Klaim Sah, Demokrat Deli Serdang Minta AD/ART Tahun 2020 Dibatalkan

  • Bagikan
BENDERA KEBESARAN: Partai Demokrat kini dalam polemik. Kubu AHY dan kubu Moeldoko. Kubu Moeldoko mengklaim PD KLB Deli Serdang yang paling sah.

INDOSatu.co – JAKARTA – Sidang lanjutan gugatan Perkara Nomor 150/G/2021/PTUN.JKT di PTUN Jakarta atas penolakan Menkum dan HAM terhadap permohonan pengesahan perubahan AD/ART serta Kepengurusan Partai Demokrat Hasil Kongres Luar Biasa di Deli Serdang, DPP Demokrat kubu Moeldoko, menghadirkan 3 saksi ahli. Mereka adalah Ahmad Redi (Kepala Program Studi Sarjana Hukum dan Dosen Hukum Tata Negara Universitas Tarumanagara Jakarta); Suparji (Ketua Senat Akademik Universitas Al Azhar Indonesia dan Ketua Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia); serta Gatot Dwi Hendro Wibowo (Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Negeri Mataram).

Sedangkan Partai Demokrat kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menghadirkan dua saksi ahli. Mereka adalah Gerald Pieter Runtuthomas dan Jansen Sitindaon.

Saksi ahli dari PD kubu Moeldoko, Ahmad Redi, dalam keterangan di persidangan menyampaikan, bahwa Menkum dan HAM memiliki kewenangan atribusi untuk menyelenggarakan urusan legislasi partai politik sesuai UU Parpol. Dalam rezim administrasi negara, jika ditarik UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, bahwa setiap Badan atau Pejabat Admistrasi Tata Usaha Negara dalam menegeluarkan keputusan atau tindakan harus berbasis pada dua hal, yaitu peraturan perundang-undangan dan asas umum pemerintahan yang baik, dalam hal pendaftaran partai politik harus berdasarkan UU Parpol.

Selain itu, kata Redi, peraturan teknis, yaitu Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 34 tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Pendirian Badan Hukum, Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta Perubahan Kepengurusan Partai Politik. Karena produk yang dikeluarkan Kemenkum dan HAM, dalam menerima atau menolak adalah dengan surat keputusan (SK). Maka, tidak bisa Menkum dan HAM menjadikan batu uji pendaftaran parpol berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Politik. Sebab, dalam UU 30 tahun 2014, UU Parpol, dan Permenkum dan HAM 34 tahun 2017 tidak menjadi dasar.

Bahwa, fakta dalam surat penyampaian jawaban atas permohonan pendaftaran perubahan AD/ART dan perubahan susunan kepengurusan DPP Partai Demokrat periode 2021-2025 yang diterbitkan oleh Menkum dan HAM tertanggal 19 Maret 2021, Menkum dan HAM meminta kepada DPP Partai Demokrat hasil KLB Deli Serdang untuk dapat melengkapi dokumen Kongres Luar Biasa (KLB) yang dilaksanakan di Kabupaten Deli Serdang. Namun, dalam surat tersebut tidak jelas item-item apa saja yang harus dilengkapi. Padahal, suluruh syarat yang sudah pemohon ajukan sesuai yang di persyaratkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM 34 tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Pendirian Badan Hukum, Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta Perubahan Kepengurusan Partai Politik, hal ini menurut ahli, Menkum dan HAM harus clear and clear, data apa saja yang harus dilengkapi, sehingga tidak membingungkan pemohon atau warga negara. Hal itu jelas melanggar asas kepastian serta asas umum permerintahan yang baik.

Baca juga :   Dituding Bagi Duit dan Ponsel, Rahmad: Itu Fitnah dan Bohong

Harusnya, kata Redi, ketika berkas permohonan yang diajukan sudah sesuai yang dipersyaratkan Permenkum dan HAM 34 Tahun 2017, berkas permohonan pemohon idealnya diterima dan di tindak lanjuti dengan terbitnya SK serta menerima permohonan pemohon.

Tidak bisa, kata Redi, Badan atau Pejabat Admistrasi Tata Usaha Negara menguji kebenaran permohonan pemohon karena kewenangan itu tidak diberikan oleh UU Parpol maupun Permenkumham 34 Tahun 2017. Sebab, kewenangan pengujian kebenaran hasil KLB Deli Serdang sudah didelegasikan kepada notaris sebagai pejabat yang diberikan kewenangan oleh perundang-undangan.

Contoh misalnya, ungkap Redi, ketika ada warga negara telah mendapatkan izin Amdal untuk mengajukan izin usaha. Tidak bisa kemudian pejabat atau badan tata usaha negara masih memeriksa lagi kebenaran apakah izin Amdal sudah susuai dengan perundang-undangan tentang baku mutu air, lalu menolak permohonan warga negara tersebut. Hal itu jelas melampaui kewenangan yang dimiliki, bahkan bisa dikategorikan menyalahgunakan jabatan. Hal itu berbeda dengan pendaftaran partai politik baru. Dalam UU Parpol, diberikan kewenangan selain verifikasi berkas persyaratan diberikan, juga kewenangan penelitian dan pengujian kebenaran atas syarat permohonan.

Sementara, dalam permohonan perubahan AD/ART dan kepengurusan, partai politik hanya diberikan kewenangan verifikasi admistrasi saja. Verifikasi itu bahasa ceklis, kalau ada ceklis yang dipersyaratkan, ya harusnya permohonan pemohon itu diterima dan ditindaklanjuti dengan terbitnya Surat Keputusan (SK).

Bahwa fakta, dalam surat penolakan permohanan pemohon oleh Menkum dan HAM tertanggal 31 Maret 2021, yang menjadi objek sengketa sekarang di PTUN Jakarta, dalam poin pertama, Kementerian Menteri Hukum dan HAM telah melakukan pemeriksaan dan atau verifikasi tentang seluruh dokumen yang disampaikan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan dan AD/ART Partai Demokrat. Ahli menerangkan, bahwa Badan atau pejabat Admistrasi Tata Usaha Negara dalam hal ini Menkum dan HAM telah keliru mengunakan AD/ART Partai Demokrat sebagai batu uji dalam menolak permohonan pengesahan kepengurusan Partai Demokrat jasil KLB Deli Serdang. Hal ini telah melanggar asas umum pemerintahan yang baik serta melampaui kewenangan yang diberikan oleh UU Parpol dan Permenkum dan HAM 34 Tahun 2017.

Baca juga :   Gugatan Pendukung Moeldoko Kembali Ditolak, Mehbob: Kado Akhir Tahun

Bahwa terkait Mahkamah Partai (MP), yang mana, yang memiliki kewenangan menerbitkan bebas sengketa, ahli menerankan bahwa mahkamah yang berwenang menerbitkan surat bebas sengketa adalah mahkamah hasil kongres terakhir, bukan mahkamah yang terdaftar di Kemenkum dan HAM. Karena kepengurusan serta Mahkamah Partai yang terdaftar di Kemenekum dan HAM sudah didemisionerkan dalam forum tertinggi partai, yaitu Kongres atau KLB. Karena, bebas sengketa yang dimaksud adalah surat bebas sengketa, apakah ada peserta pemilik suara sah dalam kongres itu, yang keberatan atas hasil KLB, dan jelas di dalam Permenkum dan HAM 34 Tahun 2017 tidak disebutkan bahwa Mahkamah Partai yang berwenang menerbitkan surat keterangan bebas sengketa adalah mahkamah partai yang terdaftar di Kemenkum dan HAM. Jadi, tidak boleh ada penafsiran lain, selain apa yang dimaksud.

Sedangkan ahli Associate, Suparji, menerangkan bahwa AD/ART partai merupakan hasil kesepakatan. Dengan demikian, harus memenuhi syarat sahnya sebuah kesepakatan, sebagaimana diatur Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak, serta adanya objek perjanjian. Sebab, yang halal, dalam hal sebuah kesepakatan, tidak memenuhi syarat sah, yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak, adanya objek perjanjian, maka kesepakatan dapat diajukan pembatalan di pengadilan. Sementara, jika tidak memenuhi sebab yang halal, maka kesepakatan tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum atau dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan. Jadi, ketika AD/ART partai Demokrat 2020 isinya bertentangan dengan undang-undang, maka dapat dinyatakan batal demi hukum atau dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan.

Baca juga :   Bamsoet Serahkan Naskah Akademik PP Penggunaan Senjata Api Non TNI-Polri ke Kemenkumham

Lebih Lanjut, menurut keterangan ahli, karena AD/ART tahun 2020 dianggap dapat batal demi hukum atau dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan, maka upaya koreksi atau perbaikan AD/ART Partai Demokrat di KLB yang berdasar hukum. Dengan demikian, pelaksanaan KLB sudah sesuai ketentuan yang berlaku.

Ahli juga menerangkan, Mahkamah Partai yang berwenang menerbitkan surat bebas sengkata adalah mahkamah partai yang dilahirkan oleh KLB terakhir, bukan Mahkamah Partai yang terdaftar di Kemenkumham. Karena, mahkamah yang terdaftar sudah di demisionerkan dalam forum KLB. Bagaimana mungkin seseorang yang sudah didemisionerkan diberi kewenangan melakukan tindakan hukum.

Bahwa terkait legal standing pengugat, menurut keterangan ahli, pengugat masih memiliki legal standing karena pengugat masih menjabat sebagai anggota DPR RI, perwakilan Partai Demokrat. Apalagi secara hukum, pemecatan yang bersangkutan belum ada keputusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Bahkan faktanya, atas pemecatan yang dilakukan terhadap yang bersangkutan, sudah di kembalikan hak-haknya sebagai anggota partai Demokrat di dalam KLB Deli Serdang. Jadi, secara fakta hukum, pengugat masih memiliki legal standing.

Sementara itu, ahli ketiga yang dihadirkan pengugat DPP Demokrat kubu Moeldoko, yaitu  Gatot Dwi Hendro Wibowo belum bisa diambil keterangannya secara virtual. Penyebabnya, jaringan internet di PTUN Jakarta sedang ada masalah. Sehingga, Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Negeri Mataram itu belum bisa diambil keteranganya. Sidang pengambilan keterangan ahli ditunda dan akan dilanjutkan Selasa, (19/10).

Sementara, kedua saksi yang dihadirkan Partai Demokrat kubu AHY, yakni Gerald Pieter Runtuthomas dan Jansen Sitindaon, hanya kubu kuasa hukum kubu AHY sendiri yang mengajukan pertanyaan. Sementara itu, baik tergugat, dalam hal ini Kemenkum dan HAM, majelis hakim, dan Kuasa Hukum Pengugat DPP Demokrat kubu Moeldoko, tidak mengajukan pertanyaan karena kesaksian yang diberikan oleh kedua saksi yang dihadirkan dinilai tidak membicarakan isu hukum terkait objek sengketa
di PTUN Jakarta. Itu artinya, kesaksian yang dihadirkan kubu AHY dihadirkan sendiiri, di tanya sendiri, dan disimpulkan sendiri (dari mereka oleh mereka, dan untuk mereka). (adi/red)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *