Jokowi Terus Bayangi Prabowo, Dekan Fisipol UMW Yogya: Birokrasi Tidak Efektif

  • Bagikan
SULIT TERPISAH: Mantan Presiden Joko Widoso (kanan) dan Menhan Prabowo Subianto dalam suatu kegiatan di Istana Negara ketika keduanya masih resmi di jabatan masinf-masing. (foto BPMI Setpres)

INDOSatu.co – YOGYAKARTA – Hampir 60 hari Prabowo Subianto menjadi Presiden, hingga kini belum sepenuhnya menunjukkan performance maupun stabilitas yang diharapkan publik. Prabowo masih berada dalam pengaruh mantan presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pengamat Politik Dr. Martadani Noor, MA, mengatakan, Prabowo tidak mengambil langkah tegas dari bayang-bayang Jokowi, bukan karena balas budi yang turut membantunya memenangi Pilpres 2024.

“Ini bukan soal balas budi, tetapi lebih pada pertarungan kekuatan politik. Parlemen saat ini masih berada di bawah koordinasi mantan presiden. PDIP, misalnya, belum sepenuhnya mendukung parlemen Prabowo,” jelas Martadani kepada wartawan pada Rabu (18/12).

Baca juga :   Soal Donasi Rp 2 Triliun, Mabes Periksa Kapolda Sumsel

Menurut Martandani, kekuatan Prabowo di parlemen hanya didukung oleh Partai Gerindra. Di sisi lain, Jokowi meski bukan orang partai, namun tetap memiliki pengaruh besar di parlemen.

“Jokowi ini bukan orang partai, ya secara de facto memang begitu, tapi dia punya kekuatan atau kunci-kunci yang dipegang oleh mantan presiden,” ujarnya.

Misalnya di KPK, siapa yang menguasai sekarang, Prabowo atau mantan presiden? Isu yang berkembang, KPK yang baru ini berada di bawah kendali atau jaringan mantan presiden.

Baca juga :   Agar Tak Merugi, Wakil Ketua FPKS Minta Pertamina Evaluasi Model Usaha Pertashop

“Praktis, hanya Gerindra di belakang Prabowo. Selebihnya, partai-partai seperti Golkar dan PAN masih menunjukkan loyalitas kepada mantan presiden. Jadi, secara riil, Prabowo belum bisa menguasai parlemen,” paparnya.

Dekan Fisipol Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta ini mengungkapkan, seperti timbangan, situasinya belum seimbang terhadap genuinitas Prabowo, karena ternyata kekuatan atau pengaruh mantan presiden masih sangat kuat. Pengaruh tersebut terlihat pada institusi seperti kepolisian, sebagian TNI, intelijen, bahkan di KPK.

Dengan kondisi ini, kata dia, Jokowi masih dominan dalam banyak aspek. Bisa dibayangkan, setelah dilantik, presiden harus datang ke mantan presiden. Secara etika dan normatif, ini tidak lazim. Bahkan MPR pun sowan ke Solo.

Baca juga :   MUI Tolak Penarikan Pajak Judi Online, Cholil Nafis: Logika yang Tidak Nyambung

”Hal seperti ini bukan sekadar seremonial kenegaraan, tapi ada agenda di baliknya,” katanya.

“Realitasnya adalah permainan politik, siapa menguasai siapa. Siapa di bawah kendali kekuatan siapa. Itu jelas sekali,” tegasnya.

Dia mengungkapkan, kondisi ini menjadi tantangan besar bagi pemerintahan Prabowo Subianto. Konflik kekuasaan ini memengaruhi efektivitas birokrasi, pengelolaan anggaran, hingga implementasi visi dan misi presiden. “Pemerintahan ini masih diwarnai tarik-menarik kekuatan,” kata Martadani. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *