Jadi Pondasi Utama, Haedar Ingatkan Urgensi Rekonstruksi Tauhid dalam Beragama

  • Bagikan
PENTINGNYA TAUHID: Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir saat menghadiri Pengajian Ramadan 1445 Hijriyah yang dihadiri seluruh dosen dan seluruh pejabat struktural Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

INDOSatu.co – YOGYAKARTA – Tauhid menjadi pondasi penting (utama) yang mendasari kehidupan dasar bagi umat Islam dalam beragama. Dalam perkembangannya, tauhid mengalami penyempitan makna, di mana umat Islam seringkali membatasi tauhid hanya dalam lingkup ketuhanan atau hubungan manusia dengan Allah.

Perlunya rekonstruksi tauhid tersebut disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir, Haedar mengatakan bahwa, konsep ketuhanan dalam agama Islam tidak selalu terkait dengan teosentrik dan dogmatik, namun juga menggabungkan tiga paradigma, yaitu iman, ilmu dan amal.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Haedar kepada seluruh dosen dan seluruh pejabat struktural Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam Pengajian Ramadan 1445 H pada Senin (25/3) sore. Ia mengungkapkan bahwa, kondisi di masyarakat saat ini yang menempatkan tauhid hanya untuk menjalin hubungan dengan Allah, belum mengamalkan tauhid secara utuh.

Baca juga :   Bangkitkan Ekonomi Umat, Erick: Tumbuhkan Muslim Leaderpreneur

“Dalam pandangan Islam berkemajuan, Muhammadiyah berupaya untuk memperkaya kembali pemaknaan bahwa tauhid tidak hanya berbicara mengenai hubungan manusia dengan Allah. Namun juga hubungan antar sesama manusia. Ada banyak ayat Alquran dan riwayat hadits yang menjelaskan mengenai hubungan manusia dengan sesama. Hal ini dikarenakan manusia memiliki kecenderungan kepada egoisme dan individualisme,” ungkap Haedar.

Haedar juga berpesan, bahwa salah satu ujian bagi manusia dalam bertauhid bukan sekadar ia sadar untuk bertuhan. Namun juga sadar untuk menjalin hubungan yang baik dengan manusia lain.

Baca juga :   Sambangi Ponpes Al-Khairaat, Fadel Muhammad Beri Tips Sukses Kepada Para Santri

Islam, menurut Haedar adalah agama yang seimbang dalam semua aspek kehidupan dan umat Islam tidak dianjurkan untuk merasa paling benar dalam beragama dan melupakan dunia. Karena sejatinya tauhid mengajarkan umat Islam untuk bersikap peduli terhadap kemanusiaan dan lingkungan.

“Jika ingin menjadikan tauhid sebagai konsep yang direkonstruksi, jadikanlah tauhid sebagai bagian dari proses perubahan diri menjadi lebih baik, terutama dalam momen bulan Ramadan tahun ini. Akan ada tiga pengaruh terhadap orang yang bertauhid tinggi, diantaranya merasa dirinya diawasi Allah, senantiasa mengintrospeksi diri, dan bersungguh-sungguh dalam menjalani hidup,” imbuhnya.

Guru besar UMY di bidang Ilmu Sosiologi ini menambahkan bahwa, proses tersebut yang harus menjadi tujuan dalam bertauhid, dan tidak mengarah kepada perasaan paling benar sendiri dalam beragama.

Baca juga :   Sidang Pleno I Selesai, Haedar: Muhammadiyah Bergerak dalam Koridor Berkemajuan

Tauhid, menurut Haedar juga akan menjadikan seseorang tidak sewenang-wenang dalam menjalani hidup sebagai bentuk pembebasan dari segala belenggu. Hal tersebut jugalah yang mendasari bahwa Islam sebagai agama yang emansipatoris atau yang membebaskan.

“Dengan kembali pada makna tauhid yang sesungguhnya maka umat Islam di masa sekarang dapat membangun kehidupan yang lebih berkeadaban, termasuk dalam hal kecerdasan, kemajuan dan lebih bermartabat. Maka, momentum bulan puasa harus dimanfaatkan untuk memperhalus hati melalui pengendalian emosi, sekaligus mempertajam pikiran melalui pemilahan informasi agar tetap kritis,” pungkas Haedar. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *