Gus Miftah Hina Penjual Es Teh, Dosen UMS: Sebagai Publik Figur, Harus Jaga Adab

  • Bagikan
JADI PERHATIAN PUBLIK: Gus Miftah (kiri) dan penjual es teh (kanan) saat keduanya hadir dalam acara Magelang Bersholawat belum lama ini.

INDOSatu.co – SURABAYA – Sikap Utusan Khusus Presiden Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah menghina seorang penjual es teh viral direspon kalangan akademisi. Gus Miftah disebut mengerjai (prank) penjual minuman yang menjajakan dagangannya di acara Magelang Bersholawat belum lama ini dinilai kurang elok.

M. Febriyanto Firman Wijaya, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) menyayangkan sikap Gus Miftah tersebut. Sebagai tokoh agama yang memiliki banyak pengikut, seharusnya Gus Miftah menjadi contoh yang baik dalam bertutur kata.

Baca juga :   Vonis Berkurang, Kasus Ngunduh Mantu Nikah Warga-Kambing Betina di Gresik Bikin Kecewa

“Sebagai seorang guru atau ustad, beliau (Gus Miftah, Red) memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga ucapan dan tindakannya. Umat Islam umumnya memandang para ulama sebagai teladan. Karena itu, ketika seorang ulama melakukan kesalahan, dampaknya akan sangat luas,” ujar Riyan, sapaan akrabnya, kepada wartawan di Surabaya, Selasa (3/12).

Dalam perspektif adab, seorang guru, ustad, kyai, atau tokoh agama, seharusnya memiliki adab yang tinggi, baik dalam ucapan maupun tindakan. Sebab, mereka dituntut untuk selalu menjaga lisan.

Baca juga :   Buntut PHK, UMB Klaim Sudah Ada Kata Sepakat

Seharusnya, kata Riyan, kata-kata yang keluar dari mulut kyai atau ustad adalah kata-kata yang baik, santun, dan menyejukkan. Apalagi, dalam konteks ini penjual es teh itu sedang mencari nafkah melakukan pekerjaan yang mulia.

Kedua, ungkap Riyan, setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama. Karena itu, seorang guru, ustad, kyai, atau tokoh agama seharusnya menghormati semua orang tanpa terkecuali, termasuk penjual es teh.

Baca juga :   Kerja Nyata dan Fakta, Anies: Masak Kita Disamakan Buzzer

Ketiga, seorang guru, kyai, atau tokoh agama seharusnya menjadi teladan bagi umat. Tindakannya harus sesuai dengan ajaran agama yang ia sampaikan.

“Meskipun seseorang memiliki ilmu agama yang luas, seorang guru, kyai, atau tokoh agama seharusnya tetap rendah hati dan tidak merasa lebih tinggi dari orang lain,” tegasnya.

Kata Riyan, setiap individu memiliki hak untuk berpendapat. Namun, sebaiknya pendapat tersebut harus disampaikan dengan cara yang santun dan tidak menyinggung perasaan orang lain. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *