Gugatan Sengketa Capai 56,9 Persen, Anthony Nilai Pilkada Serentak 2024 Brutal

  • Bagikan
BANYAK SENGKETA: Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan. menyikapi banyaknya gugatan hasil Pilkada Serentak 2024 yang didaftarkan ke Mahkamah Kontitusi.

INDOSatu.co – JAKARTA – Statemen mengejutkan datang dari Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menyikapi maraknya gugatan hasil Pilkada Serentak 2024 yang baru lalu. Kata Anthony, banyaknya pihak yang meragukan pilkada serentak dapat berjalan dengan baik, ternyata terbukti.

”Bahkan, banyak pihak mencium aroma tidak sedap dalam pelaksanaan Pilkada serentak tersebut,” kata Anthony dalam keterangannya kepada INDOSatu.co, Senin (23/12).

Anthony menilai, hasil Pilkada Serentak 2024 ternyata sangat buruk. Dan yang terburuk sepanjang sejarah Pilkada. Diduga terjadi banyak pelanggaran dan perbuatan melawan hukum secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Bahkan, Anthony menyebutkan pilkada serentak 2024 sangat brutal.

”Dan itu tecermin dari jumlah sengketa atau Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah yang didaftarkan di Mahkamah Konstitusi,” kata Anthony.

Total sengketa Pilkada yang masuk di Mahkamah Konstitusi, kata Anthony, mencapai 310 daerah, atau 56,9 persen dari 545 daerah. Sengketa Pilkada Provinsi mencapai 21 dari 37 provinsi atau 56,7 persen. Sengketa Pilkada Kabupaten mencapai 240 dari 415 Kabupaten atau 57,8 persen, dan sengketa Pilkada Kota mencapai 49 dari 93 Kota atau 52,7 persen.

Baca juga :   Rupiah Tembus Rp 16.422 per Dolar AS, Anthony: Picu Dunia Usaha Panik

”Jumlah sengketa Pilkada yang demikian banyak itu menunjukkan betapa pelaksanaan Pilkada 2024 sangat memprihatinkan dan memalukan,” beber Anthony.

Anthony menengarai, ada yang tidak beres dalam penyelenggaraan Pilkada serentak 2024 ini. Mayoritas atau hampir semua gugatan terkait kecurangan Pilkada bersifat TSM. Kecurangan secara masif ini diduga melibatkan oknum pejabat-pejabat di daerah, seperti aparat desa serta aparat penegak hukum.

Hasil Pilkada serentak 2024 yang sangat buruk ini sudah dapat diduga. Sejak 2022, ketika masa jabatan kepala daerah selesai 5 tahun, Jokowi menunda Pemilihan Kepala Daerah sampai November 2024.

”Bersamaan dengan itu, Jokowi melalui kementerian terkait menunjuk Penjabat Kepala Daerah sebagai pengganti Kepala Daerah yang habis masa jabatannya,” tukas Anthony.

Karena itu, ungkap Anthony, tak heran jika Jokowi dapat menguasai seluruh Penjabat Kepala Daerah di Indonesia, dan dapat memerintahkan Kepala Daerah boneka tersebut untuk memenangi calon pasangan Kepala Daerah yang didukungnya, dengan segala cara, termasuk mobilisasi aparat desa dan institusi negara yang sekarang dikenal dengan “parcok”.

Baca juga :   Pendiri PMII Meninggal Dunia, Gus Imin Sampaikan Duka, Doakan Husnul Khatimah

Yang menjadi permasalahan besar, ungkap Anthony, penundaan Pemilihan Kepala Daerah yang telah habis masa jabatannya, dan mengangkat Penjabat Kepala Daerah sebagai pengganti Kepala Daerah, jelas melanggar konstitusi, melanggar Undang-Undang Dasar Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.”

Artinya, kata Anthony, Kepala Daerah tidak boleh diangkat oleh Presiden atau Kementerian terkait, tetapi harus dipilih secara demokratis. Sedangkan Pejabat atau Penjabat Kepala Daerah hanya berlaku dalam hal Kepala Daerah berhalangan dalam masa jabatannya. Bukan untuk menggantikan Kepala Daerah yang habis masa jabatannya.

Semua rancang bangun dan rekayasa kecurangan Jokowi tersebut terbukti menghasilkan Pilkada serentak 2024 yang sangat buruk, dengan gugatan sengketa hasil Pilkada mencapai 56,9 persen.

Survei elektabilitas yang diagung-agungkan sangat akurat oleh lembaga survei juga menjadi korban. Bukan saja tidak akurat, tetapi menjadi terbalik-balik.

Baca juga :   Paloh-Jokowi Bertemu Disaat Pilpres Diduga Curang, Anthony: Harusnya Menolak

Sebagai contoh, tingkat elektabilitas pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten, Airin Rachmi Diany dan Ade Sumardi, yang mencapai 77,3 persen beberapa hari menjelang pencoblosan, ternyata kalah telak, dengan perolehan suara hanya 44,12 persen. Bagaimana mungkin hal seperti ini bisa terjadi, kalau tidak ada faktor X yang TSM?

Khusus kasus Banten memang sangat menyolok. Kasus PSN PIK2 juga mempertontonkan secara transparan keberpihakan aparat desa kepada pengusaha yang sangat dekat dengan Jokowi. Aparat desa ini patut diduga menjadi mesin pemenangan calon pasangan Gubernur-Wakil Gubernur yang didukung Jokowi, dengan menghalalkan segala cara.

Karena itu, kata Anthony, Mahkamah Konstitusi sebagai gerbang akhir penjaga keadilan dan demokrasi diharapkan dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Mahkamah Konstitusi wajib menindak tegas segala bentuk kecurangan dan perbuatan melawan hukum dalam Pemilihan Kepala Daerah serentak 2024 ini.

”Termasuk membatalkan kemenangan dari hasil kecurangan TSM,” pungkas alumni Doktoral (S3) Erasmus University, Rotterdam, Belanda itu. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *