INDUSTRI gula Nasional terbagi menjadi dua sektor: Gula Kristal Putih untuk konsumsi masyarakat dan Gula Kristal Rafinasi untuk bahan baku industri pengolahan makanan dan minuman. Gula Kristal Putih diproduksi oleh Perusahaan Gula (PG), menggunakan bahan baku tebu yang berasal dari perkebunan tebu nasional. Gula Kristal Rafinasi diproduksi oleh Perusahaan Gula Rafinasi (PGR), menggunakan bahan baku Gula Kristal Mentah yang sepenuhnya berasal dari impor.
Selain itu, Perusahaan Gula Rafinasi juga bisa memproduksi Gula Kristal Putih dari bahan baku Gula Kristal Mentah, yang berasal dari impor. Karena proses pemurnian Gula Kristal Putih lebih mudah dan lebih pendek dari Gula Kristal Rafinasi.
Regulasi Industri Gula Nasional: Mengatur Tata Niaga Gula Kristal Putih
Regulasi industri gula di Indonesia pada intinya mengatur tata niaga Gula Kristal Putih, untuk melindungi petani tebu di satu sisi dan konsumen masyarakat di lain sisi. Hal ini dilakukan dengan menjaga harga Gula Kristal Putih agar tidak terlalu tinggi dan tidak membebani masyarakat, serta tidak terlalu rendah agar tidak membebani petani tebu, karena pendapatannya akan anjlok. Menjaga keseimbangan harga pada gilirannya dilakukan dengan menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan Gula Kristal Putih.
Permintaan (konsumsi) Gula Kristal Putih dapat diperkirakan cukup akurat. Tetapi, pasokan Gula Kristal Putih cukup fluktuatif. Karena produksi Gula Kristal Putih dari tebu fluktuatif, dipengarui hasil panen tebu dan cuaca, dan rendemen produksi tebu menjadi Gula Kristal Putih.
Defisit Gula Kristal Putih 2015
Pasokan produksi Gula Kristal Putih dari tebu selama ini tidak bisa mencukupi kebutuhan konsumsi, sehingga terjadi defisit Gula Kristal Putih yang besarnya juga fluktuatif, tergantung hasil produksi. Defisit Gula Kristal Putih pada 2015 diperkirakan mencapai 360 ribu ton, dengan konsumsi 2,89 juta ton, dan produksi 2,53 juta ton.
Pernyataan Sekretaris Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Achmad Widjaja, yang dimuat di situs Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Timur pada 19 Mei 2015, membuka fakta bahwa persediaan Gula Kristal Putih ketika itu sangat memprihatinkan, hanya tersisa 325.765 ton pada Mei 2015, tidak cukup memenuhi konsumsi menjelang lebaran (17/7/2015) yang mencapai 400.000 ton, sehingga dikhawatirkan akan terjadi kelangkaan gula pasca lebaran, seperti dikatakan Achmad Widjaja: “Bila pemerintah tidak mengantisipasi kondisi ini, maka stok gula nasional setelah lebaran akan kosong.”
Pernyataan Achmad Widjaja dan fakta lapangan ini sekaligus menyangkal pernyataan Kejaksaan Agung, dan Rapat Koordinasi 12 Mei 2015, bahwa akan ada surplus Gula Kristal Putih pada 2015.
Tata Niaga Gula Kristal Putih: Mengatur Impor Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Mentah
Defisit Gula Kristal Putih bisa ditutupi dari dua sumber. Pertama, dari impor barang-jadi Gula Kristal Putih. Kedua, melalui produksi di dalam negeri, dengan mengolah Gula Kristal Mentah yang berasal dari impor menjadi Gula Kristal Putih, di perusahaan gula rafinasi. Karena itu, pengendalian produksi Gula Kristal Putih dilakukan melalui pengendalian dan pembatasan impor Gula Kristal Mentah.
Artinya, regulasi tata niaga Industri Gula Indonesia pada intinya menjaga pasokan Gula Kristal Putih, dengan cara mengatur dan membatasi dua sumber pengadaan Gula Kristal Putih, yaitu membatasi impor barang-jadi Gula Kristal Putih dan bahan baku Gula Kristal Mentah, dengan cara mengatur perizinan impor.
Dasar Hukum Impor Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Mentah
Regulasi tata niaga impor gula sampai akhir Desember 2015 menggunakan peraturan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenperindag) Nomor 527 Tahun 2004, untuk mengatur dan membatasi impor Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Mentah.
Pertama, Gula Kristal Putih hanya dapat diimpor dalam kondisi tertentu, yaitu di luar masa musim giling tebu rakyat, atau ketika harga melonjak, atau kekurangan persediaan, ditentukan berdasarkan hasil rapat koordinasi antar Instansi/Lembaga dan Asosiasi Terkait: bukan Kementerian terkait.
Impor Gula Kristal Putih hanya bisa dilaksanakan oleh perusahaan yang sudah mendapat penunjukan sebagai Importir Terdaftar Gula (IT Gula). Dalam hal ini, tidak disebut secara eksplisit apakah IT Gula adalah BUMN atau swasta: jadi, bisa juga keduanya.
Frasa “hanya dapat diimpor” jelas bukan merupakan kewajiban. Frasa “Gula Kristal Putih hanya dapat diimpor apabila harga melonjak”, bukan berarti “apabila harga Gula Kristal Putih melonjak, wajib dilakukan impor Gula Kristal Putih”. Tidak seperti itu.
Karena tambahan pasokan Gula Kristal Putih juga bisa dipenuhi dari jalur produksi, dengan mengolah Gula Kristal Mentah menjadi Gula Kristal Putih di Perusahaan Gula Rafinasi.
Kedua, regulasi impor Gula Kristal Mentah lebih sederhana. Gula Kristal Mentah hanya dapat diimpor oleh perusahaan yang sudah mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen Gula, yang sekaligus berfungsi sebagai izin impor. Artinya, selama jumlah kuota impor Gula Kristal Mentah masih belum habis terpakai, maka IP Gula dapat melaksanakan impor kapan saja, tanpa perlu ada izin impor baru.
IP Gula hanya wajib menyampaikan laporan tertulis mengenai realisasi impor Gula Kristal Mentah setiap kali pelaksanaan impor, serta realisasi dan distribusi hasil produksi Gula Kristal Rafinasi dan Gula Kristal Putih, setiap enam bulan produksi. Peraturan Nomor 527 Tahun 2004 ini juga tidak menyebut “wajib ada rapat koordinasi” dalam pemberian izin impor Gula Kristal Mentah.
Impor Gula Kristal Putih versus Produksi Gula Kristal Putih di Dalam Negeri
Menambah pasokan Gula Kristal Putih melalui proses produksi dari Gula Kristal Mentah menjadi Gula Kristal Putih memberi manfaat besar bagi perekonomian nasional, karena meningkatkan nilai tambah dan pertumbuhan ekonomi, serta menghemat devisa negara.
Produksi Gula Kristal Putih memerlukan impor bahan baku Gula Kristal Mentah, yang harganya jauh lebih murah dibandingkan impor barang-jadi Gula Kristal Putih, sehingga menghemat devisa negara.
Sejalan dengan ini, tambahan pasokan Gula Kristal Putih untuk periode 2015-2017 ternyata dilakukan melalui proses produksi dari Gula Kristal Mentah menjadi Gula Kristal Putih. Bahkan, produksi Gula Kristal Putih tahun 2016 dan 2017 jauh lebih besar dari 2015, yang dapat dilihat dari data impor Gula Kristal Mentah yang khusus diberikan untuk produksi Gula Kristal Putih, masing-masing sebesar 105.000 ton (2015), 1,26 juta ton (2016), dan 1,01 juta ton (Sep 2017).
Data BPK ini menunjukkan, pengadaan Gula Kristal Putih nasional dari produksi di dalam negeri menjadi pilihan utama kementerian perdagangan, dibandingkan impor barang-jadi Gula Kristal Putih.
Kerjasama BUMN Perdagangan dan Pabrik Gula Rafinasi (Swasta): Sah dan Menguntungkan BUMN
Produksi Gula Kristal Putih di dalam negeri harus diawasi cukup ketat, agar tidak merembas ke konsumen masyarakat. Karena itu, pengadaan (produksi) Gula Kristal Putih harus melalui penugasan kepada BUMN perdagangan, bekerja sama dengan perusahaan gula rafinasi yang diberi tugas produksi. Kerja sama produksi seperti ini sangat normal dan lazim dilakukan banyak perusahaan di dunia, namanya maklon (maakloon), atau contract manufacturing, atau toll manufacturing.
Kerja sama BUMN dan perusahaan gula rafinasi (swasta) bahkan sangat diperlukan, untuk menjamin hasil produksi Gula Kristal Putih tersebut diserahkan kepada BUMN perdagangan yang mendapat tugas distribusi. Pendapat Kejaksaan Agung bahwa kerja sama BUMN perdagangan dan perusahaan gula rafinasi swasta telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 400 miliar. Hipotesis ini tidak benar, karena atas asumsi dan logika yang salah.
Pertama, BUMN perdagangan tidak mempunyai pabrik gula rafinasi, sehingga tidak bisa produksi Gula Kristal Mentah menjadi Gula Kristal Putih, dan karena itu tidak bisa mendapatkan marjin keuntungan produksi, dan karena itu tidak ada potensi marjin keuntungan yang hilang akibat kerja sama produksi dengan perusahaan gula rafinasi lainnya, termasuk swasta.
Kedua, harga Gula Kristal Putih hasil produksi di dalam negeri pada dasarnya lebih murah dibandingkan dengan harga impor barang-jadi Gula Kristal Putih, sehingga marjin keuntungan BUMN perdagangan seharusnya lebih besar.
Ketiga, keperluan modal kerja untuk impor Gula Kristal Putih jauh lebih besar, dan lebih lama, dibandingkan kerja sama produksi dengan Perusahaan Gula Rafinasi swasta. Karena, dalam hal ini, keperluan modal kerja dari pengadaan impor Gula Kristal Mentah, sampai produksi Gula Kristal Putih, menjadi tanggung jawab Perusahaan Gula Rafinasi swasta tersebut. Sehingga BUMN perdagangan hanya menanggung modal kerja dalam hitungan hari saja. Yaitu, selisih antara waktu penyerahan Gula Kristal Putih dari Perusahaan Gula Rafinasi kepada BUMN perdagangan, dengan waktu penyerahan barang dari BUMN perdagangan kepada pelanggan BUMN bersangkutan.
Tidak Ada Kerugian Keuangan Negara dalam Tata Niaga Impor Gula
Kerugian keuangan negara hanya dapat terjadi kalau Pengeluaran Negara lebih besar dari seharusnya, misalnya ada markup. Atau Penerimaan Negara lebih kecil dari seharusnya. Hal ini bisa (dan sering) terjadi dalam kasus penerimaan pajak dan bea cukai, atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Karena, pemberian izin impor gula sama sekali tidak ada hubungan dengan APBN, karena tidak ada pengeluaran negara dan tidak ada penerimaan negara dalam pemberian izin impor, sehingga dapat dipastikan tidak akan ada kerugian keuangan negara.
Bisa saja, pejabat negara menerima kompensasi atau uang suap, agar izin impor (atau ekspor) diberikan kepada pihak tertentu. Dalam kasus suap seperti ini, meskipun tidak ada kerugian keuangan negara, tetapi tindakan tersebut termasuk tindak pidana korupsi.
Tetapi, dalam kasus suap seperti itu harus dibuktikan adanya aliran dana suap, atau tangkap tangan. Artinya, selama tidak ada bukti aliran dana suap atau tangkap tangan, maka harus dianggap tidak ada kasus suap, dan karena itu tidak ada tindak pidana korupsi. Artinya, selama jaksa tidak bisa membuktikan ada aliran dana kepada Tom Lembong, maka berarti tidak ada tindak pidana korupsi. (*)
Prof. Anthony Budiawan;
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Alumni Doktoral (S3) Erasmus University, Rotterdam, Belanda.