Hanya Energi Nuklir yang Bisa Percepat Pertumbuhan Ekonomi

  • Bagikan

SEBAGAI dampak dari kecelakaan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima, Jepang tahun 2011, Kebijakan Energi Nasional (KEN) atas dasar PP Nomor 79 Tahun 2014 telah menempatkan Energi Nuklir sebagai opsi terakhir. Untuk diketahui, bahwa PLTN Fukushima menggunakan teknologi dan desain PLTN Generasi ke-2.

Teknologi energi nuklir terus berkembang. Saat ini sudah mencapai Generasi ke-4, yang jauh lebih aman dan lebih murah dari generasi sebelumnya. Para ahli nuklir dunia menjamin, bahwa dengan Teknologi Generasi ke-4, baik yang berbasis uranium (small modular reactor/SMR) maupun yang berbasis thorium (molten salt reactor/MSR), kecelakaan seperti yang menimpa PLTN Chernobyl (PLTN Generasi pertama) dan yang menimpa PLTN Fukushima (PLTN Generasi kedua) tidak akan terjadi lagi.

Selain PLTN generasi ke-4 lebih aman, juga biaya produksi listriknya (levelized cost of elecrticity) lebih murah dari PLTN generasi sebelumnya dan juga lebih murah dari PLTU batubara yang justru menghasilkan banyak emisi karbon, pollutants SOx, NOx, dan debu, termasuk debu mercuri.

Rendahnya biaya produksi listrik dari PLTN, selain karena teknologinya yang lebih canggih, masa pembangunannya juga lebih singkat. Itu terjadi karena sifat alami dari energi nuklir yang non-intermitten. Bisa nyala 24 jam non-stop dengan capacity factor yang sangat tinggi mendekati 100 persen.

Berbeda dengan Energi Terbarukan (ET). Dengan capacity factor sekitar 30 – 40 persen, karena bersifat intermitten seperti Energi Surya yang harus istirahat di malam hari, dan di saat mendung serta hujan di siang hari.

PLTN juga berbeda dengan Energi Angin yang secara alamiah anginnya bertiup angin-anginan, yang rata-rata sekitar 30 persen dalam waktu 24 jam. Sehingga, kincir anginnya lebih banyak momot meco (diam tidak bergerak sama sekali).

Baca juga :   Masih Banyak yang Bingung, Netralitas ASN Itu Seperti Apa? (Bagian-1)

Kebijakan energi yang mutakhir seperti yang digariskan Kementerian ESDM terakhir ini, merencanakan energi nuklir (PLTN) baru akan masuk ke grid transmisi PLN pada tahun 2049. Berarti 27 tahun dari sekarang atau sekitar satu abad (100 tahun) sejak Presiden Pertama RI bercita-cita membangun PLTN pada tahun 1950-an.

Presiden Soekarno mempunyai visi jauh ke depan agar kelak RI bisa memanfaatkan energi nuklir untuk tujuan damai, seperti semboyan dunia di era tahun 1950-an ‘Atom for Peace’. Yakni memanfaatkan energi nuklir dengan membangun PLTN untuk tujuan mensejahterakan masyarakat. Bukan untuk membuat bom atom.

Realisasi dari cita-cita dan mimpi Presiden Soekarno, kemudian pemerintah mulai menyiapkan SDM-nya dengan membuka program studi Nuklir di ITB dan UGM. Membangun kelembagaannya dengan membentuk BATAN kemudian Bapeten. Dipayungi dengan UU Ketenaganukliran Nomor 10 Tahun 1997. Sayangnya, hingga hari ini tidak ada satu bijipun PLTN yang dibangun, yang bisa dinikmati listriknya oleh rakyat. Ini tentu menyedihkan.

Sabagai bangsa besar, kita mestinya malu pada dunia. Kok bisa hal seperti ini terjadi. Padahal Proklamatornya sudah mencita-citakannya dan sudah mengambil langkah-langkah nyata, persiapan yang sangat rasional dengan menyiapkan SDM, Kelembagaan, dan Undang-undangnya juga sudah dibuat.

Di tingkat dunia, kita ketahui sudah sekitar 30 negara industri maju yang sudah membangun dan memanfaatkan PLTN sejak tahun 1950-an dan terbukti energi nuklir berhasil ikut mendorong kenaikan pendapatan dan kemakmuran rakyatnya. Mulai dari Rusia, Amerika, Perancis, Jepang, Korea, Inggris, Canada, Belanda, Swedia, China dan negara lainnya.

Menurut pendapat saya, tahun 2049 sebagai target yang diumumkan oleh Pemerintah saat ini,– bahwa Indonesia baru akan mulai menggunakan listrik dari energi nuklir, adalah terlalu lama.
Terkesan masih secara konsisten dan juga masih tetap terbawa oleh predikat energi nuklir sebagai “opsi terakhir”.

Baca juga :   Acungan Jempol dan Surprize Attack Hamas

Padahal, situasi dunia sudah berubah. Dunia sudah sadar bahwa penggunaan energi kotor dari fosil penghasil emisi karbon harus dikurangi dan dihilangkan secara bertahap melalui tahapan masa transisi energi.

Tidak mungkin negara sebesar Indonesia dengan penduduk hampir 300 juta dengan luas wilayah mirip seluas Eropa atau seluas Amerika Serikat, kemudian hanya mengandalkan energi bersih bebas emisi karbon yang hanya berasal dari Energi Terbarukan (ET) saja, yang bersifat intermitten. Sementara teknologi energi nuklir saat ini sudah sangat maju.

Sekaranglah waktu yang tepat untuk mendorong, mempercepat, dan mempermudah terbangunnya PLTN di Tanah Air. Membuka pintu lebar dan mempermudah proses investasi, baik dari investor dalam negeri (BUMN, swasta) maupun investor dari luar negeri. Meski harus lewat tahapan-tahapan uji teknologi, pembangunan pilot project non komersial dan izin operasi untuk PLTN komersial, yang tentunya tidak sampai butuh waktu lama lebih dari 20 tahun. Sehingga, PLTN Generasi ke-4 komersial bisa mulai dimanfaatkan sebagai pengganti PLTU batubara di masa transisi energi. Terlebih DPR RI dan Pemerintah sudah meratifikasi Paris Agreement on Climate Change pada tahun 2016 menjadi UU Nomor 16 Tahun 2016.

Secara objektif scientific dan rational, negara kita membutuhkan pembangkit listrik bersih bebas emisi karbon, berbiaya murah, aman dan bersifat non-intermitten. Maksudnya, agar kegiatan industri skala rumah tangga, skala kecil, menengah, dan skala besar, yang merubah bahan baku menjadi produk perantara dan produk final bisa berjalan beroperasi 24 jam dengan dukungan supply listrik yang handal.

Jika listrik bersih tersedia dengan baseload yang kuat dan bisa nyala 24 jam, maka potensi pengembangan industri terintegrasi hulu-hilir berbasis sumbar daya alam lokal, akan bisa lahir di seluruh Tanah Air.

Baca juga :   Tidak Ada Oposisi? Ya Komunis, Dong

Negeri ini kaya SDA mineral, SDA perikanan, lobster, peternakan, perkebunan, keindahan alam, aneka macam budaya dan kuliner yang semuanya bisa dikembangkan untuk melahirkan industri terintegrasi berbasis sumber daya lokal menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru.

Kebijakan energi dan rencana pembangunan pembangkit listrik yang tepat, khususnya kebijakan dan rencana pemanfaatan energi nuklir akan sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di masa depan dan produknya akan bisa diterima dan bersaing di pasar dunia.

Hindari kebijakan energi yang bisa menjebak pertumbuhan ekonomi yang hanya bisa tumbuh muter-muter di angka sekitar 5 persen. Kemudian diikuti oleh konsumsi listrik per kapita yang masih sangat rendah.

Setelah lebih 70 tahun merdeka, konsumsi listrik hanya sekitar 1000 kwh/kapita. Atau saat ini hanya sekitar seperempatnya Malaysia, sepertiganya Thailand dan hanya setengahnya Vietnam.

Untuk bisa menjadi negara industri maju di tahun 2045 atau setidaknya di tahun 2050, maka pertumbuhan ekonomi harus tinggi, yakni di atas 7 persen sampai double digit.

Pertumbuhan ekonomi tinggi akan lebih mungkin dicapai apabila energi nuklir segera menjadi bagian dari sistem kelistrikan nasional. PLTN tidak boleh lagi diposisikan sebagai opsi terakhir dan diperlakukan diskriminatif. Atau harus menunggu sekitar satu abad untuk bisa dinikmati oleh bangsa Indonesia.

KEN yang masih menarasikan energi nuklir sebagai opsi terakhir,–opsi ini harus dihapus dan kehadiran PLTN tidak harus menunggu Tahun 2049.

Sebab, rakyat Indonesia pada hakekatnya tidak pernah menolak kemajuan teknologi. Dengan kemajuan teknologi energi nuklir. PLTN bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan energi bersih.

Dr Kurtubi;
Penulis adalah Ketua Kaukus Nuklir Parlemen 2014-2019. Dewan Pakar Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *