Implikasi Mahalnya Biaya Caleg

  • Bagikan

BIAYA yang harus dikeluarkan calon anggota legislatif  (caleg) kini kian mahal. Banyak caleg sambat. Mereka habis ratusan juta rupiah. Tapi, gagal terpilih. Bahkan, ada yang harus  menguras duitnya  Rp 1 miliar lebih.

Mereka yang terpilih umumnya modalnya harus lebih besar lagi. Ada yang hingga Rp 2 miliar lebih.  Itu baru untuk caleg kabupaten/kota  (DPRD II). Sulit dibayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh caleg provinsi (DPRD I). Apalagi caleg pusat (DPR-RI). Menurut Fahri Hamzah, anggota kawakan DPR-Ri yang kini Wakil Ketua Umum DPP Partai Gelora, caleg DPR-RI butuh duit Rp 5-15 miliar. (merdeka.com//2023).

Mahalnya biaya caleg tersebut tentu bisa berimplikasi buruk pada kinerja wakil rakyat. Mereka tentu ingin modal pencalegannya bisa segera kembali. Bahkan, ingin untung besar untuk modal pencalegan pada pemilu berikutnya. Atau, untuk memperbesar pundi-pundi pribadi.

Untuk saat ini, gaji/honorarium wakil rakyat memang terbilang sangat besar. Apalagi jika dibanding dengan beban kerja mereka. Kerja mereka santai. Nyaris tidak ada beban kerja yang berat. Sidang bisa sambil main hape. Atau, sambil tidur. Wakil rakyat juga jarang ngantor.

Gaji anggota DPRD kabupaten/kota saat ini umumnya di kisaran Rp 40 juta per bulan. Atau, disesuaikan dengan besaran APBD masing-masing. Terutama, besaran PAD-nya. Gaji DPRD Provinsi, provinsi besar dan kaya seperti Jawa Timur, tentu gaji wakil rakyatnya jauh lebih besar lagi. Apalagi, DPRD DKI Jakarta, atau DPR-RI.

Baca juga :   Waspada Tipu-Tipu Koalisi Besar

Untuk ukuran pegawai/pekerja, gaji Rp 40 juta per bulan tentu sudah termasuk besar. Tetapi, untuk wakil rakyat, uang Rp 40 juta per bulan itu bisa saja dianggap masih sangat kecil. Terutama, jika diperbandingkan dengan biaya saat pencalonan.

Taruhlah gaji anggota DPRD II (bukan pimpinan) Rp 40 juta per bulan. Gaji itu dipotong 25 persen untuk partainya dan lain-lain. Berarti, tinggal Rp 30 juta per bulan. Setahun Rp 360 juta. Lima tahun berarti Rp 1,8 miliar. Di luar itu masih ada tunjangan perumahan dan kendaraan. Biaya pencalonan mulai dari awal hingga terpilih mencapai Rp  2 miliar atau lebih.

Yang patut dikhawatirkan, akibat saldo bulanan wakil rakyat dirasa masih kurang, mereka lalu mencari sumber lain penghasil saldo. Misal, memperbanyak kunjungan kerja ke luar kabupaten/kota, ataupun keluar provinsi.  Sangu untuk kunker, apalagi keluar provinsi, nilainya sangat besar. Hampir tiap pekan ada kunker. Ini pemborosan APBD. Warga sering mempertanyakan hasil/urgensi dari kunker tersebut.

Baca juga :   Audit Pesta Kawin Kaesang

Sumber lain yang juga patut dikhawatirkan adalah dimainkannya dana Jasmas (jaring aspirasi masyarakat). Salah satu contoh dana jasmas untuk anggota DPRD Jatim. Besarnya mencapai Rp 7,8 triliun, setara dengan APBD Bojonegoro tahun-tahun terakhir  ini. Di setiap DPRD ada anggaran untuk jasmas.

Menurut Deputi Penindakan KPK Karyoto, dana jasmas di DPRD Jatim tersebut bocor hingga 30 persen. KPK sudah melakukan OTT (operasi tangkap tangan) beberapa waktu lalu.  Seorang wakil ketua DPRD Jatim dan beberapa stafnya yang terlibat dalam permainan dana jasmas tersebut sudah diproses hukum. (harian disway, 16 desember 2022).

Nafsu wakil rakyat untuk bisa segera balik modal pencalonan sangat mudah membelokkan idealisme mereka. Apalagi jika ada nafsu ingin untung besar untuk pencalonan berikutnya. Atau, untuk menjadi OKB (orang kaya baru) di masyarakat. Idealisme mereka sebagai wakil rakyat menjadi runtuh.

Tetapi, harus diakui, tidak mudah untuk menurunkan biaya pencalegan. Karena biaya itu berkaitan juga dengan partai politik masing-masing caleg, berkaitan dengan para caleg, dan juga berkaitan dengan masyarakat pemilih.

Partai politik butuh biaya operasional. Partai berharap ada konstribusi materi dari kadernya di lembaga legislatif. Caleg harus keluar duit untuk biaya persaingan dengan caleg lain sesama partai, ataupun dengan lintas partai. Sementara masyarakat pemilih juga berharap mendapatkan sesuatu dari caleg. Ada unen-unen: gak ono duite yo gak budhal. Tidak ada duitnya ya tidak berangkat ke TPS (Tempat Pemungutan Suara).

Baca juga :   Ambyar, KIP Mencabut SK KPU Nomor 349/2024, Hasil Pemilu Bisa Buyar

Banyaknya caleg incumbent (petahana), bisa jadi juga ikut memicu naiknya harga suara pemiliih. Satu sisi, mereka berusaha keras untuk terplih lagi. Caleg lama akan malu jika dikalahkan caleg pendatang baru. Apalagi, caleg incumbent juga punya duit.

Pada sisi lain, caleg pendatang baru juga ingin menang. Mereka membayangkan, jika terpilih akan mendapatkan kedudukan yang  dianggapnya terhormat. Juga, akan mudah mendapatkan duit banyak dengan kerja santai, dan lebih banyak jalan-jalannya.

Caleg  lama maupun yang baru punya semangat yang sama. Podo ngototnya. Yaitu, semangat tidak mau kalah. Karena itu, mereka rela menggunakan berbagai jurus. Jurus utamanya adalah gede-gedean andum duit. Akhirnya, suara pemilih jadi mahal. Yaa begitulah realitasnya. Bagaimana pendapat Anda?

Mundzar Fahman;
Penulis adalah mantan wartawan Jawa Pos, Surabaya.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *