Dilema PKS, Akankah Tetap dalam Politik Munafik?

  • Bagikan

MUNGKIN kader PKS tidak setuju pada judul di atas dan hal itu wajar saja. Tetapi kita tahu bahwa munafik itu dapat berarti janji yang  diingkari, bisa juga mencla-mencle atau bersikap tergantung keadaan, yang penting selamat atau mungkin ikut aman beserta pemenang. Kemunafikan dapat berbingkai taktik atau strategi. Tipis untuk dapat membedakannya.

Teman-teman banyak yang mengkritisi mengapa hanya PKS yang disorot bukan partai-partai lain? Jawabannya, selain ada porsinya, juga bahwa partai-partai lain itu sudah duluan “bengkok”. Kini giliran PKS yang selama ini dianggap sebagai partai “bersih” dan “aspiratif” bahkan dekat dengan umat, ternyata ikut “bengkok” juga.

Menjadi pragmatik, kalkulatif dan memikirkan dirinya sendiri. Dan yang paling berbahaya adalah menjadi penggenap atau penyempurna dari  kebobrokan partai-partai politik.

Peristiwa di Pilkada Jakarta, dimana semua partai, kecuali PDIP bergabung dalam KIM plus plus plus ‘fulus’ menjadi fenomena kehancuran sistem kepartaian di Indonesia. Sistem multi partai (multy party system) telah bergeser menjadi sistem dua partai (biparty system) atau bahkan sistem partai tunggal (single party system). Demokrasi Terpimpin Oligarki di bawah kepemimpinan Jokowi telah menghancurleburkan partai-partai politik di Indonesia.

Baca juga :   Bravo Maroko

Partai politik tidak mampu berdiri sebagai lembaga penegak demokrasi, tetapi justru menjadi perusak demokrasi, baik dengan mencontohkan pola Ketum-krasi maupun menempatkan diri sebagai subordinat dari kekuasaan. Presiden adalah segala-galanya, sehingga bagai “kerbau dicocok hidung”. Partai sebagai kekuatan bangsa justru menjadi penghambat besar bagi tegaknya kedaulatan rakyat.

PDIP memang melawan kekuasaan, meski masih dalam batas yang minimal atau greget terbatas. Posisi menghadapi penyanderaan masih berat. Partai NasDem dan PKB menyerah dan siap ikut arahan KIM. Terakhir PKS sang pejuang gigih akhirnya rontok juga. Ikut dalam sistem kemunafikan berjama’ah.

Baca juga :   Mencoba Optimistis atas Mahkamah Konstitusi

Ada “carrot” yang ditawarkan, yaitu “Suswono” yang ditukar “Anies”. Lalu mungkin menteri dalam Kabinet Prabowo. Pragmatis serta masa bodoh pada harapan dan aspirasi rakyat.

Bahasa untuk “excuse” adalah bahwa hal ini hanya sebagai taktik saja mungkin melalui permainan tiktok. Padahal, taktik itu sesungguhnya harus berbasis nilai, bukan semau-maunya. Rakyat sebagai nilai dikesampingkan dan moral agama pun kena dampak.

Setelah Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, maka KIM Plus yang telah mendeklarasikan Ridwan Kamil-Suswono (Golkar-PKS) menjadi galau. Anies Baswedan yang telah ramai-ramai “dibunuh” oleh 12 partai politik kini bisa “hidup lagi” andai  dicalonkan oleh partai yang memperoleh 6,5 persen suara.

KIM panik, terutama plusnya, yaitu PKB, NasDem dan PKS. PKB “keok” setelah terancam dihajar Jokowi di Muktamar, NasDem sudah mengejek “adik Anies”, dan PKS titip Suswono ke KIM. Bersorak semua bahwa Anies Baswedan telah mati dan PDIP tinggal sendiri. Jokowi sudah melakukan “victory lap” sukses besar.

Baca juga :   Menanyakan Peran dan Posisi TNI Dalam Penegakan Demokrasi dan Konstitusi

Tetapi ada “kekuatan lain” yang ternyata membuat  kejutan, palu godam MK telah membuyarkan desain kepongahan sang penguasa. Nampaknya Jokowi lupa meredam Mahkamah Konstitusi (MK).

Bagi PKS, yang dikenal partai paling sesuai dengan aspirasi rakyat, bersih, atau harapan umat, kini dipastikan bimbang berat. Akankah ia nekat berada dalam ruang tuktak taktik atau kembali ke rel aslinya?

Akankah PKS bertaubat atau tetap “istiqamah” untuk berada dalam kelinglungan politik, yakni politik munafik? Majelis Syura yang akan menentukan. (*)

M. Rizal Fadillah;
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan, tinggal di Bandung.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *