Film Dirty Vote Viral Jelang Pemilu, Begini Tanggapan Pakar Hukum UM Surabaya….

  • Bagikan
VIRAL: Film Dirty Vote yang telah dilihat 2 Juta Lebih Pemirsa itu.

INDOSatu.co – SURABAYA – Film dokumenter eksplanatory “Dirty Vote” yang dirilis pada 11 Februari 2024 merupakan karya sutradara Dandhy Dwi Laksono. Film dengan durasi sekitar 1,5 jam tersebut viral di media sosial, bahkan belum dua hari penayangan telah ditonton sebanyak 2 juta tayangan dan tranding di media sosial. Film ini berisi kritik atas sistem demokrasi dan Pemilu di Indonesia untuk kondisi terakhir khususnya jelang Pemilu 14 Februari 2024.

Film ini menampilkan tiga pakar hukum tata negara, yaitu Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Feri Amsari dari Universitas Andalas, dan Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Ketiga pakar tersebut menjelaskan berbagai kelemahan, manipulasi politik, dan kecurangan yang terjadi dalam sistem Pemilu di Indonesia.

Karena keberadaannya yang viral itu, film tersebut menarik perhatian Satria Unggul Wicaksana, Pakar Hukum UM Surabaya. Menurut Satria, ada beberapa catatan yang perlu ditarik benang merah dari pesan yang ingin disampaikan dalam film tersebut. Ada 16 catatan tersebut, diantaranya:

Baca juga :   Disebut Aktivis Fajar Terlibat Promosi Judi Online, Desak Megawati Pecat Denny Cagur

Pertama, kata Satria, Gabungan suara Jokowi dan Prabowo di pulau Sumatera menunjukkan gejala politik transaksional antara elit politik; Penunjukkan 20 Pj. Gubernur dan 82 Pj.Walikota/Bupati oleh Presiden Jokowi dianggap sebagai praktik politik balas budi dan menciptakan loyalitas pada petahanan; Kasus penunjukan oleh Tito Karnavian untuk Pejabat Gubernur Papua dianggap mengabaikan aturan yang ada; serta Pelanggaran Pakta Integritas oleh Bupati Sorong memperlihatkan tipu daya dan ketidakjujuran pejabat publik.

”Ini melambangkan penguasa yang berlaku sewenang-wenang,” kata Satria.

Bukan hanya itu. Kata Satria, Deklarasi di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) oleh 8 organisasi kepala desa (mewakili 81 juta pemilih) diduga sebagai upaya mobilisasi massa untuk kepentingan politik tertentu; Maraknya kasus korupsi dana desa menguatkan fakta penyelewengan anggaran untuk dukungan politik pada Pemilu; Banyaknya tekanan dan intimidasi kepada-kepala desa agar mendukung capres yang didukung Istana menunjukkan politik ala Orde Baru masih berlangsung, serta Penyalahgunaan bantuan sosial oleh pejabat seperti Airlangga Hartarto dan Zulkifli Hasan untuk kepentingan politik nyata terjadi di lapangan.

Baca juga :   Erick: Kami Tidak Sempurna, Mohon Maaf

Selain itu, kata Satria, Tajamnya peningkatan bansos menjelang Pemilu dibanding masa pandemi mengindikasikan pengaruh politik uang dan pembelian suara; Data by name by address Kemensos tidak dipakai dalam penyaluran bantuan menunjukkan indikasi kecurangan; Keterlibatan sejumlah menteri dan timses capres dalam kampanye politik.

”Di luar aturan yang ada, merupakan bentuk pelanggaran netralitas aparatur negara,” kata Satria.

Baca juga :   Aksi Sejuta Buruh Bakal Kepung Jakarta, Jumhur: Semua Ini demi Puluhan Juta Nasib Buruh

Begitu juga dengan Ketidaknetralan Presiden dalam Pemilu, termasuk menggunakan fasilitas negara untuk berkampanye, melanggar UU dan menodai martabat kepresidenan; Kegagalan Bawaslu mengawasi berbagai pelanggaran Pemilu menunjukkan lemahnya pengawasan independen atas kontestasi politik; Beragam pelanggaran KPU, dari verifikasi partai hingga dianggap berpihak pada parpol tertentu, mencederai integritas penyelenggaraan Pemilu; Banyaknya masalah integritas di MK, seperti isu benturan kepentingan hingga putusan kontroversial, menodai legitimasi MK sebagai the guardian of constitution.

”Dan yang terakhir, adanya upaya intimidasi dari tim kampanye diharapkan tidak terjadi, aktivitas jurnalisme investigatif adalah bagian dari kebebasan Pers yang dilindungi dalam UU Pers dan kebebasan berpendapat dari pinsip hukum dan HAM,” pungkas Satria. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *