Kambing Hitam Itu Bernama Demokrasi

  • Bagikan

PASCA reformasi, sejumlah kalangan mendakwa demokrasi bertanggung jawab atas segala sengkarut di Indonesia. Terlebih, di era Jokowi yang represif dan korup (malevolent authoritarianism), Indonesia mengalami berbagai kemerosotan, mulai dari lesunya pertumbuhan ekonomi, meluasnya korupsi, kemiskinan dan ketimpangan yang makin dalam, meroketnya utang negara, meningkatnya ketegangan sosial, hingga stagnasi pembangunan manusia dan anjloknya tingkat kebahagiaan.

Sebagian kelompok anti-demokrasi meyakini demokrasi tidak cocok diterapkan di Indonesia yang kental dengan semangat kekeluargaan, mentalitas feodal dan budaya paternalistik.

Mereka terobsesi masa lalu. Kubu Soekarnois merindukan demokrasi terpimpin ala Soekarno. Sementara, kelompok Soehartois membayangkan kembalinya rezim otoriter versi Soeharto, yang dianggap berhasil membangun ekonomi dan menjamin stabilitas politik selama tiga dekade dengan pendekatan keamanan.

Sebagian lagi ingin kembali ke UUD 45 yang asli. Alasannya, konstitusi versi amandemen era reformasi menjadi sumber segala masalah Indonesia saat ini. Pemilu langsung, misalnya, dianggap tidak saja berhaluan liberal dan bertentangan dengan asas musyawarah mufakat, tetapi juga menjadi ajang transaksi politik dan jual beli suara.

Ada lagi elemen lain yaitu, para simpatisan dan advokat Hixbut Tahrir Indonesia (HTI), yang menghukumi demokrasi sebagai sistem kufur, dengan berbagai dalil dan dalih. Pada saat yang sama, mereka menawarkan sistem khilafah sebagai penggantinya. Kelompok dogmatis ini tersandera “kejayaan” dinasti Islam masa lalu, yang dalam sejarahnya, mengalami pasang surut, dan akhirnya tumbang, terutama akibat pembusukan politik dari dalam.

Baca juga :   Sidang PHPU Pilpres 2024 di MK, Kesaksian Menkeu Tidak Tepat (Bagian-2)

Seluruh argumen politik HTI berujung pada sistem otokrasi absolut yang bertentangan secara diametral dengan susbtansi dan hikmah di balik doktrin tauhid Islam yang meniscayakan kesetaraan di antara sesama manusia. Belum lagi menyebut dinamika landskap sosial politik dunia Islam dengan segala keberagaman tafsir atas ajaran Islam, terutama menyangkut politik kekuasaan, keberagaman identitas negara bangsa, dan yang tidak kalah pentingnya problem benturan kepentingan ekonomi politik di kalangan umat Islam.

Terlepas dari pro-kontra gagasan dan usulan alternatif tersebut, semua penilaian negatif tentang demokrasi didasarkan pada bukti empiris terbatas dan sporadis, tanpa penelusuran jejak substansial sistem politik ini secara luas dan dalam.

Faktanya, di tengah defisit kepercayaan terhadap demokrasi sekalipun, kelompok negara demokrasi tetap unggul telak dalam berbagai dimensi pembangunan dibandingkan negara-negara non-demokrasi.

Sebut saja Norwegia, Denmark, Swedia, Canada, Australia, Selandia Baru, Jepang, Korea Selatan, dan Costa Rica, berada di peringkat tinggi dan sangat tinggi dalam tingkat kesejahteraan ekonomi, indeks pembangunan manusia, indeks kebahagian, dan indeks persepsi korupsi. Sementara tingkat kemiskinan dan ketimpangan di negara-negara ini tercatat cukup rendah, bahkan sangat rendah. Kota-kota paling layak huni dan paling aman di dunia juga berada negara-negara demokrasi (EIU, 2021).

Baca juga :   ’Premanisme’: Perpres Iuran Pariwisata Langgar Konstitusi

Di sisi lain, dengan sedikit pengecualian, seperti Singapura, China, Rusia, Arab Saudi, dan beberapa negara teluk lainnya, rezim non-demokrasi mendominasi posisi rendah dan terendah dalam berbagai indeks tersebut. Tidak sedikit diantaranya dilanda kelaparan kronis, kemiskinan dan ketimpangan akut, disertai konflik horizontal dan vertikal tak berkesudahan. Bahkan masuk dalam perangkap negara gagal.

Selain itu, tidak ada jaminan jika prestasi ekonomi dan kesejahteraan sosial segelintir negara non-demokrasi akan bertahan lama. Dan yang pasti, mereka mengabaikan kebebasan politik, aspek maha penting dan asasi dari kemanusiaan.

Indonesia sendiri selama tujuh tahun terakhir di bawah pemerintahan Jokowi secara simultan mengalami pembusukan demokrasi dan kemunduran multi-dimensi. Tertinggal dalam banyak hal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Timor Leste, yang bergerak ke arah pendulum demokrasi.

Artinya, secara simptomatis, pergeseran Indonesia ke arah otoritarianisme korup berhubungan dengan kerusakan di berbagai bidang, baik langsung maupun tidak langsung. Fenomena ini sejalan dengan hipotesis Amartya Sen, bahwa kebebasan atau ketidakbebasan yang satu mempengaruhi kebebasan atau ketidakbebasan yang lain.

Baca juga :   Golkar Harus Tegur atau Pecat Ridwan Kamil

Dengan kata lain, anti-demokrasi, dalam wujud otoritarianisme korup rezim Jokowi, yang bertanggungjawab atas segala sengkarut yang mendera bangsa Indonesia saat ini. Bukan demokrasi!

Rezim anti demokrasi Jokowi disesaki oleh para politikus busuk haus uang dan kekuasaan, buzzer, kelompok pluralis represif dan kaum hiper-nasionalis. Dua kelompok terakhir ini berlindung di balik rezim dan para oligark membusuki demokrasi dari dalam, dengan mengeksploitasi narasi politik identitas.

Selain gagal dalam menelusuri kondisi objektif demokrasi versus non-demokrasi, kelompok anti demokrasi hanya melihat demokrasi sebatas “ritus prosedural”, yang identik dengan pemilu lima tahunan.

Padahal, pemilu hanyalah serpihan kecil dari narasi besar demokrasi, yang atributnya bukan saja soal kekuasaan mayoritas. Partisipasi masyarakat, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebhinekaan, kebebasan multidimensi, kedaulatan rakyat, arus informasi bebas, persamaan di depan hukum, transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, seluruhnya merupakan “bahan baku” demokrasi.

Abdurrahman Syebubakar;
Penulis adalah Ketua Dewan Pengurus Institute for Democracy Education
Majelis Habaib Progresif

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *