Dualisme Ibu Kota; Bahayakan Indonesia dan Rugikan Keuangan Negara

  • Bagikan

SETELAH Ibu Kota Nusantara (IKN) dibangun, ternyata tak sepi dari masalah. Selain perencanaan yang dinilai tidak matang, minimnya investor juga dikhawatirkan mempengaruhi pembangunan IKN. Bahkan, banyak pihak khawatir proyek akan berhenti, yang ujung-ujungnya bakal mengkrak. Jika mangkrak, maka IKN benar-benar menjadi proyek muspro. Konsekuensinya, proyek tidak bermanfaat dan rugikan keuangan negara.

IKN sendiri terealisasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) yang diundangkan pada 15 Februari 2022, dan mulai berlaku saat diundangkan, seperti bunyi Pasal 44: Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Setelah UU IKN berlaku, maka seluruh karakteristik yang melekat pada Ibukota seharusnya juga sudah berlaku, termasuk kedudukan, fungsi dan peran kota Nusantara sebagai Ibu Kota Negara.

Tetapi, Pasal 39 ayat (1) menetapkan kedudukan, fungsi dan peran Ibu Kota Negara masih berada di Provinsi DKI Jakarta, sampai (Keputusan) Presiden menetapkan pemindahan Ibu Kota Negara (dari Jakarta ke Nusantara). Artinya, sejak 15 Februari 2022, Indonesia mempunyai dua Ibukota, kota Nusantara dan Jakarta, di mana operasionalnya (kedudukan, fungsi, dan peran) berada di Jakarta.

⁠Pertanyaannya, apakah bisa Indonesia mempunyai dua ibu kota, mempunyai dua UU tentang ibu kota negara yang berlaku pada saat bersamaan. Karena, menurut konstitusi, lembaga tinggi negara wajib bertempat di ibukota negara. Di mana?

Baca juga :   Seri Analisis Pemilu 2024; Rakyat Melawan Prabowo dan Jokowi? (Bagian-2)

⁠Pasal 39 ayat (1) tersebut secara substansi telah membatalkan UU IKN yang sudah berlaku pada saat diundangkan, karena telah membatalkan kedudukan, fungsi dan peran kota Nusantara sebagai Ibu Kota Negara, di mana kedudukan, fungsi dan peran tersebut secara otomatis seharusnya melekat pada status Ibukota.

Yang lebih berbahaya, kedudukan, fungsi dan peran Ibu Kota Negara di Nusantara tergantung dari (Keputusan) Presiden, tanpa batas waktu tetap. Ketergantungan tanpa batas itu mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum tentang di mana sebenarnya Ibu Kota Negara.

⁠Pasal 41 ayat (2) UU IKN menyatakan, selambat-lambatnya dua tahun sejak UU IKN diundangkan (pada 15 Februari 2022), UU tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota (Nomor 29 Tahun 2007) wajib diubah sesuai dengan ketentuan dalam UU IKN. Pasal 41 ayat (2) ini bermakna, status Provinsi Jakarta harus diubah tidak lagi menjadi ibukota setelah 15 Februari 2024.

⁠Sesuai perintah Pasal 41 ayat (2) IKN tersebut, UU terkait Jakarta sebagai ibukota akhirnya diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ), dan diundangkan pada 25 April 2024. Artinya, terlambat sekitar dua bulan dari yang diamanatkan UU IKN.

Baca juga :   DPR Wajib Menolak Perppu Cipta Kerja, atau Menghadapi Sanksi Rakyat melalui Pemilu

Yang mengejutkan, UU tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, meskipun sudah diundangkan tetapi belum diberlakukan. Dengan demikian, Jakarta masih berstatus ibukota, seperti ditegaskan dalam Ketentuan Peralihan Pasal 63 dan Pasal 64 UU DKJ.

⁠Pasal 63: Pada saat Undang-Undang ini diundangkan, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tetap berkedudukan sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai dengan penetapan Keputusan Presiden mengenai pemindahan Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 64: Ibu Kota Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta saat ini tetap menjadi lbu Kota Provinsi Daerah Khusus Jakarta sampai dilakukan perubahan menurut Undang-Undang ini. Kedua Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 41 ayat (2) UU IKN yang memerintahkan status ibukota Jakarta harus disesuaikan dengan UU IKN paling lama dua tahun setelah diundangkan. Artinya, Jakarta tidak lagi menjadi ibukota setelah 15 Februari 2024.

⁠Pasal 63 UU DKJ secara substansi bukan mengatur Ketentuan Peralihan UU DKJ. Sebaliknya, Pasal 63 UU DKJ menciptakan ketidakpastian hukum terkait ibukota negara. Karena, kedudukan, fungsi dan peran ibukota negara akan ditentukan oleh (Keputusan) Presiden, tanpa ada batas waktu. Karena itu, setelah batas waktu “paling lama 2 tahun” terlewati, Ibukota Nusantara belum berfungsi.

Baca juga :   Move On dari Pilpres Curang TSM?

Ketidakpastian hukum terkait ibukota negara secara nyata melanggar konstitusi, Pasal 28D ayat (1). Ketentuan Peralihan UU ibukota negara harus dapat memberi kepastian hukum terkait jangka waktu yang pasti, dan wajib ditentukan oleh UU itu sendiri, bukan oleh (Keputusan) Presiden.

⁠Karena, (Keputusan) Presiden hanya mengatur pelaksanaan teknis dari sebuah UU yang berlaku. (Keputusan) Presiden tidak bisa mengubah sebuah UU yang belum berlaku menjadi berlaku. Karena kedudukan (Keputusan) Presiden berada di bawah UU.

Selama Jakarta menyandang status ibukota Indonesia, seharusnya tidak ada kota lainnya yang juga mempunyai status yang sama sebagai ibukota Indonesia. Karena itu, Ibukota Nusantara seharusnya tidak sah. Dalam hal ini, maka otorita Ibu Kota Nusantara juga tidak sah. ⁠Sebagai konsekuensi, pengeluaran APBN untuk otorita Ibu Kota Nusantara juga tidak sah, masuk kategori penyimpangan APBN, dan diancam pidana penjara dan denda. (*)

Prof. Anthony Budiawan;
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Alumni Doktoral (S3) Erasmus University, Rotterdam, Belanda.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *