Kontroversi Langkah Politik Gibran

  • Bagikan

ADA ketidakpatutan yang dilakukan putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dalam langkah politknya.  Dia yang statusnya masih walikota Solo dari PDI-P, kini maju menjadi calon wakil presiden yang berseberangan dengan partainya itu.

Untuk Pemilu Presiden 2024, PDI-P  mengusung pasangan calon Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Sedangkan Gibran menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto. Karena Gibran menjadi cawapres Prabowo, logika sederhananya, Jokowi akan mendukung putranya itu. Padahal, Jokowi dan Gibran sama-sama pernah dibesarkan PDI-Perjuangan.

Memang, dalam politik, ada adagium/pepatah: tidak ada teman dan lawan abadi. Yang ada hanya kepentingan abadi. Dalam batas-batas tertentu, mungkin adagium itu bisa dibenarkan. Bisa ditoleransi. Tetapi, mestinya, ungkapan bijak wong Jowo: ‘’Ngono yo ngono ning ojo ngono’’ perlu diugemi (dipedomani) oleh siapapun. Apalagi, jika terkait urusan publik.

Gibran mengawali karir politiknya dengan mengikuti  pemilihan walikota Solo 2020. Saat itu, PDI Perjuangan Kota Solo sudah menetapkan pasangan Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa (bakal calon walikota dan wakil walikota). Bagi PDI-P Solo, pasangan calon itu sudah final. Itu hasil penjaringan calon dari desa, kecamatan, hingga cabang.

Kemudian, seperti diungkapkan Panda Nababan (tokoh senior PDI-P), Jokowi menemui Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri. Pak Lurah meminta agar anak sulungnya, Gibran, bisa menggantikan Achmad Purnomo. (Republika.co.id//12 oktober 2023). Akhirnya, Megawati menggunakan hak prerogatifnya di partai, menerima Gibran sebagai calon walikota.

Baca juga :   Akhir Bulan Suci Ramadan dan Perayaan Hari Raya Idul Fitri di California, USA

Singkat cerita, pemilihan walikota Solo dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Gibran berpasangan dengan Teguh Prakosa bersaing dengan calon dari jalur independen: Bagyo Suparjo dan Fransiskus Xaverius. Dalam persaingan yang sangat njomplang, pasangan Gibran-Teguh menang telak atas pasangan Bagyo-Fransiskus.

Gibran tiba-tiba masuk, atau dimasukkan, sebagai calon walikta Solo saat itu, mengundang kritik banyak orang. Mereka menganggap itu tidak patut. Mereka menganggap Pakde Jokowi ikut cawe-cawe demi anak sulungnya itu. Logika sederhananya, tidak mungkin Gibran bisa tiba-tiba mendapatkan karpet merah dari Megawati jika bukan karena dia anak presiden. Tidak mungkin Megawati tiba-tiba mau menggunakan hak prerogatifnya menerima Gibran jika bukan karena ada cawe-cawe ala Lurah Jokowi.

Ketidakpatutan Gibran saat ini terulang. Juga, terkait erat dengan jabatan politik. Gibran yang kini baru berusia 36 tahun, kini dia maju, atau dimajukan, sebagai calon wakil presiden. Dia mendampingi calon presiden Prabowo Subianto. Padahal, menurut aturan yang asli, sebelum disulap Mahkamah Konstitusi (MK), paling rendah usia capres-cawapres adalah 40 tahun. Titik.

Ketidakpatutan Gibran kali ini tidak kalah seriusnya dibanding sebelumnya. Apalagi, diduga, ketidakpatutan dalam pencawapresan Gibran ini melibatkan beberapa pihak. Pihak-pihak ini sampai tega melakukan langkah-langkah di luar nalar sehat demi memuluskan langkah Gibran untuk menjadi cawapres. Misal, MK yang diketuai adik ipar Jokowi, atau paman ipar Gibran. Juga, beberapa partai senior, plus tokoh-tokoh politik senior yang ikut membukakan gerbang masuk Gibran sebagai cawapres.

Baca juga :   Prabowo-Ganjar dalam Penggembalaan Politik Kekuasaan Jokowi, Pemilu Berpotensi Curang

Usia Gibran yang saat ini baru 36 tahun, mestinya tidak memenuhi syarat untuk dicawapreskan. Tetapi, diduga, karena di MK ada pamannya, MK membuat putusan yang bisa dijadikan pintu masuk bagi Gibran. Pintu masuknya tidak lewat usia. Tetapi lewat pengalaman Gibran yang sedang/pernah menjadi kepala daerah.  Putusan MK itu saat ini masih terus diperdebatkan banyak pihak. MK kini diplesetkan menjadi Mahkamah Keluarga.

Jika langkah politik Gibran dirunut mulai dari Solo hingga sekarang ini memang banyak ketidakpantasannya. Dulu, tiba-tiba, dia bisa dicalonkan PDI-P menjadi walikota Solo. Dia diberi kartu tanda anggota (KTA) PDI-P. Hingga kini, Gibran belum mengembalikan KTA-nya itu kepada PDI-P.

Dalam posisi apakah Gibran masih kader PDI-P atau tidak, tiba-tiba ada partai senior memasukkan Gibran sebagai kader mudanya. Partai ini kemudian mengusulkan Gibran sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto. Padahal, itu partai besar sejak di zaman Orde Baru, yang di dalamnya banyak tokoh-tokoh politik nasional. Sangat senior. Tapi mereka mundhuk-mundhuk, dan sedhiko dawuh kepada Mas Gibran, putra sulung Jokowi..

Baca juga :   Ingin Bubarkan DPR? Ya, Revolusi...

Langkah politik Gibran dari walikota Solo hingga menjadi cawapres itulah yang saya anggap sebagai ketidakpatutan dalam berpolitik. Terlepas apakah semua itu dilakukan sendiri oleh Gibran sebagai aktor sekaligus sebagai sutradaranya. Ataukah, dia hanya sebagai pemeran yang harus mengikuti skenario bikinan sutradara besar di belakangnya.

Menurut saya, aktor ataupun sutradara dalam langkah politik Gibran sudah melanggar asas-asas kepatutan. Istilah orang Jawa, Gibran dapat dikatakan sebagai tinggal gelanggan colong playu (lari begitu saja meninggalkan lapangan tanpa pamit) dari PDI-P. Dia meninggalkan Solo. Padahal, dulu, PDI-P dan Megawati tiwas banyak berkorban demi Gibran.

Yaa… Begitulah langkah politik Gibran. Mungkin saja itu wujud dari cawe-cawe-nya Pakde Jokowi. Mudah-mudahan, kita semua, bangsa Indonesia, terutama politisi di negeri ini, tidak punya semangat meniru langkah politik Gibran, maupun cawe-cawe politik ala Pakde Jokowi. Cukup sekali ini terjadi di negeri ini… (*)

Mundzar Fahman;
Penulis adalah Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (Unugiri) Bojonegoro, Jawa Timur.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *