Hati yang Sakit, antara Big Data dan Big Bullshits

  • Bagikan

JENIS penipuan dan tipu daya, baik yang off-line maupun on-line dengan berbagai cara mengunakan handphone sekarang sudah begitu marak dan menggurita di dunia ini, termasuk di Indonesia. Tipu menipu sepertinya sepertinya bukan menjadi budaya baru.

Orang sudah tidak lagi peduli, apakah itu perbuatan yang benar atau salah, asal dapat duit untuk memenuhi isi perut. Sepertinya orang sudah tidak lagi punya rasa malu menipu orang lain secara terbuka, bahkan mencuri secara terbukapun juga tidak lagi punya rasa malu, tidak lagi mempedulikan etika sosial, adab, dan nilai nilai luhur kehidupan.
Apalagi nilai-nilai luhur Konstitusi UUD 1945, asli hasil jerih payah dan jasa para leluhur pendiri bangsa. Kenapa orang tidak mau belajar dan malu sama semut.

Baca juga :   Hakim Konstitusi Langgar Konstitusi, Wajib Diberhentikan: DPR Segera Proses

Semut sebagai mahkluk yang begitu lemah dibanding kelebihan dan kehebatan manusia. Untuk bisa mencari makan sehari-hari, semut tak ubahnya seperti manusia, juga kerja keras menempuh perjalanan yang jauh dan sulit, tetapi semut tidak mudah menyerah.

Semut selalu mencari jalan keluar, untuk menemukan makanan yang dibutuhkan dan tidak menipu sesama semut. Bahkan mereka kerja sama gotong royong untuk bisa hidup bersama.

Kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok makan, minum, sandang dan pangan, haruskah manusia menipu sesama manusia, ngibul sana sini dan mencuri?

Tidak seharusnya manusia yang diciptakan dengan derajat paling tinggi dan paling sempurna itu, mengorbankan derajat dan akhlaknya, sehingga kalah dengan semut!.

Apa hebatnya seorang manusia yang memiliki kekayaan, jabatan, dan kesuksesan hidup dari hasil menipu sesama manusia dan mencuri milik orang lain?

Baca juga :   HUT PDI Perjuangan, Mega Sentil Jokowi

Kuncinya ada di ‘Hati’.

Ketika manusia terkena ‘penyakit hati’ yang tidak disadari, maka penyakit itu dipastikan akan sulit disembuhkan oleh siapapun, kecuali dirinya sendiri yang mengobati.

Darimana kita tahu bahwa manusia itu terkena penyakit hati? Mudah saja cara mendeteksinya. Ketika ada pejabat negara yang ingin merekayasa Konstitusi UUD 1945 untuk mengundur Pemilu 2024 dengan tujuan mempanjang jabatan dengan pamer Big Data, itu patut diduga mengidap penyakit. Mengapa? Karena mengubah konstitusi tidak perlu menggunakan big data yang diambil dari media sosial.

Ketika ada pejabat negara yang suka bikin janji-janji kepada publik tanpa punya rasa malu, ketika janji-janji itu tidak dipenuhi, malah ingin ngibul terus. Ketika ada pejabat negara dan oligarchs yang kongkalikong berusaha mengakali UU untuk ngibuli publik guna merampok uang APBN rakyat, aset bangsa dan sumber daya alam (SDA) daerah. Itu pertanda mengidap penyakit hati.

Baca juga :   Jadi Cawapres Kontroversi, Gibran Digugat

Manusia menderita ‘penyakit hati’ ketika; Tidak lagi peduli dengan mana yang benar dan mana yang salah. Tidak peduli antara ngibul atau pura-pura jujur. Tidak lagi peduli itu milik kita atau milik orang lain. Tidak lagi peduli dengan etika, adab, nilai-nilai agama, nilai-nilai sosial, dan nilai-nilai luhur kehidupan (virtues).

Chris Komari;
Penulis adalah Aktivis Demokrasi, lahir di Jawa Timur, sekarang tinggal di Kota Bay Point, Contra Costa County, California, USA

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *