Jokowi Pastikan Presiden Boleh Kampanye dan Memihak, HNW: Tidak Punya Keteladanan

  • Bagikan
TIMBULKAN DISHARMONI: Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid merespon statemen Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang mengusulan kantor KUA untuk menikahkan semua pemeluk agama.

INDOSatu.co – JAKARTA – Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid, (HNW) mengkritisi pernyataan Presiden Joko Widodo terkait dengan statemen bahwa presiden boleh kampanye dan memihak dalam pemilu. Menurut HNW, munculnya pernyataan itu bisa menimbulkan abuse of power, dan tidak ada jaminan etika keteladanan bernegara.

HNW menyampaikan memang ada ketentuan UU yang sekilas bisa dijadikan rujukan, tapi HNW juga mengingatkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang jelas dan tegas mengatur soal pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode.

“Diakhir masa jabatan maksimalnya pada periode ke dua, maka Presiden yang bukan hanya kepala pemerintahan tapi juga kepala negara, seharusnya juga mementingkan legacy, keteladanan dan etika sebagai Presiden dengan tidak perlu cawe-cawe sekalipun melalui orang lain, yang esensinya sama, yaitu ‘memperpanjang masa jabatannya,” kata HNW melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (24/1).

Apalagi, kata HNW, bila ‘orang lain’ itu adalah anggota keluarganya sendiri. Hal itu juga merupakan bentuk nepotisme yang ditolak oleh Reformasi dan menjadi ketentuan yang tidak sesuai dengan Konstitusi, sehingga harusnya dihindari oleh Presiden, agar tidak berpotensi dimakzulkan oleh DPR,

Baca juga :   Sikapi Pilpres 2024, Yenny Wahid: Jangan sampai Publik Salah Memilih Pemimpin. 

“Pembatasan dua periode masa jabatan Presiden ini merupakan ketentuan yang membedakan dengan jabatan-jabatan kenegaraan lainnya,” tambah Wakil Ketua Dewan Syura DPP PKS itu.

Ketentuan Pasal 7 UUD NRI 1945 itu-lah yang seharusnya menjadi acuan dalam menafsirkan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu). HNW mengakui memang Pasal 299 UU Pemilu memberikan hak kepada presiden dan wakil presiden untuk berkampanye, dengan berbagai persyaratannya. Namun, yang perlu ditekankan dalam memahami ketentuan itu adalah untuk ‘berkampanye’, bukan untuk memihak kepada salah satu calon.

HNW menegaskan apalagi bila UU Pemilu dibaca secara utuh, setelah Pasal 299, ada Pasal 301 yang menegaskan bahwa ‘Presiden atau Wakil Presiden yang telah ditetapkan secara resmi oleh KPU sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden dalam melaksanakan Kampanye Pemilu Presiden atau Wakil Presiden memperhatikan pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagai presiden atau wakil presiden.

Baca juga :   Syahganda Anggap Punya Kans Besar, Anies Nyatakan Siap Maju Jika Dicalonkan

“Ketentuan itu jelas mengatur kampanye Presiden ketika yang bersangkutan maju kembali secara salah satu capres, bukan untuk yang sudah berada pada periode kedua yang tidak memungkinkan untuk mencalonkan kembali sebagai calon Presiden,” ujar alumni Ponpes Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur itu.

HNW juga menyinggung kembali soal sumpah jabatan yang diucapkan Presiden Jokowi yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa Presiden bersumpah untuk menjalankan tugasnya sebagai Presiden dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya dan memegang teguh Undang-Undang Dasar 45, dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan-peraturan dengan selurus-lurusnya…”.

“Akan sangat baik dan menjadi legacy kenegarawanan Presiden Jokowi bila sumpah jabatan ini dipegang teguh, dan dijalankan dengan benar, sehingga Presiden bisa menahan diri sehingga terhindar dari berlaku tidak netral dengan berpihak kepada salah satu pasangan calon,” tambahnya.

Baca juga :   Intan Jaya Terus Bergejolak, Filep Menduga Konflik Masih Seputar Perebutan SDA

Apalagi lanjut HNW, Presiden Jokowi sebelumnya berkali-kali menegaskan bahwa aparat negara harus netral dalam Pemilu 2024. Bahkan mengancam akan menghukum ASN yang tidak netral.

“Sebelumnya Presiden Jokowi sebutkan aparat negara harus netral, tetapi sekarang dirinya menyatakan bahwa bahkan Presiden bisa berpihak. Tentu ini akan berpihak, yang mudah diartikan sebagai akan cawe-cawe dengan laku ikut berkampanye untuk satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, dan karenanya tidak netral. Bagaimana mungkin ASN disuruh netral dan akan diberikan sanksi bila tidak netral, sementara Presiden sendiri justru mencontohkan ketidaknetralan,” beber politisi asal Pramabanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah itu.

“Tentu akan lebih bagus untuk Presiden dan kepercayaan Rakyat terhadap pimpinan Negara, Pemilu dan legitimasi hasilnya, bila aturan ditegakkan secara komprehensif dan adil, dan Presiden Jokowi sebagai pimpinan negara menjadi teladan dalam melaksanakan etika dan aturan perundangan pada keseluruhannya, bukan hanya pada sebagiannya saja,” pungkas HNW. (adi/red)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *