SETELAH Hasto Kristyanto, Sekjen dan Orang PDIP tidak menjawab pertanyaan saya di Twitter bahwa, ”Kalau Hasto bilang Anies politik identitas karena agamanya Islam, maka saya mau bertanya dan menguji kecerdasan Hasto dan orang PDIP. PDIP selalu mendukung Capres dari pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah, apakah itu bukan politik identitas? Silakan jawab!”.
Menarik, karena ada komen di twitter, PDIP memilih Capres berdasarkan perilaku dan kinerja. Apakah perilaku Capres PDIP yang menyatakan suka nonton bokep tanpa punya perasaan, termasuk perasaan istrinya? Atau perilaku orang yang dipersidangan terungkap namanya dalam kasus e-KTP? Atau kinerja capres ketika membawa Jawa Tengah menjadi provinsi termiskin di Indonesia?
Lebih tepat, jika partai pengusung politik identitas PDIP mengaca Indonesia secara umum. Dengan demikian, akan terbuka cakrawala berpikir bahwa Indonesia bukan hanya Jawa, Sumatera atau Kalimantan. Ketika orang Papua di Jawa, maka mereka akan menjadi minoritas. Begitu jga orang Jawa di Bali, juga tetap sebagai minoritas dan sebagainya. Itulah Indonesia minoritas”.
Saya ingin membonsai cakrawala berpikir Hasto dan orang PDIP agar lebih dewasa dalam berpolitik kekinian bangsa. Bangsa Indonesia diambang nadir, titik dimana akal dan naluri penyelenggara negara tersandera.
Negara Indonesia secara faktual telah dibonsai, Presiden sebagai simbol negara ikut merendahkan wibawa negara, turun dari Bizantium hanya sekedar memenuhi keinginan kelompok sipil intoleran, kelompok radikal, ekstrimis dan eksklusif yang naif dan partikelir suku.
Para penegak hukum mengikuti kemauan elit, hukum tidak menyertai opini publik dan mengabaikan asas keadilan (fair trail dan due proces of law). Tindak tanduk pemimpin negeri ini sangat kontras dengan tentang adagium Bhinneka Tunggal Ika sebagai salah satu tiang penyangga (pilar) berdirinya negara dan bangsa Indonesia. Selama ini mereka berkoar-koar belaka.
Ironi memang, Pancasila sebagai landasan pijak bangsa (norma dasar) mulai terusik. Tuhan mulai dipertentangkan antara sentrum utama kekuasaan dan sumber moral, kemanusiaan terasa tidak adab dan tidak adil, persatuan terkungkung dalam polarisasi SARA, permusyawaratan dimonopoli komunitas mayoritas berlindung pada dalil dan jargon “One men, One Vote, and One Value” di negeri yang penduduknya tidak seimbang, keadilan yang kontradiktif tanpa disertai distribusi kekuasaan yang merata, (no distribution of justice without distribution of power).
Pertanyaannya, dimana posisi dan keberadaan bagi komunitas minoritas di negeri ini? Apakah harus menjadi budak belian dan babu? Sungguh disayangkan, ketika sekelompok elit memimpin dengan defile dan berparade menampilkan simbol dan panji panji kekuatan, muncul sebagai monster leviathan, ibarat novel Y.B. Mangunwijaya “ikan ikan hiu, ido oma” novel trilogi perjuangan di perairan Ambon dan Laut Bandanaira, budak belian di kekuasaan imperium Belanda.
Negara memiliki kewajiban untuk memastikan adanya jaminan kehidupan dan perlindungan seluruh rakyatnya, negara memilik daya paksa untuk taat dan tunduk pada simbol-simbol negara bangsa, negara memiliki kewajiban untuk memastikan hukum berjalan tanpa diskriminasi, dan juga negara memiliki kewajiban untuk mewujudkan kepastian hidup seluruh rakyat secara adil dan merata. Namun, Jokowi dan PDIP gagal melaksanakannya.
PDIP mesti tahu, bahwa bangsa ini tidak pernah diperjuangkan oleh satu suku, satu agama. Laksamana Malahayati berjuang di Aceh, Sisingamangaraja di tanah Batak, Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, Sultan Hasanuddin di Makasar, Kapitan Pattimura di Ambon.
Demikian pula, ada 7 pahlawan keturunan China, ada Baswedan dari keturunan Arab, pahlawan beragama Katolik dari Jawa Tengah, Slamet Riyadi, Adi Sutjipto, Adi Sumarmo, Yos Sudarso, I.J. Kasimo dll, yang merintis kemerdekaan ini semua suku bangsa dan agama.
Mereka ini keturunan rakyat jelata, bukan darah biru, sebagian besar raja-raja di Nusantara juga tidak pernah berjuang kemerdekaan Indonesia. Mereka hanya sebagai pemungut cukai, kaki tangan dan anak emas kolonial dalam sejarahnya. Hanya ada 1 orang Raja yang diesksekusi mati oleh Belanda, yaitu Raja Ende Lio di Flores, Wangge di eksekusi di Kupang, namun hari ini kesultanan Yogyakarta, Kesunanan Solo dan Darah Biru di Jawa mengklaim negeri ini milik mereka, itu yang tidak pas!.
Indonesia 77 tahun bagi sebuah negara seharusnya sudah cukup untuk bisa membangun negara bangsa (character and nation buillding). Kalau pemimpin negeri ini, Presiden, MPR, DPR dan pengelola negara tidak mampu memastikan adanya jaminan kehidupan dan eksistensi politik komunitas minoritas dengan berpedoman pada simbol-simbol negara bangsa yang ada saat ini, maka saya mengusulkan PDIP dibubarkan.
Saya mengusulkan bangunan Dasar Negara disesuaikan kondisi kekinian bangsa:
1. Pancasila tidak mesti dijadikan sebagai azas tunggal karena semua komunitas bangsa ini memiliki Azaz yang berbeda-beda. Ada yang berazas agama, ada yang berazas budaya, ada yang berazaz kepribadian suku dan bangsa di nusantara. Sudah saatnya membuka wacana (diskursus) Tuhan sebagai sumber kekuasaan atau sumber moral adalah hal yang mudah diperbincangkan, termasuk tuntutan akan adanya piagam Jakarta dan juga piagam Madinah.
Kemanusiaan yang adil dan beradab, istilah “adil dan beradab” itu kata kerja bukan kata sifat, sehingga tidak tepat dimasukan sebagai falsafah hidup (filosofiche groundslack). Persatuan Indonesia tercerai-berai dalam sektarianime dan etnisisitas, adalah fakta sosial yang tidak bisa ditutupi atau disembunyikan bahwa ada Islamophobia, Kristenphobia, Papuaphobia, Jawaphobia, Baliphobia sudah mulai tumbuh kembang dan menjamur dimana-mana.
Persoalan permusyawaratan, sistem pemilu sekarang promosional terbuka adalah sistem winers takes all, pemenang ambil semua, itu tidak tidak tepat. Hal itu berkaca karena adanya fakta, bahwa bangsa kita persebaran penduduknya yang tidak seimbang. Jawa masih dominan dari suku lain, maka bukan tidak mungkin presiden melalui pemilihan dan juga legislatif pasti didominasi oleh mayoritas di negeri ini. Ini yang namanya kekuasaan berpusat pada satu suku yang cenderung didrive oleh PDIP.
Problem saat ini adalah kurangnya distribusi kekuasaan (distribution of power) yang berdampak pada distribusi keadilan (distribution of justice), maka ada benarnya jika keadilan hanya berpusat pada sekelompok oligarki politik juga ekonomi pada PDIP dan kelompok pemenangnya.
2. NKRI. NKRI itu hanya sebuah bentuk bangunan negara bangsa, bentuk negara ini sama dan ibarat nomenklatur yang termasuk bangunan sosial, bangunan sosial bersifat dinamis bukan statis dan kaku, sebagaimana sistem sosial yang selalu berubah, NKRI itu juga bisa berubah. Sangat ironis, negara kesatuan itu dibentuk dengan luas wilayahnya kecil, negara kontinental (daratan), penduduknya homogen, dan kekuasaan terpusat.
Kalau bangsa kita jelas bahwa wilayah negara ini terlalu luas, negara maritim, penduduk heterogen, dan pemerintahan demokratis. Inilah yang namanya contradictio in terminus. Sudah saatnya kita harus formulasikan ulang tentang NKRI dengan bentuk negara Federasi atau Serikat. Bangsa Aceh bisa mengatur dan mengurus diri sendiri, Sumatera Utara, Kalimantan, Sulawesi dan Bali, NTT dan lain-lain.
3. UUD 1945. Sebagai landasan konstitusional tidak dapat diterapkan dan tidak relevan lagi dengan kondisi kekinian bangsa Indonesia. Kalau kita cermati sebagai landasan konstitusional tidak mampu menjadi pijakan para pembuat undang undang, berbagai pasal di batang tubuh yang bertentangan dengan berbagai peraturan perundangan yang dihasilkan saat ini.
Selain adanya gugatan sekelompok orang yang dituduh makar yang ingin agar kata “asli” dihidupkan kembali juga adanya undang-undang yang bertentangan misalnya hukuman mati, sesuai dengan pasal 28 huruf i UUD 1945 menyatakan pengakuan hak hidup, namun dalam UU KUHP masih menerapkan hukuman mati, demikian pula UUD juga tidak statis, kita telah memiliki pengalaman amandemen UUD 1945.
Sudah saatnya UUD 1945 dilakukan perubahan secara radikal untuk mengakomodasi agar adanya kepastian kepentingan golongan minoritas dalam eksistensi Republik ini. Seperti Presiden bergilir atau Wapres 2 orang.
4. Bhinneka Tunggal Ika. Ini hanya dimaknai secara simbolik, tetapi tidak substansial. Pengakuan keanekaragaman secara simbolik tidak disertai dengan kebijakan yang berbhinneka, ketika Presiden menunjuk menteri 28 orang dari 34 di antara berasal dari 1 suku, yaitu Jawa. Maka, sejatinya tidak melaksanakan atau mewujudkan bangsa pelangi atau Bhinneka.
Bhineka berarti bangsa pelangi. Karena itu, tidak tepat kalau disebut Ika atau Tunggul. Pengakuan secara faktual bahwa, kita berbangsa yang multi etnik dan multi minoritas adalah sesuatu ada (being). Kenyataan hari ini menjadi saksi betapa bangunan kebhinekaan bangsa rapuh, bahkan nyaris runtuh. Saatnya mesti belajar mengakui adanya fakta bangsa ini memang berbeda-beda.
Semua riuh dan riak-riak bangsa ini tidak jatuh dari langit. Ada akar historisnya dan ironisnya persoalan-persoalan ini muncul ketika bangsa ini memilih seorang kepala negara yang lemah, namun disuruh mengelola negara besar yang diliputi kompleksitas persoalan.
Ini juga buah dari sistem pemilih berbasis penduduk yang tidak relevan, One men, one vote dan one value, yang menempatkan seorang tukang bisa saja bisa menjadi Presiden karena suara mereka mayoritas. Jangan heran juga, jika kita telah melihat seorang Wali Kota muncul bak meteor, bisa menjadi Presiden karena suara dari mayoritas. Kita juga akan menyaksikan terus panggung sandiwara Politik Identitas dan Suku ala PDIP. (*)
Natalius Pigai;
Penulis adalah Kritikus dan Aktivis Kemanusiaan, Anggota Komnas HAM Republik Indonesia periode 2012-2017.