangkap, maka itu bukan demokrasi, melainkan sandiwara.

Namun, haruskah kita menyerah? Tidak, tentu saja. Sejarah menunjukkan bahwa korupsi bisa dikalahkan. Lihat saja daftar Indeks Persepsi Korupsi Transparency International: banyak negara berhasil menekan korupsi hingga ke level rendah.

Misalnya, Singapura. Di tahun 1960-an, negara kecil ini masih penuh dengan praktik suap, pungli, dan penggelapan anggaran. Namun, mereka berbenah. Dengan kebijakan tegas —membentuk lembaga antikorupsi yang benar-benar independen, memberi gaji tinggi untuk pegawai negeri agar tak tergoda suap, serta menjatuhkan hukuman berat bagi pelaku—Singapura berhasil membersihkan birokrasi dan kini memiliki IPK 84.

Contoh lain datang dari Georgia, negara kecil di Eropa yang dulu terkenal dengan polisi dan birokrasi yang korup. Namun, di awal 2000-an, pemerintah mengambil langkah radikal: memecat seluruh polisi lalu lintas yang sering menerima suap.

Baca juga :   Memperkuat Aspek Ketatanegaraan dan Urgensi Utusan Golongan di MPR

Mereka juga mereformasi sistem pelayanan publik dengan digitalisasi penuh dan menerapkan transparansi anggaran yang ketat. Hasilnya, dalam waktu kurang dari satu dekade, korupsi yang dulu dianggap mustahil diberantas pun nyaris lenyap.

Jika negara-negara lain bisa, mengapa Indonesia tidak?

Tentu, itu tidak mudah. Pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan menangkap satu atau dua pejabat, tetapi harus dilakukan dengan perubahan sistemik, edukasi sejak dini, dan keberanian politik untuk menghancurkan “budaya korupsi” yang telah mengakar.

Reformasi politik harus dilakukan dengan serius. Biaya politik yang tinggi harus ditekan agar jabatan publik tidak lagi dianggap sebagai “modal usaha.” Lembaga penegak hukum harus benar-benar independen, bukan sekadar alat politik. Pendidikan moral sejak dini juga harus diperkuat agar generasi mendatang tidak menganggap korupsi sebagai sesuatu yang normal.

Namun, perubahan ini hanya bisa terjadi jika ada kemauan politik yang nyata. Jika pejabat masih lebih sibuk mengatur strategi bertahan di kekuasaan daripada memikirkan integritas, maka jangan heran jika sepuluh tahun lagi kita kembali merayakan kenaikan satu poin dalam indeks korupsi, sambil tetap berkutat dalam lingkaran yang sama.

Pada akhirnya, naik tiga poin memang lebih baik daripada turun, tetapi bukan itu yang kita butuhkan. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk melakukan perubahan sistemik, bukan sekadar mencatat angka dan berharap masalah ini akan hilang dengan sendirinya. Jika tidak, kita hanya akan terus menyaksikan komedi gelap ini berulang —sama cerita, hanya wajah pelaku yang berbeda. (*)

Ahmadie Thaha;
Penulis adalah Jurnalis Senior, Pemerhati Sosial Keagamaan.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *