INDOSatu.co – YOGYAKARTA – Ambruknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di lantai Bursa Efek Jakarta (BEJ) mencapai angka 5 persen mencengangkan banyak kalangan, tak terkecuali para akademisi. Sebab, penurunan IHSG tersebut sangat signifikan dan banyak menimbulkan implikasi buruk bagi investor.
Bukan hanya itu. Penurunan IHSG itu juga menjadi penyebab penurunan peringkat saham Indonesia yang kini berada pada kategori market weight dari sebelumnya overweight.
Morgan Stanley Capital International (MSCI) pun mengurangi bobot saham Indonesia pada akhir tahun 2024, yang mulanya 2,2 persen menjadi 1,5 persen. Tentunya hal tersebut berpotensi untuk memengaruhi aliran modal internasional.
Menyikapi fenomena tersebut, Pakar Ekonomi yang juga Direktur International Program of Islamic and Economic Finance (IPIEF) UMY, Dimas Bagus Wiranatakusuma, M.Ec. Ph.D mengungkapkan, penurunan IHSG itu dapat memunculkan kepanikan terhadap investor karena adanya sentimen negatif yang muncul di pasar saham.
“Kondisi makro ekonomi di Indonesia tidak sesuai dengan harapan akibat kepanikan turunnya IHSG. Ditambah lagi adanya defisit penerimaan pajak yang turun sekitar 30 persen,” kata Dimas.
Disaat kondisi sedang karut marut, terbongkarnya banyak kasus korupsi yang terkuak belakangan ini sampai memunculkan isu menteri keuangan mundur. Hal tersebut memunculkan pertanyaan besar, apakah pasar modal Indonesia bisa survive atau tidak dengan munculnya peristiwa-peristiwa besar itu.
Dari sisi eksternal, kata Dimas, aliran modal, baik dari saham maupun obligasi turut berperan dalam menekan IHSG. Sementara fluktuasi mata uang rupiah juga menunjukkan keterkaitan yang erat dengan kinerja pasar saham Indonesia.
Seperti diketahui bahwa pasar modal merupakan sektor keuangan yang sangat signifikan dalam pembangunan di Indonesia. Karena itu, kata Dimas, banyak hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah, baik itu dalam jangka panjang maupun jangka pendek.
”Untuk langkah jangka pendek, saya berharap pemerintah dapat melakukan imbauan moral dengan memberikan pernyataan pro dengan pasar,” beber Dimas.
Bukan hanya itu. Pemerintah juga perlu segera melakukan transformasi fundamental pada sektor ekonomi dengan cara mengembalikan kesehatan fiskal melalui pemaksimalan penerimaan negara. Hal itu dapat dilakukan dengan mengurangi anggaran pengeluaran seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan memompa pajak untuk barang-barang mewah.
“Pemerintah juga perlu membangun sistem ekonomi yang terhubung dari hulu ke hilir, sehingga value dan pemasukan negara menjadi lebih tinggi,” kata Dimas.
Selain itu, pemerintah di bawah naungan Presiden Prabowo Subianto harus bisa memastikan kesembilan sektor ekonomi di Indonesia tidak berada pada keadaan defisit. Dengan kata lain, sembilan sektor ekonomi yang dihitung dalam pendapatan nasional PDB (Produk Domestik Bruto) harus memiliki pertumbuhan yang solid.
”Sesuai dengan target Presiden Indonesia ke-8 tentang adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 8 persen. Semua belum terlambat. Termasuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 8 persen seperti target Presiden Prabowo,” kata Dimas. (*)